January 30, 2025

Problematika Pemilu Serentak 2024

Sikap pemerintah dan fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat yang cenderung tidak meneruskan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, semestinya diikuti dengan penjelasan terkait teknis perhelatan politik lima tahunan itu. Ada sejumlah problematika teknis yang membutuhkan kejelasan dan kepastian jika pemilu serentak nasional tetap digelar di 2024.

Setidaknya ada tiga problematika besar yang harus segera diselesaikan terkait kepastian hukum pemilu serentak nasional 2024. Problem pertama adalah soal keserentakan dari pemilu dan pilkada itu sendiri.

Problem kedua terkait hak politik peserta pemilu, terutama menyangkut legal standing dari peserta pemilu untuk mengajukan pasangan calon di pilkada. Sementara problem ketiga menyangkut beratnya beban teknis penyelenggaraan pemilu di lapangan.

Bagaimanapun, jika pemilu serentak digelar di 2024, dua regulasi tetap akan dijadikan sebagai landasannya, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada).

Artinya, jika mengacu pada dua regulasi ini, ada dua pedoman waktu yang ada di dalam kedua undang-undang tersebut yang berkorelasi dengan makna keserentakan yang selama ini dipahami oleh publik.

Dua keterangan waktu itu adalah, pertama, soal tahapan pemilu yang harus dimulai 20 bulan sebelum pemungutan suara. Hari dan tanggal pemungutan suara ditetapkan oleh KPU. Hal ini tercantum dalam Pasal 167 ayat 6 UU 7/2017.

Kedua, aturan dalam UU 10/2016 dimana disebutkan bahwa waktu pelaksanaan pemungutan suara pemilihan kepala daerah ditetapkan pada November 2024. Hal ini disebutkan dalam Pasal 201 ayat 8 UU Pilkada.

Jika mengacu pada dua keterangan waktu di dua undang-undang yang berbeda, keserentakan yang bisa dilihat adalah pemilu dan pilkada tidak dilakukan di hari yang sama. Sebab jika mengacu tahapan bahwa ketentuan 20 bulan harus dimulai tahapan pemilu, tidak mungkin pemungutan suara dilakukan bertepatan dengan pilkada yang sudah ‘terkunci” di November 2024.

Apalagi jika mengacu masa jabatan presiden dan wakil presiden yang berakhir pada 20 Oktober 2024, maka secara regulasi disebutkan bahwa penetapan calon terpilih paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum berakhirnya masa jabatan presiden dan wakil presiden berakhir.

Artinya, kita sudah punya presiden dan wakil presiden hasil Pemilu 2024 paling lambat 6 Oktober 2024. Hal ini mengindikasikan, pemungutan suara tentu jauh-jauh sebelumnya digelar.

Jika mengacu pada Pemilu 2019, pemungutan suara bisa digelar April 2024. Tentu hal ini tidak sesuai dengan ketentuan pilkada di UU 10/2016 yang menyebutkan bahwa pilkada digelar serentak pada November 2024.

Terkait hal ini anggota Komisi Pemilihan Umum, Hasyim Asy’ari memberikan sejumlah catatan. Berdasarkan pengalaman pemilu 2019 pemungutan suara dilakukan April 2019, kemudian KPU menetapkan hasil pemilu pada Mei 2019 dan ada gugatan ke Mahkamah Konstitusi yang kemudian diputuskan pada Agustus 2019.

“Dalam konstruksi jadwal seperti itu, hasil pemilu punya kepastian hukum pada Agustus 2019, padahal untuk Pilkada 2024 akan dilakukan pemungutan suara pada November 2024,” ungkap Hasyim.

Dengan kondisi seperti ini, Hasyim mensimulasikan bahwa untuk Pilkada 2024 akan dilakukan pada November 2024, sedangkan pencalonan pasangan di pilkada dimulai Juni atau Juli 2024. Nah, di sinilah problem kedua muncul, yakni terkait partai politik mana yang berhak mengajukan pasangan calon di pilkada tersebut.

Tiket pencalonan

Polemik ini terkait batasan waktu yang disediakan oleh undang-undang menyatakan bahwa pilkada akan digelar pada November 2024. Sementara syarat pengajuan pasangan calon oleh partai politik dimaknai berdasarkan hasil pemilu yang terakhir sebelum pilkada tersebut digelar.

Pertanyaannya adalah, hasil pemilu mana yang dijadikan patokan partai politik untuk bisa mengajukan pasangan calon di pilkada. Apakah hasil Pemilu 2019 atau hasil Pemilu 2024?

Hal ini penting dipertanyakan, sebab jika disimulasikan hasil Pemilu 2019 bagi sebuah parpol peraih kursi DPRD memenuhi syarat mencalonkan, kemudian diputuskan menggunakan basis hasil Pemilu 2024 sebagai tiket pencalonan, tentu berisiko partai politik tersebut menjadi tidak bisa mencalonkan jika suara dan kursi yang didapatkan justru menurun.

Hal sebaliknya bisa terjadi, jika menggunakan hasil Pemilu 2019, sebuah parpol yang tidak memenuhi syarat mencalonkan, namun diputuskan berbasis hasil Pemilu 2024, malah berbalik bisa mencalonkan di pilkada. Kondisi ini tentu komplikatif.

Bagi partai politik peserta pemilu jika lebih awal bisa diputuskan maka akan lebih mudah melakukan kerja-kerja politiknya di pemilu dan pilkada nanti. Menurut Hasyim Asy’ari, hal-hal seperti ini harus dijelaskan dan dipertimbangkan.

“Parpol yang bisa mencalonkan pilkada adalah parpol peserta pemilu DPRD terakhir, perlu ditegaskan apakah maknanya pemilu terakhir itu 2019 atau 2024?”, ujar Hasyim.

Hasyim mengingatkan sinkronisasi ini menjadi urgen karena ada tiga kategori waktu penetapan perolehan kursi yang tidak seragam. Tiga kategori itu adalah, daerah yang tidak ada sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), sehingga bisa langsung melakukan penetapan hasil pilkada.

Jika mengacu pada dua keterangan waktu di dua undang-undang yang berbeda, keserentakan yang bisa dilihat adalah pemilu dan pilkada tidak dilakukan di hari yang sama.

Kedua, daerah yang terdapat sengketa dan gugatan PHPU dan dinyatakan oleh MK tidak lanjut, sehingga daerah tersebut baru menetapkan hasil pilkada setelah MK resmi menyatakan.

Ketiga, daerah yang yang terdapat sengketa dan dilanjutkan dengan pemeriksaan pembuktian. Kelompok ketiga ini makin panjang jika ada putusan pemungutan suara ulang, penghitungan ulang, atau perekapan ulang.

Jika pilkada akan digelar 2024, maka tahapan pencalonan dilakukan pada Agustus 2024. Padahal jika kita ikuti tiga kategori di atas, berpijak pada waktu pemungutan suara April 2024 (mengikuti pengalaman 2019), maka bisa jadi sebuah daerah belum bisa memastikan apakah sudah diketahui perolehan kursi DPRD prov/kab/kota.

Risiko KPPS

Kondisi ini pada akhirnya membutuhkan rasionalisasi dimana bisa saja dilakukan upaya untuk memajukan jadwal pemungutan suara pemilu legislatif, tidak harus pada April 2024, namun bisa maju satu bulan.

Sementara itu problem ketiga juga tidak kalah pentingnya, yakni menyangkut problem beban berat bagi penyelenggara pemilu yang harus menyelenggarakan pemilihan dengan tujuh jenis pemilu pada tahun yang sama (2024), yakni pemilihan presiden, pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota, Pemilihan Gubernur, dan Pemilihan Walikota/Bupati.

Pengalaman di Pemilu 2019 harus diperhitungkan, ketika faktor kelelahan dan sakit bawaan membuat 894 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dan 5.157 petugas KPPS sakit.

Jika 2024 nanti dipastikan serentak, ada baiknya dalam rekrutmen badan ad hoc (PPK, PPS, Pantarlih, dan KPPS) menambahkan syarat minimal berusia di bawah 50 tahun sebagaimana dilakukan saat Pilkada 2020 lalu.

Pada akhirnya, jika Pemilu 2024 jadi dilaksanakan secara serentak nasional, beban penyelenggara pemilu semakin berganda. Hal ini menjadi problem yang tak bisa dianggap sebelah mata.

Tidak heran jika kemudian keserentakan pemilu menyimpan “bara”, tidak saja bagi pemilih, namun juga bagi penyelenggara. Problematika pemilu serentak ini harus segera dicarikan solusi. Mungkinkah peluang revisi UU Pemilu kembali dibuka? (YOHAN WAHYU/LITBANG KOMPAS)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 4 Maret 2021 dengan judul “Problematika Pemilu Serentak 2024”. https://www.kompas.id/baca/riset/2021/03/04/problematika-pemilu-serentak-2024/