Sembilan tempat pemungutan suara (TPS) di pesisir Pekalongan, Jawa Tengah terdampak genangan banjir pada masa pemungutan suara Pilkada Serentak 2024. Dari 9 TPS tersebut, 2 TPS di antaranya terpaksa direlokasi, 4 TPS digeser tetapi masih di wilayah pemilih, dan 3 TPS masih tetap di area banjir.
“Dengan adanya peristiwa banjir tersebut terdapat sejumlah 4.742 pemilih harus mengungsi,” ujar Ketua Bawaslu Jateng, Muhammad Amin dalam rilis hasil pengamatan pemungutan suara, Semarang (28/12).
Banjir tersebut disebabkan jebolnya tanggul darurat Sungai Bremi, Pekalongan. Tanggul sepanjang 10 meter, lebar 3 meter, dan tinggi 2 meter dari tumpukan karung isi tanah itu tidak bisa menahan air pasang pada Sabtu (23/11) dini hari.
Banjir di Pekalongan ini berkaitan dengan tingginya pasang air laut atau rob. Banjir rob memang menjadi masalah krusial di Pekalongan, bahkan Jateng secara umum. Jamak diketahui, sebanyak 17 dari 35 kabupaten/kota di Jateng memiliki area pesisir, terdiri dari 13 daerah berada di pantai utara Jawa (pantura) dan 4 daerah berada di pantai selatan Jawa (pansela).
Wilayah yang memiliki kawasan pesisir berpotensi mengalami banjir rob. Namun, daerah yang robnya cukup parah adalah Kota Semarang, Pekalongan, dan Demak, sebagaimana data Dinas Pusdataru Jateng.
Nestapa Warga Pesisir
Bencana banjir rob menjadi momok tahunan bagi masyarakat pesisir. Belum lama ini, ratusan masyarakat di Desa Semut, Pekalongan terpaksa direlokasi karena wilayahnya kerap terendam rob tinggi. Menurut data, pada pertengahan 2024, sebanyak 22 kelurahan di 4 kecamatan di Pekalongan terdampak banjir rob, dengan warga terdampak mencapai 20 ribu keluarga. Sejumlah pakar dalam Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim (RAD API) memperkirakan, Pekalongan dan sekitarnya akan menjadi lautan beberapa tahun ke depan jika banjir rob tidak segera teratasi.
Banjir rob di Kabupaten Demak tak kalah parah. Tidak sedikit warga yang sampai kehilangan rumah seperti masyarakat Desa Bedono, Kecamatan Sayung.
Salah satu warga Desa Bedono, Tumirah bercerita, banjir rob mulai menerjang kampung halamannya pada tahun 1990-an. Awalnya, air laut masuk ke kampung hanya saat bulan purnama. Namun belakangan, rob datang sewaktu-waktu.
Kampung masa kecil Tumirah berada di wilayah makam tokoh masyarakat KH. Abdullah Mudzakir atau Syekh Mudzakir. Makam itu kini lebih dikenal sebagai Makam Apung karena dikelilingi air laut. Saat Tumirah kecil, ia kerap bermain bersama teman-temannya di jalan-jalan kampung. Tapi ruas jalan itu kini berubah menjadi lautan.
“Dulu lautan itu merupakan daratan,” keluhnya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jateng mencatat, sejak 2002, sekitar 100 keluarga di Bedono kehilangan tempat tinggal akibat banjir rob dan abrasi. Warga Bedono yang tersisa kini hidup terisolasi dalam wilayah mereka sendiri, kehilangan hak dasar yang semestinya dijamin.
Masalah banjir rob juga terjadi di Kota Semarang. Sebagai Ibu Kota Jateng, kota ini mendapat gelontoran program penanggulangan banjir rob dari pemerintah pusat. Salah satunya pembangunan sheet pile atau tanggul laut sepanjang 3,6 kilometer di pesisir utara Kota Semarang, tepatnya di Kampung Tambaklorok.
Proyek tanggul dengan anggaran Rp386 miliar ini digadang-gadang mampu menahan banjir rob. Namun, proyek itu tak kunjung selesai. Dan sementara ini, air laut masih merembes di sela-sela sheet pile dan rembesan air laut mengganggu aktivitas warga.
Ketua RW 16 Kampung Tambaklorok, Slamet Riyadi, membenarkan bahwa masalah banjir rob di kampungnya belum benar-benar selesai. Setiap pagi, selama satu hingga dua jam, air rob setinggi 5-10 sentimeter menggenangi kampung tersebut. Menurut Tim Riset Tide Eye Indonesia, kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat banjir rob di pesisir utara Jateng mencapai Rp2,5 triliun per tahun (data dipaparkan pada Oktober 2024).
Kerugian akibat bencana karena kerusakan lingkungan di Jawa Tengah juga didata oleh Bappeda Provinsi Jawa Tengah. Di mana total kerugian akibat bencana pada 2020-2024 tembus Rp 14,9 triliun.
Dampak Banjir Rob
Kelompok rentan seperti perempuan, lansia, maupun anak-anak turut serta menjadi korban banjir rob. Bahkan, mereka akan merasakan dampak berlebih lantaran bertumpuknya masalah yang berkelindan akibat banjir rob. Kemiskinan dan marginalisasi masyarakat di wilayah pesisir merupakan potret sosial yang nyata. Kampung-kampung pesisir merupakan salah satu kantong kemiskinan di Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir Indonesia pada 2022 mencapai 17,74 juta orang. Sebanyak 3,9 juta orang berada dalam kategori sangat miskin. Jika penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2022 berjumlah 26 juta orang, kemiskinan di wilayah pesisir menyumbang 68 persen dari total angka kemiskinan di Indonesia.
Salah satu faktor utama penyebab rendahnya tingkat kesejahteraan keluarga nelayan kecil adalah kondisi kehidupan mereka yang memprihatinkan, seperti terlihat dari kondisi permukiman kumuh di kawasan pesisir. Permukiman tersebut ditandai dengan penduduk dan bangunan yang sangat padat, rumah yang tidak layak huni, dan sanitasi yang buruk.
Pola permasalahan sanitasi masyarakat di wilayah pesisir secara keseluruhan meliputi penyediaan air bersih, penyediaan tempat pembuangan sampah yang layak, pembuangan limbah cair, dan tempat pembuangan sampah rumah tangga.
Dalam kondisi ini, perempuan adalah pihak yang mengalami dampak terbesar. Padahal posisi mereka sangat penting dalam keluarga nelayan dan merupakan kunci untuk memastikan pelayanan kebutuhan dasar keluarganya dapat terpenuhi. Perempuan pesisir sering menanggung beban ganda: bertanggung jawab atas urusan rumah tangga sekaligus membantu perekonomian keluarga.
Salah satu warga pesisir Tambaklorok, Sonia mengatakan, salah satu masalah di wilayah pesisir yang rawan banjir rob adalah sulitnya akses terhadap sanitasi layak. Lebih lanjut, warga pesisir masih ada yang belum memiliki jamban sehat.
Masalah ini tentu, menurut Sonia, dapat berdampak buruk pada kesehatan. Yoga dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Jawa Tengah menegaskan perlunya campur tangan pemerintah dalam mengentaskan masalah sanitasi.
Survei Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) dan Koalisi Masyarakat untuk Air dan Sanitasi Berkeadilan dan Inklusif (2023) menyimpulkan, sekitar 220 ribu perempuan dan anak wilayah pesisir pada 5 kab/kota yang disurvei dan dipetakan, rentan mengalami gangguan kesehatan yang disebabkan oleh buruknya fasilitas sanitasi serta rendahnya akses atas air bersih yang berkualitas.
Tawaran Solusi Cagub
Meskipun masalah banjir rob cukup krusial, sayangnya kedua pasangan calon Gubernur Jateng pada Pilgub 2024 dalam visi misinya tidak ada yang menyebutkan secara spesifik bagaimana strategi penanganan masalah tersebut. Kedua paslon bahkan minim menawarkan program penyelesaian banjir rob saat berkampanye. Bahkan mereka bisa dihitung jari menyambangi wilayah pesisir.
Dalam rilis pemberitaan masing-masing paslon jarang memaparkan tentang penanganan banjir rob, yang ada hanya sebatas komitmen mereka mensejahterakan nelayan. Padahal masalah yang dihadapi masyarakat pesisir lebih dari itu.
Kedua paslon baru menjelaskan program berkait mitigasi bencana seperti banjir rob saat menjawab pertanyaan panelis dalam debat kedua Pilgub Jateng, Minggu (10/11). Calon gubernur nomor urut 01, Andika Perkasa mengatakan, penurunan permukaan tanah menjadi penyebab yang memperparah banjir rob di pesisir utara Jateng. Sehingga, ia menawarkan solusi menaikan tarif pajak penggunaan air tanah bagi industri.
“Kebijakan pemberian pajak tinggi pengguna air tanah akan kami berlakukan. Sehingga yang digunakan lebih banyak air permukaan nantinya,” kata Andika.
Selain itu, kata Andika, banjir juga disebabkan oleh deforestasi. Karena itu, ia mengusulkan adanya insentif untuk menghijaukan kembali lingkungan.
“Kami anak berikan insentif untuk perubahan yang bisa menghijaukan kembali lingkungan mereka. Maka usaha mitigasi bisa dilakukan oleh swasta,”beber Andika.
Sementara itu, calon gubernur nomor urut 02 Ahmad Luthfi akan mengevaluasi Peraturan Daerah (Perda) terkait pengelolaan air tanah selama tiga bulan sekali. Menurut Luthfi, dengan evaluasi Perda diharapkan tak ada lagi pengambilan air tanah secara masif, agar tidak memperparah penurunan tanah di pesisir utara Jateng.
“Kita harus lakukan penegakan perda. Sehingga tidak ada lagi pengambilan air tanah semena-mena dan perda itu nantinya akan dievaluasi setiap 3 bulan sekali,” kata Luthfi.
Luthfi menambahkan, nantinya setiap desa akan memiliki Satgas tanggap bencana yang terlatih. Untuk menangani bencana di wilayah tersebut.
“Kami juga akan membentuk kelompok terlatih yang menjadi garda cepat penanganan bencana nantinya di tingkat desa,” imbuhnya.
Akademisi Soegijapranata Catolic University (SCU) Semarang, J Wijanto Hadipuro pada 2023 lalu pernah menyinggung bahwa Jateng sudah memiliki aturan untuk membatasi penggunaan air tanah sebagai upaya meminimalisir penurunan muka tanah. Wijanto mengatakan, nilai pajak penggunaan air tanah cukup tinggi, Kota Semarang saja mencapai 20 persen.
Namun, harga dasar air tanah yang menjadi acuan penghitungan pajak, dinilai terlalu murah sebagaimana tercantum dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 54 Tahun 2018. Sehingga, alih-alih gembar-gembor menaikkan pajak, justru lebih penting meninggikan nilai harga dasar air tanah. Selama harga dasarnya murah, maka industri tidak akan beralih menggunakan air PDAM yang secara kalkulasi lebih ekonomis.
Sisi lain, pengendalian ekstraksi air tanah perlu dilakukan dengan cara memperketat perizinan. Sayangnya, aturannya terlalu mudah. Perlu dievaluasi. Minimal, tidak boleh diizinkan membangun sumur artesis bagi daerah yang sudah terlayani pipa PDAM.
Tak Sentuh Akar Masalah
Isu banjir rob tampaknya kurang seksi bagi calon gubernur. Buktinya isu ini tak menjadi prioritas. Tawaran solusi yang disuguhkan kedua paslon gubernur dinilai belum sepenuhnya menyentuh akar masalah.
Direktur LBH Semarang, Syamsudin Arief mengatakan selama debat Pilgub Jateng 2024, dua pasangan calon gubernur tak menganalisis lebih dalam permasalahan struktural di Jateng. Ia melihat solusi yang ditawarkan tidak konkret untuk menjawab persoalan struktural yang dialami masyarakat.
Dia mengkritik sikap calon gubernur yang menggeneralisir banyaknya bencana di Jateng hanya dikatakan sebagai sebaran angka semata tanpa tahu apa penyebab kenapa bencana ini makin banyak. Di Kota Semarang, misalnya, eksploitasi air tanah untuk keperluan industri dan aktivitas ekonomi lainnya menyebabkan penurunan muka tanah semakin cepat.
Selain itu, pembangunan yang lebih berfokus kepada daerah pesisir hampir di seluruh wilayah pantai utara berdampak terhadap masifnya bencana rob. Menurut Arif, kerusakan lingkungan dan krisis iklim ini berkelindan dengan proses politis atas ketimpangan akses penguasaan sumber daya alam antara masyarakat dengan perusahaan atau bahkan dengan negara.
“Dan sekali lagi, analisa kedua paslon belum sejauh itu. Mereka tidak menjabarkan akar masalah bencana yang ada seperti perampasan lahan atas nama pembangunan, tambang yang meluas, penyedotan air tanah yang masif, pencemaran serta krisis iklim yang bertahun-tahun terjadi di Jateng,” ujarnya.
Selama tahun 2023, berdasarkan catatan LBH Semarang kurang lebih terdapat 60.000 orang yang telah terlanggar haknya di Jawa Tengah baik yang didampingi langsung maupun melalui tracking media.
Dosen Perencaan Wilayah dan Kota Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang, Mila Karmila mengatakan, faktor utama penyebab banjir dan rob adalah turunnya muka tanah (land subsidence). Penurunan muka tanah bisa disebabkan banyak hal. Masifnya pemakaian air bawah tanah hanya merupakan salah satu penyebab.
Penyebab lain yang juga krusial adalah pembebanan di atas permukaan tanah, yakni tak terkendalinya pembangunan di kawasan pesisir, termasuk masifnya pembentukan kawasan industri.
“Strategi yang bisa dilakukan memperkecil pembangunan di kawasan pesisir yang membebani tanah. Itu yang perlu dipertimbangkan pemerintah. Jadi jangan membuat program jangka pendek saja, tetapi justru jangka panjangnya memperparah kondisi,” kritiknya.
Secara tegas, ia bahkan mengusulkan peniadaan kawasan industri di pesisir seperti di Kota Semarang dan Demak.
“Solusinya industrinya ditutup. Karena industri siapa yang diuntungkan? Justru masyarakat yang terkena imbasnya,” tegasnya.
Pendapat Mila bukan berarti ia anti terhadap pembangunan atau kemajuan kota. Menurutnya, membangun kota bisa berjalan beriringan dengan komitmen menjaga bumi. Caranya dengan menggali potensi ekonomi yang tidak merusak lingkungan.
“Ini bisa sejalan, tapi bisa juga kontra, tinggal kepala daerah mau fokus ke mana,” tuturnya. []
Baihaqi Annizar, Jurnalis Jateng Today
Liputan ini telah terbit di Jateng Today, merupakan hasil kolaborasi dengan Perludem untuk mengawal proses Pilkada 2024 dan memastikan pilkada berjalan dengan adil dan transparan.