August 8, 2024

Pragmatisme Jangan Hambat Transisi Kekuasaan

Pragmatisme politik dinilai sangat terasa dalam wacana jabatan presiden tiga periode yang hingga kini masih terus berkembang. Publik mesti waspada, saat masa jabatan Presiden Joko Widodo berakhir pada Oktober 2024, terhadap pihak-pihak yang mencoba mencari keuntungan atau takut kehilangan kekuasaan.

Dalam Diskusi Politik Pemilu bertajuk ”Wacana Presiden 3 Periode: Dari Mana Asalnya, ke Mana Arahnya?”, secara daring, Rabu (23/6/2021) di Jakarta, ditegaskan bahwa transisi kekuasaan di negara modern tidak boleh dihambat oleh kepentingan pragmatisme kelompok-kelompok tertentu.

Hadir sebagai pembicara dalam diskusi itu, Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo, juga Wempy Hadir dari Surveylink Indonesia (Sulindo), dan peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus.

Wempy menuturkan, pragmatisme politik sangat kental dalam wacana presiden tiga periode. Padahal, jika ingin merawat ekologi demokrasi, semua pihak mesti konsisten merawat dan menjaga konstitusi. ”Filosofi dasar konstitusi adalah how to limit the power, bagaimana membatasi kekuasaan,” kata Wempy.

Filosofi dasar konstitusi adalah how to limit the power, bagaimana membatasi kekuasaan.

Menurut Wempy, upaya mendorong Presiden Jokowi menjabat tiga periode dapat dibaca sebagai pragmatisme politik. ”Ada orang-orang yang sedang menari di atas kekuasaan dan mencoba untuk mengais keuntungan. Karena itu, saya kira, dengan segala cara mereka akan melakukan itu,” ujarnya.

Mereka, tambah Wempy, mencoba mendesain agar terjadi hegemoni atau kelanggengan kekuasaan. Hal ini karena kekuasaan memiliki tiga dampak, yakni akumulasi ekonomi, kekuatan politik, dan kenaikan status sosial orang-orang di sekitar penguasa.”(Terkait) Hal-hal seperti ini, kita bisa lihat, orang-orang bermain dengan segala cara, mengubah undang-undang, menabrak demokrasi, dan, yang paling penting, ini adalah skenario menjebak Jokowi dan mencetak sejarah kelam bangsa kalau Jokowi tak hati-hati,” kata Wempy.

Wempy menuturkan, Indonesia memiliki contoh terbaik dalam membangun demokrasi. Selepas Dekrit Presiden 5 Juli 1959, semua elite politik saat itu mendukung Presiden Soekarno menjadi presiden seumur hidup. ”Tetapi, lagi-lagi, sifat dasar alamiah manusia adalah ingin menguasai yang lain. Oleh karena itu, saya kira, Soekarno juga bablas, tidak melakukan transisi kekuasaan sehingga terjadi patahan kekuasaan,” katanya.

Sebagai koreksi atas kepemimpinan Soekarno saat itu, lanjut Wempy, kemudian muncul Soeharto sebagai pemegang tongkat estafet kekuasaan. Namun, sayang sekali, Soeharto saat itu juga tidak belajar dari kesalahan Soekarno bahwa kekuasaan yang terlalu lama akan berakibat jatuh pada lubang yang sama.

Walaupun pada awalnya semua partai politik atau mayoritas kekuatan politik di parlemen saat itu mendukung Soeharto untuk menjadi presiden dan berulang dipilih lagi untuk periode lima tahun berikutnya, Soeharto pun akhirnya jatuh. ”Jokowi tidak boleh mengikuti jejak kedua tokoh itu, terlepas plus minus dari mereka. Sebagai negara modern, transisi kekuasaan tidak boleh dihambat hanya untuk kepentingan pragmatis kelompok-kelompok tertentu,” ujarnya.

Menurut Wempy bangsa Indonesia harus terus berjalan dengan tantangan sangat besar dari luar maupun dalam. Oleh karena itu, sirkulasi elite politik nasional tidak boleh dihambat hanya untuk kepentingan segelintir orang.

Ketiadaan transisi elite di partai politik, lanjut Wempy, juga menjadi salah satu masalah. Upaya merawat ekologi demokrasi mesti terus dilakukan. Praktik-praktik berkonstitusi tidak hanya dalam kekuasaan di negara, tetapi juga di partai politik. ”Dalam kepengurusan partai politik, ada enggak sirkulasi elite di sana? Ada enggak kaderisasi politik di sana,” katanya.

Kesesatan konstitusional

Lucius Karus menuturkan, wacana mengamandemen konstitusi untuk mengubah masa jabatan presiden bukan hanya muncul di era Presiden Jokowi. Wacana serupa juga pernah muncul di paruh kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ”Jadi, bisa dikatakan bahwa wacana ini selalu muncul di paruh kedua pemerintahan, baik di era SBY maupun era Jokowi,” katanya.

Menurut Lucius dorongan utama yang memunculkan wacana ini adalah ketakutan atau antisipasi post power syndrome dari para pendukung atau partai politik pendukung pemerintahan yang merasa kekuasaan mereka akan hilang. ”Jadi, ini sesuatu yang natural saja, bahwa kekuasaan itu nikmat dan hampir pasti orang yang sudah memegang kekuasaan selalu punya keinginan untuk memperpanjangnya,” katanya.

Hal yang mengherankan, lanjut Lucius, wacana ini sekarang muncul dengan sangat liar dan dibicarakan di ruang publik, tetapi tanpa ada pernyataan resmi dari partai politik, DPR, MPR, serta DPD. ”Ini yang menarik dan lalu menjadi sulit untuk menunjuk hidung siapa yang paling bertanggung jawab atas wacana ini. Kelompok kepentingan mana yang bisa kita tunjuk punya kepentingan dengan wacana ini,” katanya.

Ketika wacana memperpanjang masa jabatan presiden tiga periode muncul liar di ruang publik tanpa ada partai politik yang mengklaim sebagai pendukung wacana tersebut, menurut Lucius, hal ini dapat dimaknai sebagai umpan.”Bahwa ada kelompok atau partai politik yang pasti akan diuntungkan dengan wacana perpanjangan masa jabatan presiden, itu sudah jelas. (Sebab) Urusan presiden itu adalah urusan partai politik,” tuturnya.

Lucius menuturkan, hanya partai politik yang boleh mencalonkan presiden sehingga pasti keuntungan dari masa perpanjangan jabatan akan dinikmati oleh partai politik. ”Hanya sekarang, bermain langsung memunculkan wacana ini tentu berisiko. Apalagi, kalau nanti tidak jadi, itu akan bisa menjadi bumerang untuk partai politik sehingga (kemudian) menggunakan tangan lain di luar partai politik menjadi strategi yang (dinilai) lebih baik,” ujarnya.

Saat mengawali diskusi, Ari Nurcahyo mengatakan bahwa pihaknya melihat wacana presiden tiga periode ini awalnya main-main. ”Mungkin ada sebuah hasil survei yang dikondisikan, ayo main-main, tetapi sekarang lambat laun saat ini menjadi mainan bola liar. Maka, pertanyaan sentralnya, siapa mereka yang paling diuntungkan dengan proyek politik (wacana) presiden tiga periode ini?” ujarnya.

Para Syndicate melihat wacana presiden tiga periode sudah menjadi proyek politik oleh sekelompok orang, yakni mereka yang diuntungkan dengan hal tersebut. ”Dari mana ini awalnya? (Hal) Yang jelas ini konstitusional, menabrak konstitusi, (dan) ini bukan hanya kemunduran demokrasi, melainkan makin memundurkan demokrasi karena bertentangan dengan konstitusi,” kata Ari.

Memastikan regenerasi

Koordinator Platform Nyari Presiden 2024, Veri Junaidi, mengatakan, Jokowi seharusnya tidak tergoda dengan wacana perpanjangan masa jabatan tiga periode. Wacana itu justru akan menjerumuskan Jokowi pada kesesatan konstitusional. Akan lebih baik jika Jokowi bisa memastikan regenerasi politik nasional berjalan, apalagi telah muncul sejumlah nama yang berpotensi menjadi calon presiden pada Pemilu 2024.

”Presiden Jokowi justru berpotensi menjadi jangkar dan penentu dalam regenerasi politik nasional mendatang, apalagi memiliki pendukung yang banyak,” kata Veri saat webinar bertajuk ”Peluang Tokoh dan Koalisi Partai 2024 dalam Regenerasi Kepemimpinan Nasional Setelah Berakhirnya Jabatan Presiden 2 Periode”, Rabu (23/6/2021).

Selain Veri, diskusi juga menghadirkan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati serta Peneliti Sindikasi Pemilu Demokrasi Erik Kurniawan.

Jokowi, lanjut Veri, diharapkan konsisten dengan ucapannya dan tidak tergoda dengan ajakan dari sejumlah pendukung dan orang-orang di lingkaran kekuasannya. Ajakan itu hanya akan menjerumuskan Jokowi pada kekuasaan absolute dan bisa berujung pada otoritarianisme.

”Publik perlu terus menguatkan Jokowi untuk teguh pada konstitusi agar terus meyakini bahwa dua periode adalah yang terbaik sehingga tidak perlu diperpanjang,” tuturnya.

Khoirunnisa menilai, perpanjangan masa jabatan Presiden merusak semangat reformasi yang telah dicita-citakan pendahulu. Sejumlah alasan, seperti untuk menyelesaikan pandemi Covid-19 dan mencegah keterbelahan masyarakat, dinilai tidak logis untuk meneruskan wacana perpanjangan masa jabatan Presiden tiga periode.

Jika Jokowi kembali diajukan menjadi capres, sama halnya dengan menghambat kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik. Pilpres 2024 yang semestinya bisa diikuti oleh nama-nama baru dan berusia muda menjadi terhambat dan publik tidak mendapatkan alternatif yang beragam. ”Adanya wacana ini justru membuat alternatif-alternatif itu tidak muncul,” katanya.

Menurut Erik, jika jabatan Presiden ditambah, fungsi pemilu sebagai salah satu mekanisme kontrol terhadap kinerja pemimpin bisa kehilangan konteksnya. Pembatasan masa jabatan Presiden dua periode merupakan cara untuk mengganti kepemimpinan jika kinerjanya tidak memuaskan publik.

”Kesadaran bersama harus dibangun agar pemimpin tidak hanya itu lagi itu lagi. Perlu ada penyegaran baru setelah dua periode,” katanya.

Erik khawatir wacana presiden tiga periode itu merupakan upaya penggiringan opini publik agar nantinya publik sepakat dengan usulan itu. Apalagi, telah muncul kelompok sukarelawan pendukung usulan itu.

Secara terpisah dalam sebuah webinar, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia Aditya Perdana khawatir, wacana penambahan jabatan presiden tiga periode merupakan agenda setting yang disiapkan oleh segelintir elite.

Kelompok sukarelawan dikhawatirkan terus bermunculan untuk mendukung gagasan itu. Terlebih jika melihat politikus yang pragmatis, ide untuk mengubah konstitusi bisa dilakukan. ”Ini bisa jadi bola liar yang tujuannya jelas,” ujarnya.

Oleh sebab itu, publik perlu terus memperkuat wacana penolakan ide tersebut agar gerakan pendukung presiden tiga periode tidak menguat. Diskusi-diskusi di publik perlu ditingkatkan agar wacana ini bisa dicegah. (CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO / IQBAL BASYARI)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 24 June 2021 di halaman 2 dengan judul “Pragmatisme Jangan Hambat Transisi Kekuasaan”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/06/24/pragmatisme-jangan-hambat-transisi-kekuasaan