September 13, 2024

Putusan MA Dinilai Normalkan Dinasti Politik dan Tidak Demokratis

Ahli Hukum Tata Negara STH Jentera Bivitri Susanti menilai putusan MA soal batas usia calon kepala daerah dihitung saat pelantikan calon merupakan penggunaan hukum dan pengadilan dengan cara-cara culas. Dalam putusan tersebut menurutnya masalahnya bukan sekedar disintegragrasi saja, melainkan cara mengubah aturan main yang dilakukan dengan tidak terbuka, partisipatif, dan melalui perubahan yang normal.

“Ketika melihat sebuah tindakan hukum, kita tidak hanya melihat substansinya, tapi juga prosesnya,” kata Bivitri dalam Talkshow Ruang Publik KBR bertajuk “Mengkritisi Putusan MA soal Usia Calon Kepala Daerah” (5/6).

Putusan itu dinilai memberi karpet merah kepada putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang baru genap berusia 30 tahun pada Desember mendatang untuk mencalonkan diri di Pilkada 2024. Bivitri memandang upaya tersebut sebagai usaha menormalkan dinasti politik dalam masyarakat, karena dilakukan melalui mekanisme hukum.

“Bahaya sekali dalam sebuah negara hukum dan demokrasi jika dinasti politik menjadi lazim. Sementara yang dilakukan saat ini tidak normal, karena mengambil jalan pintas melalui lembaga peradilan yang sesungguhnya tugasnya bukan membuat peraturan,” jelasnya.

Seharusnya perubahan-perubahan dilakukan dengan terbuka agar terjadi perdebatan di ruang publik. Ia menyebut cara seperti itulah cara yang baik dalam berdemokrasi dan bernegara hukum. Sementara jika melalui putusan MA, prosesnya tertutup bahkan tidak ada ahli yang didatangkan, putusan hanya berdasarkan dokumen yang diterima.

“Sebenernya sudah sesuai dengan wewenang MA, tidak ada yang melampaui apa yang diminta, tidak ultra petita. Secara legal formal, semua sudah benar, tapi dilakukan melalui jalan tertutup bukan melalui perubahan peraturan secara terbuka dan partisipatif,” ucapnya.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan putusan tersebut bukan untuk kebaikan anak muda serta tidak memberikan kesempatan anak muda untuk maju sebagai calon. Hal itu karena syarat untuk menjadi paslon melalui partai politik memerlukan dukungan 20% kursi atu 25% suara.

“Anak muda yang mana yang punya modal seperti itu tanpa dukungan elite kekuasaan?” tegasnya. []