January 27, 2025

Quo Vadis Larangan Petahana dalam Pilkada

Pembatalan calon petahana Wali Kota dan Wakil Wali Kota Metro oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat, menjadi sebuah peristiwa penting yang menarik untuk didiskusikan. Keputusan ini amat berdampak pada dinamika politik lokal. Ada juga pesan kuat tentang pentingnya menjaga integritas proses demokrasi.

Kasus ini berawal dari sebuah rekaman video yang di dalamnya berisi kegiatan pembagian bantuan sosial oleh Wakil Walikota Qomaru Zaman. Video itu kemudian dijadikan alat bukti dan dilaporkan ke Bawaslu setempat. Setelah melalui pleno tahap satu dan dua, laporan dugaan pelanggaran pidana pilkada itu disidangkan oleh PN Metro.

Selanjutnya Hakim memutuskan Qomaru Zaman dinyatakan bersalah melanggar Pasal 71 ayat 3 juncto Pasal 188 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dan atau Pasal 71 ayat 3 juncto Pasal 188 Undang-Undang Pemilu Tahun 2015. Yang bersangkutan pun didenda sebesar enam juta rupiah subsider satu bulan kurungan penjara. Qomaru Zaman tidak menggunakan upaya hukum banding atas putusan itu sehingga putusan tersebut menjadi inkrah.

Selanjutnya Bawaslu Kota Metro yang mendapatkan salinan putusan dari pengadilan meneruskan putusan tersebut ke KPU setempat. Berdasarkan vonis pengadilan tersebut, KPU Kota Metro pada 20 November 2024 mempublikasikan pembatalan pasangan calon petahana Wahdi Siradjuddin-Qomaru Zaman sebagai pasangan calon sekaligus menyatakan pilkada Kota Metro hanya diikuti oleh satu pasangan calon.

Dua hari setelah pembatalan pasangan calon, Ketua Divisi Teknis KPU RI Idham Kholik merilis pernyataan bahwa KPU RI mengkoreksi pembatalan pasangan calon. Artinya, hanya Qomaru Zaman saja yang dibatalkan sebagai Calon Wakil Walikota Metro. Wahdi Sirajuddin tetap sah dinyatakan sebagai calon Walikota Metro. KPU RI sekaligus menyatakan bahwa pilkada Metro tetap diikuti oleh dua calon.

Esensi Pasal Larangan Petahana

Kasus pembatalan pencalonan Wahdi-Qomaru dalam Pilkada Metro memunculkan perdebatan hukum yang sengit, terutama mengenai penerapan Pasal 71 Ayat (3) dan Ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2016 serta kaitannya dengan Pasal 188 UU Nomor 1 Tahun 2015. Esensi Pasal 71 Ayat (3) melarang petahana menggunakan program atau kegiatan pemerintah daerah untuk kepentingan pemilu, karena dianggap merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang. Sedangkan esensi Pasal 71 Ayat (5) menyatakan bahwa sanksi pembatalan calon hanya dapat dikenakan jika petahana melanggar ketentuan yang dimaksud dalam Ayat (2) dan Ayat (3).

Kuasa hukum pasangan calon berpendapat bahwa pelanggaran harus memenuhi syarat kumulatif. Unsur yang dilibatkan dari Ayat (2) dan Ayat (3) adalah, untuk dijatuhkan sanksi pembatalan. Dengan kata lain, melanggar hanya satu ayat, Ayat (3), tidak cukup untuk membatalkan pencalonan.

Pendapat kuasa hukum tentang penafsiran kumulatif memiliki dasar logis. Ini terutama jika frasa tersebut dianggap harus mencakup unsur gabungan. Namun, tafsir ini dapat disanggah oleh pendekatan hukum lain: yaitu penafsiran tekstual dan penafsiran sistematis.

Secara tekstual, Pasal 71 Ayat (5) hanya menyebut pelanggaran terhadap Ayat (3) sebagai syarat pembatalan. Tidak ada keharusan bahwa Ayat (2) harus terpenuhi juga untuk dikenakan sanksi. Secara sistematis dalam konteks UU Pilkada, Ayat (3) secara eksplisit melarang penggunaan program pemerintah untuk keuntungan politik, yang dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap asas keadilan pemilu. Penegakan Ayat (5) atas dasar pelanggaran Ayat (3) saja adalah bagian dari upaya menjaga integritas pemilu.

Oleh karena itu menurut penulis Pasal 188 tidak hanya memberikan sanksi pidana bagi pelanggaran terhadap ketentuan pilkada. Ketika pengadilan menyatakan bahwa pelanggaran Qomaru terhadap Pasal 71 Ayat (3) memenuhi unsur pidana, KPU memiliki dasar hukum kuat untuk membatalkan pencalonannya sesuai Ayat (5). Hal ini menunjukkan bahwa pelanggaran Ayat (3) dapat berdiri sendiri sebagai alasan pembatalan, tanpa memerlukan pelanggaran tambahan dari Ayat (2).

Sebagai petahana, Qomaru memiliki akses langsung terhadap sumber daya pemerintah yang jika disalahgunakan, dapat memberikan keuntungan tidak adil dalam kontestasi pilkada. Oleh karena itu, regulasi seperti Pasal 71 ada untuk mencegah penyalahgunaan tersebut. Dalam hal ini, pembatalan pencalonan adalah sinyal penting bahwa penyelenggara pemilu serius menjaga keadilan dan integritas proses demokrasi.

Penulis melihat peristiwa pembatalan calon petahana Wahdi-Qomaru ini setidaknya dalam dua perspektif yaitu Pertama, perspektif kepastian hukum bahwa pembatalan pencalonan berdasarkan pelanggaran Ayat (3) sudah memiliki landasan hukum yang kuat jika merujuk pada penafsiran tekstual dan sistematis Pasal 71. Tidak ada indikasi dalam undang-undang bahwa pelanggaran harus kumulatif antara Ayat (2) dan (3).

Kedua, perspektif keberlanjutan demokrasi bahwa sanksi pembatalan ini memberikan pesan kuat bahwa pemilu harus berlangsung secara adil dan transparan. Petahana yang menyalahgunakan kewenangan harus menerima konsekuensi hukum sebagai bagian dari penegakan aturan.

Tafsir KPU RI

Putusan pembatalan pasangan calon Wahdi-Qomaru itu semakin sengkarut ketika KPU RI berpendapat bahwa yang memenuhi syarat dibatalkan hanya Qomaru Zaman. Hal itu merujuk pada ketentuan Pasal 71 ayat (5) petahana yang melanggar ayat (2) dan (3) dibatalkan sebagai calon. Menurut KPU yang dibatalkan hanya calon terpidana, bukan pasangan calon. Jadi, karena Qomaru dibatalkan sebagai calon, maka Wahdi Siradjuddin maju sendiri sebagai calon Wali Kota tanpa pasangan Wakil Walikota.

UU 10 Tahun 2016 sejatinya memperbolehkan calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah menjadi calon tanpa berpasangan. Hal itu diatur dalam Pasal 54 UU 10/2016 mengatur jika salah satu pasangan calon meninggal dunia, partai politik dapat mengusulkan calon pengganti paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara. Sedangkan apabila salah satu pasangan calon meninggal dunia 29 hari sebelum hari pemungutan suara, partai politik tidak dapat melakukan penggantian calon sehingga calon yang tidak meninggal dunia ditetapkan sebagai pasangan calon.

Pertanyaannya, apakah pembatalan Qomaru Zaman sebagai calon Wakil Walikota Metro karena terbukti bersalah melanggar pidana pemilihan dapat dikategorikan sama dengan calon yang meninggal dunia? Menurut hemat penulis, tafsir KPU yang menetapkan Wahdi Siradjuddin sebagai Calon Walikota Metro tanpa Wakil tidak dapat dilakukan karena tidak diatur dalam UU pilkada. Hanya calon yang meninggal dunia lah yang menurut UU Pilkada yang boleh diganti atau calon yang tidak meninggal dunia ditetapkan sebagai pasangan calon.

Rekomendasi

Untuk mencegah multitafsir di masa depan, lembaga peradilan seperti Mahkamah Konstitusi dapat diminta memberikan tafsir yang lebih eksplisit terhadap Pasal 71 Ayat (3) dan (5) dan Pasal 54. Dengan demikian, ketentuan ini tidak lagi menjadi area abu-abu yang rentan terhadap perdebatan hukum.

Kasus ini menjadi pengingat pentingnya menjaga integritas pemilu dan memastikan hukum ditegakkan secara adil. Jangan lagi hukum membedakan pandangan terhadap status kandidat. Sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat, kejadian ini harus dilihat sebagai langkah positif menuju demokrasi yang lebih baik. []

WIDO ZUWIKA

Advokat, pemerhati pemilu, mahasiswa S2 Hukum IAIN metro