Tinggal menghitung hari, masyarakat Indonesia akan menjadi saksi peristiwa penting demokrasi, yakni Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang diselenggarakan pada 27 November 2024. Pada tanggal tersebut, warga di Jawa Tengah (Jateng) juga akan memilih calon Gubernur (Cagub) dan calon Wakil Gubernur (Cawagub) periode 2024-2029.
Hampir semua jalan di Jateng dari kota hingga desa terpajang wajah para Cagub dan Cawagub dengan berbagai ukuran.
Ada dua kandidat Cagub dan Cawagub yang ikut kontestasi di Pilkada Jateng. Kedua pasangan itu yakni calon Gubernur dan calon Wakil Gubenur nomor urut 1, Andika Perkasa-Hendrar Prihadi (Hendi) yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Andika Perkasa merupakan mantan Panglima TNI 2021-2022. Sedangkan Hendrar Prihadi (Hendi) pernah menjabat sebagai Wali Kota Semarang periode 2016–2021 dan 2021–2022, Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 2022-2024.
Paslon Gubernur dan calon Wakil Gubernur nomor urut 2, Ahmad Luthfi-Taj Yasin Maimoen (Gus Yasin) yang diusung oleh Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, PKB, PPP, Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS. Ahmad Luthfi pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah 2020-2024. Taj Yasin Maimoen (Gus Yasin) sebagai mantan Wakil Gubernur Jateng 2018-2023.
Menariknya, kedua Cagub merupakan Jendral TNI Purnawirawan, Andika Perkasa dengan pangkat bintang empat dan Jendral Polisi Purnawirawan, Ahmad Luthfi berpangkat bintang tiga. Bukan saja keduanya Jendral (Purnawirawan), namun juga melibatkan sejumlah purnawirawan dari TNI dan Polri dalam tim pemenangan.
Tim pemenangan Andika-Hendi di antaranya ada Letjen TNI (Purn) Setyo Sularso yang merupakan besan dari Andika. Kemudian ada Komjen Pol (Purn) Anang Revandoko sebagai wakil ketua. Sebanyak 32 purnawirawan lain juga memperkuat tim bidang direktorat kusus.
Sedangkan dalam tim pemenangan Luthfi-Yasin, di antaranya ada nama Jenderal TNI (Purn) Dudung Abdurachman, yang saat Ini menjabat sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Pertahanan Nasional sekaligus Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). Ada pula Jenderal (Purn) Bibit Waluyo dan Jenderal Polisi (Purn) Sutarman sebagai Dewan Pembina.
“Ya wajar aja kedua calon terhubung dengan para purnawirawan dan dianggap strategis, juga karena pertama, mereka punya sumber daya ekonomi dan pasti masih terhubung dengan militer atau kepolisian di berbagai tempat di Jawa Tengah,” kata warga Semarang dan pegiat Hukum, Cornell Gea (30), minggu lalu.
Cornell menduga akan ada potensi bagi-bagi kekuasaan di Jateng dengan para purnawirawan.
“Kita semua sebenarnya sudah muak dengan janji-janji calon Gubernur, dari dulu janji ini itu tapi kalau sudah jadi (Gubernur) lupa semua dan melakukan kebalikan dari janjinya,” ujarnya.
Dosen FISIP Universitas Diponegoro (Undip), Yuwanto mengatakan nama-nama anggota tim pemenangan bisa bermakna simbolik bisa juga bermakna realistik.
“Secara simbolis, misalnya, ternyata Cagub pensiunan Jenderal polisi bisa didukung purnawirawan TNI dan sebaliknya juga untuk Cagub pensiunan Jenderal TNI,” ucapnya.
Secara realistis mungkin para figur purnawirawan tersebut dipercaya masih punya sumberdaya aktual dan jejaring pengaruh segaris jabatan-jabatan mereka dulu.
“Itu semua hanya kontestasi simbolik melalui figur dan citra mereka sebagai tokoh dan mantan tokoh. Semacam vote-getter saja,” terang Yuwanto.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath menilai keberadaan dua calon yang berlatar belakang militer (TNI/Polri) dapat menimbulkan kekhawatiran, tentang dominasi figur militer dalam politik lokal yang berpotensi melemahkan prinsip demokrasi.
“Meskipun mereka membawa citra kedisiplinan dan ketegasan, namun dalam konteks demokrasi, kita perlu menjaga agar sistem politik tetap terbuka untuk berbagai jenis figur, bukan hanya mereka yang berasal dari latar belakang militer,” katanya.
Menurut Annisa, terlalu banyak tokoh militer dalam politik juga dapat meningkatkan ketegangan sipil-militer dan berisiko mengganggu keseimbangan kekuasaan dalam pemerintahan sipil.
“Meskipun purnawirawan militer memiliki jaringan luas yang dapat mendukung kampanye, keterlibatan mereka bisa dipandang sebagai upaya untuk memperkuat dominasi politik yang berakar pada struktur militeristik, yang bisa merugikan pemahaman demokrasi yang sehat,” ucap Annisa.
Hal itu dapat menimbulkan pertanyaan tentang keberpihakan dan apakah tim pemenangan lebih mengutamakan loyalitas dari pada profesionalisme dalam pengelolaan kampanye.
Mengandalkan purnawirawan untuk meraih suara juga berisiko mengesampingkan proses pemilihan yang seharusnya berfokus pada gagasan dan program kerja, bukan hanya pada jaringan atau simbol otoritas militer.
“Meskipun Jateng merupakan Provinsi yang memiliki pengaruh politik yang signifikan, penekanan pada “keuntungan politik” yang bisa didapat dari kemenangan di Pilgub Jateng justru bisa menciptakan persepsi negatif tentang politisasi daerah,” terangnya.
Kompetisi Popularitas Tokoh
Persaingan antara kedua Cagub Jendral (Purn) ini, kemudian muncul istilah “Perang Bintang” sekira September lalu. Cornell meragukan istilah tersebut, dikarenakan salah satu paslon didukung oleh Presiden dan mantan Presiden.
“Sebenarnya saya masih ragu apakah ini benar-benar perang bintang, karena yang saya tau Luthfi didukung oleh Jokowi, artinya didukung oleh Prabowo yang juga berasal dari militer. Selain itu, Luthfi kalau enggak salah punya keluarga juga pejabat militer di Jawa Tengah,” ucap Cornell.
Cornell berharap siapapun yang memenangkan Pilkada Jateng, dapat membuka kesempatan kepada masyarakat seluas-luasnya untuk membangun Jawa Tengah.
“Dengarkan kami masyarakat maunya apa, jangan melulu mengutamakan kepentingan orang-orang kaya,” katanya.
Ketua Bidang Politik PDIP, Puan Maharani juga enggan menyebut Pilkada Jateng dengan istilah “Perang Bintang”. “Bukan, sama-sama calon (Calon Gubernur) yang mempunyai bintang. Bukan perang bintang, serem banget,” kata Puan saat berada di kantor DPD Jateng, Kota Semarang.
Meski demikian, Puan tetap optimis paslon yang diusung partainya itu akan memenangkan Pilkada di Jateng.
Dalam catatan Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Tengah, terdapat Daftar Pemilih Tetap (DPT) Cagub dan Cawagub 2024 sebanyak 28.427.616 orang. Puluhan juta DPT tersebut akan menggunakan hak suaranya di 56.812 Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tersebar di 35 Kabupaten/Kota.
“Ini hanya istilah saja, kan di debat kemarin Cagub Ahamad Luthfi oleh moderator dan ketua KPU Jateng disebut tanpa gelar bintang,” kata Yuwanto.
Annisa menilai istilah “Perang Bintang” menggambarkan kompetisi antar tokoh besar atau bintang di dunia politik bisa menurunkan kualitas debat publik yang seharusnya berfokus pada visi dan program calon, alih-alih pada personalitas dan popularitas mereka.
“Pemilihan yang lebih mengedepankan nama besar atau figur ikonik bisa merugikan calon yang lebih berpotensi dalam hal substansi, tetapi kurang dikenal secara nasional,” katanya.
Hal itu berisiko menciptakan polarisasi publik berdasarkan kepopuleran figur. Bukan berdasarkan kebijakan yang lebih berbobot dan relevan untuk kesejahteraan masyarakat. []
Praditya Wibisono, Jurnalis serat.id
Liputan ini telah terbit di serat.id merupakan hasil kolaborasi dengan Perludem untuk mengawal proses Pilkada 2024 dan memastikan pilkada berjalan dengan adil dan transparan.