November 28, 2024

Polemik Putusan MK dan Tantangan Pemilih Muda

Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan 90/PUU-XXI/2023 telah menambah norma pengalaman keterpilihan dari pemilu, dalam syarat pencalonan presiden-wakil presiden berdasar UU 7/2017. Putusan yang menciptakan polemik berkelanjutan ini digunakan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka (Kelahiran 1/10/1987) untuk mendaftar sebagai calon wakil presiden. Pemilih mempunyai tantangan dalam mengurai masalah kehadiran dan aspirasi kelompok muda.

“Harusnya (usia minimal pencalonan dibuat) melalui undang-undang yang dibentuk oleh DPR. Keputusan yang sebelumnya MK menolak penggantian umur capres, tapi yang aneh menerima putusan satunya, yang sudah berpengalaman sebagai kepala daerah,” kata Peneliti Bidang Hukum the Indonesian Institute (TII), Christina Clarissa Intania dalam diskusi “Polemik Putusan MK dan Upaya Mendorong Partisipasi Politik Anak Muda” yang disiarkan langsung melalui You Tube The Indonesian Institute (27/10).

Menurut Christina, syarat usia seharusnya masuk di wilayah pembuat kebijakan itu mempunyai inkonsistensi. Pasalnya dalam putusan sebelumnya, hakim menolak tegas permohonan Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 dengan alasan open legal policy. Namun dalam perkara yang diajukan Almas Tsaqib Biru yang secara substansi mempersoalkan pasal yang sama, MK mengabulkan sebagian permohonan dan memberikan tambahan norma baru pada syarat capres-cawapres.

Ia mengatakan, sejak perubahan UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi, peran MK sebagai negative legislator sudah mulai bergeser positive legislator. MK tidak hanya menghapus/membatalkan norma dari undang-undang tapi juga berwenang membuat norma. Sedangkan dalam UU 24/2003 yang berlaku sebelumnya, MK tidak diperbolehkan menjadi menambah suatu norma dalam undang-undang.

“Sebelumnya dalam pasal 57 ayat (2a) yang tadinya berbunyi, ‘putusan MK tidak memuat rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945’ itu sudah dihapus, yang artinya memberi celah menjadi positif legislator,” jelas Christina.

Kewenangan MK tersebut dapat mengganggu trias politika. Ia menjelaskan, dengan hanya 9 hakim MK yang terlibat tidak memenuhi bobot pembuatan kebijakan pada umumnya. Sebab, kebijakan publik dalam prosesnya mengharuskan pembahasan bertingkat-tingkat, melalui penelitian, pencarian data, dan rapat dengar pendapat terlebih dahulu.

“Perilaku MK ini justru tidak diterima baik oleh orang umum, karena bukan pembentukan kebijakan yang baik,” imbuhnya.

Sosok pemimpin berusia muda saat ini memang bukan hal tabu. Di beberapa negara secara konstitusional mengizinkan warga di bawah umur 40 tahun untuk maju dalam pemilu. Christina menyebutkan misalnya, Negara Nikaragua membolehkan calon presien/wakil presiden berusia minimal 25 tahun. Selain itu terdapat 10 negara dengan usia minimal 30 tahun. Lalu, ada 14 negara dengan syarat usia minimal 35 tahun. Selain itu, ternyata ada 11 negara dengan syarat usia minimal 40 tahun.

Tantangan

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati menganggap putusan MK bukan untuk mendukung politik muda. Menurutnya, putusan itu pada dasarnya tidak menurunkan batas usia. Putusan hanya mengecualikan calon yang mempunyai pengalaman pernah dipilih melalui pemilu.

Belum lagi, lanjut Khoirunnisa, sistem politik yang ada saat ini tidak sepenuhnya memberi peluang bagi masyarakat secara umum, kecuali mempunyai finansial yang cukup dan punya kedekatan dengan dengan elite. Setelah Reformasi, banyak partai politik yang belum inklusif bagi orang muda.

“Memberi kesempatan politik pada anak muda harus membuka akses biar ada start yang sama bagi kaum muda. Jadi ini yang perlu direfleksikan oleh parpol apakah prosesnya inklusif atau eksklusif, atau hanya di tangan ketua umum saja,” terang Khoirunnisa.

Menurutnya partai politik yang ada selama ini belum terlembagakan dengan baik. Ia mendorong untuk dilakukannya revisi undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Sebagai salah satu institusi demokrasi, partai politik perlu untuk dibenahi dan memastikan indikator pencalonan dengan jelas.

“Kalau di undang-undang itukan disebutkan; pencalonan dilakukan secara demokratis dan terbuka. Tapi nggak ada indikatornya. Indikatornya balik lagi ke masing-masing AD/ART partai,” ujarnya.

Semakin dekatnya dengan masa kampanye, Khoirunnisa juga mengajak orang muda untuk lebih kritis mengawasi keseluruhan proses Pemilu. Ia memberi contoh kontribusi yang bisa dilakukan orang muda dengan membedah visi-misi calon presiden-wakil presiden, pengawasan dana kampanye, dan melakukan pemantauan kampanye di media sosial.

“Apalagi nanti pemilihnya mayoritas pemilih muda, yang saya meyakini lebih kritis dan lebih punya perhatian sebenarnya. Tinggal gimana suara-suara mereka dan aktivisme mereka dibangun terus untuk mengawal proses ini. Jadi nggak hanya sekedar nanti datang ke TPS,” tutup Khoirunnisa.

Politik dinasti dan korupsi

Sementara itu Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima), Ray Rangkuti mengatakan bahwa dinasti politik erat kaitannya dengan maraknya korupsi yang terjadi. Ia mencatat sejak 2013-sekarang, setidaknya terdapat 16 praktik dinasti politik di daerah yang berujung tindak pidana korupsi.

“Boleh jadi lebih banyak daerah lagi. Ini membuktikan pada kita bahwa praktik dinasti politik itu nggak ada manfaatnya sama sekali. Saya tidak melihat sisi baiknya sama sekali,” tegas Ray.

Ray memandang saat ini diperlukan kerja-kerja kolektif untuk menjaga kualitas demokrasi, agar tiap kekuasaan mempunyai batasan. Melalui itu memungkinkan semua orang mencari pemimpin-pemimpin yang terbaik. Ia menyebutkan terdapat peningkatan praktik dinasti politik di seluruh Indonesia. Pada tahun 2010-2014 terdapat 61 daerah yang mempraktikkan dinasti politik, sementara pada tahun 2021 naik menjadi 117 dinasti politik di daerah-daerah.

“Lalu apakah karena meningkat, terus kita biarkan saja di Indonesia. Demokrasi yang sehat seharusnya tidak melihat garis keturunan. Dinasti politik itu dasar terciptanya korupsi bukan kesejahteraan rakyat,” imbuhnya.

Menurut Ray, demokrasi memang bukan satu-satunya cara menuju kesejahteraan, namun hanya demokrasi yang menjamin hak yang sama setiap warga negara. Untuk itu ia mengajak untuk mengawal setiap tahapan pemilu dan tidak melihat pemilu hanya sebatas datang ke TPS saat hari pencoblosan.

Glorifikasi kepemimpinan kaum muda saat ini terus digaungkan karena politisi membutuhkan narasi itu untuk memperoleh simpati, padahal yang terjadi tidak semua orang muda bisa mendapatkan kesempatan yang sama. Untuk itu Ray mengingatkan pentingnya akademisi dan pegiat demokrasi terus mengedukasi masyarakat. []

AJID FUAD MUZAKI