August 8, 2024

Politik Muda Era Post-Truth

Era post-truth adalah istilah yang merujuk pada periode di mana opini, emosi, dan keyakinan pribadi seringkali diutamakan di atas fakta objektif dalam pembentukan opini dan pengambilan keputusan. Dalam era ini, kebenaran atau fakta seringkali diabaikan atau disesuaikan untuk mendukung narasi atau agenda tertentu, terutama dalam politik, media, dan budaya populer.

Fenomena ini dapat dilihat dalam berbagai konteks, seperti penyebaran berita palsu (hoaks), manipulasi informasi, dan retorika yang didasarkan pada emosi daripada fakta empiris. Beberapa faktor yang memperkuat era post-truth termasuk perkembangan teknologi yang memungkinkan penyebaran informasi yang cepat dan luas, serta polarisasi politik dan sosial yang memicu kepercayaan yang rendah terhadap institusi dan otoritas tradisional.

Istilah post-truth atau pasca-kebenaran digunakan secara luas untuk menggambarkan bagaimana masyarakat modern mengonsumsi dan menanggapi informasi. Menurut definisi dari kamus Oxford, post-truth adalah keadaan di mana fakta obyektif kurang memengaruhi opini publik dibandingkan dengan daya tarik emosional dan kepercayaan pribadi.

Frasa “post-truth” sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Steve Tesich dalam tulisannya yang berjudul “The Government of Lies” pada tahun 1992. Tesich menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih untuk hidup dalam dunia pasca-kebenaran. Tulisan Tesich mencerminkan kekhawatirannya terhadap propaganda yang terjadi selama Perang Teluk di awal dekade 90-an, di mana kebenaran dan kepalsuan sulit dibedakan oleh publik global.

Kasus-kasus yang terjadi pada tahun 2016, seperti pemilihan presiden AS dan referendum Brexit di Inggris, memperlihatkan polarisasi yang signifikan dan kebingungan di antara para pemilih dan publik global. Fenomena ini tidak hanya terjadi di level nasional, tetapi juga menciptakan dampak yang dirasakan secara global karena berbagai berita dan opini yang beredar dengan cepat di era digital.

Pada saat itu, penggunaan metode propaganda yang dikenal sebagai “firehouse of falsehood” oleh Donald Trump menjadi sangat mencolok. Strategi ini melibatkan penyebaran informasi palsu atau tidak benar secara massal dan terus-menerus melalui berbagai platform media, tanpa memperhatikan fakta atau kebenaran. Tujuannya bukanlah untuk memberikan informasi yang akurat, tetapi untuk membingungkan dan mengalihkan perhatian publik, serta menciptakan narasi yang sesuai dengan kepentingan politik tertentu.

Hal ini menciptakan kondisi yang dikenal sebagai post-truth, di mana fakta-fakta objektif menjadi kurang relevan dalam pembentukan opini publik dibandingkan dengan emosi, opini pribadi, dan narasi yang disajikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, kebingungan di antara para pemilih dan publik global semakin meningkat, karena sulit untuk membedakan antara informasi yang benar dan hoaks yang disebarkan dengan sengaja.

Polarisasi yang terjadi di tahun 2016 juga mencerminkan pergeseran dalam dinamika politik global, di mana kepentingan dan preferensi individu sering kali lebih ditentukan oleh identitas sosial, ideologi, dan afiliasi politik daripada oleh fakta atau pemahaman mendalam tentang isu-isu yang kompleks. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk meningkatkan literasi media dan kritisisme terhadap informasi yang diterima, serta untuk memperkuat mekanisme perlindungan terhadap propaganda dan disinformasi yang dapat mengganggu integritas proses demokratis.

Power Anak Muda

Dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu, data dari KPU menunjukkan bahwa pada tahun 2014, kontribusi pemilih muda hanya sekitar 30%. Namun, perkembangan yang signifikan terjadi sejak itu, di mana angka partisipasi pemilih muda telah meningkat secara substansial hingga mencapai 55%. Ini mengindikasikan bahwa kesadaran politik dan keterlibatan pemilih muda telah mengalami peningkatan yang luar biasa dalam dekade terakhir.

Peningkatan ini juga tercermin dari data Daftar Pemilih Tetap (DPT), di mana pemilih dibagi berdasarkan usia. Dari total lebih dari 200 juta pemilih yang terdaftar, dapat diamati betapa signifikannya kontribusi pemilih muda, terutama generasi milenial dan Z. Generasi ini tidak hanya menjadi segmen yang semakin besar dalam populasi pemilih, tetapi juga memiliki pengaruh yang semakin besar dalam menentukan hasil pemilihan.

Meningkatnya kontribusi pemilih muda tidak hanya menggambarkan peningkatan partisipasi dalam proses demokrasi, tetapi juga menandakan pergeseran dinamika politik di Indonesia. Generasi milenial dan Z dikenal karena sikap yang lebih terbuka terhadap perubahan, keprihatinan terhadap isu-isu lingkungan, sosial, dan ekonomi, serta kemampuan mereka dalam memanfaatkan teknologi untuk menyampaikan pendapat dan menyebarkan informasi.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemilih muda saat ini bukan hanya merupakan segmen yang cukup besar dalam pemilih nasional, tetapi juga memiliki potensi besar untuk membentuk arah politik dan kebijakan di masa depan. Oleh karena itu, partai politik dan calon pemimpin diharapkan untuk semakin memperhatikan aspirasi dan kepentingan pemilih muda, serta berkomunikasi dengan mereka melalui platform yang relevan dan cara yang dapat mereka terima.

Dampak Post-Truth terhadap Keputusan Politik

Di masa lampau, para calon seringkali dinilai dan diukur berdasarkan substansi dan kualitas mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, kita mulai menyadari bahwa era telah berubah. Kita sering kali dipengaruhi oleh opini, gimmick, atau parahnya lagi, berita palsu (hoax).

Peningkatan tren berita palsu (hoax) ini menjadi semakin meresahkan, terutama saat anak muda harus membuat keputusan politik. Mengapa demikian? Karena perilaku generasi milenial dan Z cenderung masuk dalam kategori swing voters atau belum menentukan pilihan politiknya dengan pasti, terutama karena usia mereka yang relatif muda dan mungkin kurangnya pemahaman mendalam tentang politik. Mereka sering kali merasa bingung atau kurang mengerti, terutama ketika diminta untuk memahami seluruh gagasan dan visi misi dari para kandidat presiden.

Fenomena ini terus berulang, dan semakin mendekati Pemilu, kita akan menyaksikan peningkatan dramatis dalam penyebaran hoaks yang sangat merugikan. Sebagai contoh data dari kominfo.go.id, kita bisa merujuk pada tahun 2019, menjelang April, khususnya pada tanggal 17 April, yang mencapai puncaknya dalam misinformasi atau disinformasi.

Tujuan dari penyebaran hoaks ini jelas: mengarahkan atau bahkan mengubah pendapat publik tanpa didasarkan pada fakta atau objektivitas yang sebenarnya. Di era post-truth ini, orang cenderung lebih mempercayai opini pribadi, hoaks, bahkan berita yang tidak relevan dengan politik, asalkan dapat memicu respons personal dan emosional. Hal ini seringkali dilakukan dengan tujuan meningkatkan popularitas, terutama di kalangan anak muda yang menjadi sasaran empuk dari upaya-upaya manipulatif tersebut.

Fenomena ini menyoroti tantangan besar dalam pembentukan opini publik yang berbasis pada fakta dan kebenaran, serta perlunya literasi media dan politik yang lebih baik di kalangan generasi muda. Lebih dari sekadar memilih kandidat berdasarkan opini yang beredar di media sosial atau berita yang viral, penting bagi pemilih muda untuk meluangkan waktu dalam memverifikasi informasi yang diterima dan melihatnya dari berbagai sumber yang terpercaya. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa demokrasi kita tetap kuat dan berfungsi dengan baik.

Perspektif Hukum Positif

Dalam konteks hukum di Indonesia, penyebaran berita palsu atau disinformasi memiliki implikasi yang serius, terutama dalam konteks pemilihan umum dan partisipasi politik masyarakat, termasuk anak muda. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah salah satu peraturan yang menjadi landasan hukum dalam penanganan kasus penyebaran hoaks atau berita palsu.

UU ITE memiliki ketentuan yang mengatur tentang penyalahgunaan teknologi informasi, termasuk penyebaran informasi yang dapat merugikan orang lain atau masyarakat umum. Dalam hal penyebaran hoaks yang berkaitan dengan politik, hal tersebut dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang mengatur tentang larangan penyebaran informasi yang tidak benar dan menyesatkan.

Selain itu, terdapat juga peraturan lain yang relevan, seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), yang mengatur tentang kecurangan dan pelanggaran dalam proses pemilihan umum. Penyebaran hoaks yang bertujuan untuk mempengaruhi hasil pemilihan umum dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap UU Pemilu dan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam konteks ini, peran aparat penegak hukum, termasuk kepolisian dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, sangatlah penting dalam menanggulangi penyebaran hoaks dan berita palsu yang dapat memengaruhi keputusan politik masyarakat, terutama anak muda. Upaya penegakan hukum yang efektif dapat menjadi deterrent bagi para pelaku penyebaran hoaks dan dapat menjaga integritas proses demokratis serta kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemilihan umum.

Selain itu, penting juga untuk meningkatkan literasi digital dan politik di kalangan anak muda agar mereka mampu memilah informasi dengan bijak, mengevaluasi kebenaran dari berita yang mereka terima, serta membuat keputusan politik yang berdasarkan pada fakta dan pemahaman yang mendalam tentang isu-isu yang ada. Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa partisipasi politik anak muda dapat menjadi lebih berdampak positif dalam pembangunan demokrasi di Indonesia. []

MOH. ICHSEAN MAWLANA

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat