Koalisi Masyarakat Sipil menilai Mahkamah Konstitusi (MK) inkonsisten dan serampangan dalam merumuskan putusan mengenasi syarat usia pencalonan presiden/wakil presiden. MK yang tidak berwewenang menambahkan norma hukum dalam undang-undang malah menambahkan ketentuan pengalaman jabatan pemilu untuk mengesampingkan syarat usia minimal. Putusan dengan legal standing yang tidak kuat ini pun memiliki konflik kepentingan antara hakim Ketua MK dengan presiden yang masih menjabat.
“Putusan ini akan dicatat sejarah, sebagai salah satu putusan terburuk sepanjang keberadaan MK,” begitu kutipan siaran pers dari Koalisi, Jakarta (17/10).
Koalisi menjelaskan, Putusan 90/PUU-XXI/2023 inkonsisten karena meminta agar syarat usia 40 tahun bagi calon presiden/wakil presiden dapat dikesampingkan, jika pernah/sedang menduduki jabatan hasil pemilu. Padahal sebelumnya, pada hari yang sama, para hakim sepakat usia capres/cawapres adalah open legal policy.
Lalu, putusan MK serampangan karena merupakan putusan yang menambah norma baru dalam ketentuan undang-undang. Sebagai kekuasaan yudisial seharusnya MK hanya berwenang memastikan produk hukum berjalan sesuai konstitusi, bukan membuat atau mengubah hukum itu sendiri yang merupakan kewenangan lembaga legislatif.
Koalisi pun menilai legal standing pemohon sangat lemah karena tidak menjelaskan kerugian konstitusional yang jelas. Pemohon hanya bersandar pada keinginan menjadi Presiden terinspirasi dari Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka. Hal tersebut tidak memiliki hubungan langsung dengan pemohon.
“MK yang biasanya ketat dalam memeriksa legal standing, justru seolah melunak dengan menerima kedudukan hukum pemohon. Hal ini tentu inkonsisten dengan Putusan MK No. 006/PUU-III/2005, yang menegaskan kerugian konstitusional harus dialami langsung, serta bersifat spesifik dan aktual,” jelas Koalisi dalam siaran pers.
Selain itu, putusan MK ini mempunyai konflik kepentingan dengan keterlibatan Ketua MK, Anwar Usman dengan Gibran Rakabuming Raka, yang disebut sebagai inspirasi dalam mengajukan permohonan. Anwar Usman tentu tidak etis dan bertentangan dengan hukum, terutama pada Pasal 17 ayat (5) UU 48/2009. Dalam ketentuan pasal tersebut, wajib mengundurkan diri dari persidangan bila memiliki kepentingan langsung maupun tidak langsung terhadap perkara.
Koalisi terdiri dari Perkumpulan Demokrasi untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Indonesia Corruption Watch (ICW), Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (Posako), dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontra-S). Koalisi menegaskan mendukung politik muda dan regrenerasi kepemimpinan tapi tidak diupayakan ke MK dengan menambah norma baru dalam undang-undang pemilu, melainkan ke kekuasaan legislatif, yaitu DPR. []