Sebuah video yang diunggah lewat akun TikTok jabungofficial pada 25 November 2024 menampilkan kantor Bawaslu Sleman dikerumuni oleh massa yang mengamuk. “Ini lho, ini lho, kata-kata dari Bawaslu sendiri, [perihal-red] dugaan pelanggaran kampanye: ‘Sahabat, untuk pelanggaran dalam kampanye, segera laporkan.’ Kita sudah lapor ke Bawaslu! Segera [diproses-red]!” terdengar dari salah seorang massa protes kepada Arjuna Al Ichsan Siregar, ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sleman.
Dalam unggahan tersebut, Bawaslu Sleman diprotes oleh massa yang merasa bahwa laporannya terkait dugaan politik uang dari pasangan calon Kustini-Sukamto tidak ditanggapi dengan baik. Posisi Bawaslu, di atas kertas, sebagai aparat penegak hukum tentu jelas dalam menyikapi politik uang: menolak dan akan menindak.
“Ada satu kasus yang kami tangani kemarin terkait dengan dugaan politik uang. Di dalam kampanye oleh salah satu calon wakil bupati, dia berkampanye kemudian dia langsung membagi-bagikan uang. Dia panggil, misalnya, ‘di sini ada nggak janda dan duda?’ datang ke depan udah dikasih duit 50.000 [rupiah-red]. Kemudian, ada di situ perkumpulan pemuda: ‘ini ada sumbangan 1.000.000 [rupiah-red],’ jadi harus dikasih duit cash. Nah, kami memandang itu bagian dari politik uang. Karena apa? Karena emang di dalam kampanye tidak boleh memberikan uang secara tunai dengan dalih apapun,” jelas Arjuna saat memaparkan salah satu kasus politik uang yang pernah ditangani oleh Bawaslu Sleman (13/11).
Akan tetapi, ditinjau secara hukum, praktik politik uang memang merupakan isu yang terpisah dari dugaan pelanggaran administratif. Sebagai bagian dari pelanggaran undang-undang Pemilu, metode klarifikasi yang harus dilakukan oleh Bawaslu kepada kepolisian akan berbeda. Sayangnya, seringkali, mekanisme pengklasifikasian dugaan pelanggaran tersebut menjadi faktor besar yang menghambat proses penegakan hukum. Terutama, yang berkaitan dengan perputaran uang.
Sekurang-kurangnya ada dua kasus pelanggaran pemilu yang berpotensi tidak ditegakkan dengan baik, akibat kurang komprehensifnya kebijakan yang mengatur lobi pemisahan jenis pelanggaran. Pertama, yang berhubungan dengan politik uang dari calon bupati maupun wakil bupati. Kedua, kasus penyunatan dana konsumsi dan akomodasi dalam pelantikan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Sleman untuk Pemilu pada Januari 2024.
Meski kedua kasus tersebut memiliki perbedaan aktor dan kontestasi politik praktis, keduanya dicirikan dengan kekhususan yang sama: melibatkan uang, tidak terselesaikan, dan dipersulit oleh sistem pemisahan jenis pelanggaran.
Pemisahan Jenis Pelanggaran Pemilu dan Pemilihan
Arjuna menjelaskan bahwa pelanggaran pilkada dibedakan menjadi empat jenis, yakni pelanggaran pidana, pelanggaran administrasi, pelanggaran etik, serta pelanggaran undang-undang Pemilu maupun Pilkada. Dalam terjadinya suatu dugaan pelanggaran, wewenang untuk memisahkan jenis pelanggaran tersebut dipegang oleh Bawaslu.
“Dugaan pelanggaran itu, yang ditangani oleh Bawaslu, tergantung dari kasusnya yang terjadi seperti apa. Nanti dianalisis, [setelah-red] dianalisis kemudian ditentukan: ‘Oh, ini lebih masuk ke pelanggan administrasi; oh, ini masuk pelanggaran pidana; oh, ini masuk pelanggaran etik, gitu.’ Nah, atau [justru-red] ini masuk ke pelanggaran [undang-undang-red] lainnya.”
Proses analisis jenis pelanggaran Pemilihan dan Pemilu juga bergantung pada asal munculnya dugaan: dari laporan atau temuan. Apabila dugaan berasal dari temuan, maka analisis harus dilakukan pada laporan hasil pengawasan.
“Jadi, kalau setiap pengawas Pemilihan itu, ketika dia mengawasi sebuah kegiatan maka dia harus menuliskan hasil pengawasannya itu dalam formulir, model A namanya, atau laporan hasil pengawasan. Nah, di situ nanti dijelaskan: apakah dalam pengawasan kegiatan itu terdapat potensi pelanggaran atau tidak. Apakah itu pelanggaran pidana ataukah administrasi, ataukah etik atau undang-undang lain? Setelah itu, laporan tersebut akan dibawa pada sidang pleno, didaftarkan sebagai pelanggaran, kemudian baru memasuki tahap penanganan pelanggaran,” paparnya.
Sampai tahap tersebut, penanganan pelanggaran akan berbeda untuk setiap jenis pelanggaran pemilu dan pilkada. “Kalau dia penanganan pidana, 1×24 jam setelah dia di register maka harus dibicarakan dalam rapat Sentra Gakkumdu bersama polisi dan jaksa untuk membahas: apakah ini masuk dalam kategori pelanggaran pidana? Terpenuhi atau tidak unsur unsurnya? Atau, [harus-red] dikembangkan lagi apa yang perlu digali dalam proses klarifikasi atau penyelidikannya nanti,” terang Arjuna.
Sementara, bila menyangkut administrasi dan etik, Bawaslu akan memberi rekomendasi kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). “Kalau dia (pelanggaran Pemilihan-red) [berjenis-red] administrasi, dia itu langsung diteruskan. Jadi begitu di-register ya, kemudian dilakukan proses penanganan klarifikasi. Kemudian, setelah itu, hasil dari proses klarifikasi nanti ada namanya kajian tentang pelanggaran. Nah, itu yang direkomendasikan ke KPU,”
Setelah pemaparan tersebut, Arjuna melanjutkan pembeda spesifik antara pelanggaran administrasi dan etik adalah pada kajian tentang pelanggaran. Apabila pelanggaran administrasi membutuhkan kajian tentang pelanggaran sebelum direkomendasikan kepada KPU, pelanggaran etik tidak memerlukan kajian apapun.
Menurut pemaparan Arjuna, perbedaan tersebut didasarkan pada fungsi kajian tentang pelanggaran (kajian dugaan pelanggaran), yakni sebatas membuktikan apakah pelanggaran administrasi maupun pidana telah terpenuhi.
“Nggak perlu dilakukan kajian tentang pelanggaran. Nah, kajian dugaan pelanggaran itu kan hanya untuk membuktikan apakah pelanggaran administrasi terpenuhi atau tidak [serta-red] apakah pelanggaran pidana terpenuhi atau tidak, hanya itu. Jadi, kalau emang tidak ada unsur lain selain pelanggaran etik maka etik langsung diteruskan ke KPU.”
Lebih lanjut, Ketua KPU Sleman, Ahmad Baehaqi menjelaskan pernyataan terkait konsekuensi pelanggaran etik.
“Kalau konsepnya etik, kami bisa [mengambil tindakan-red]: ketika ada penyelenggara yang melanggar maka kami bisa memanggil untuk klarifikasi. Nanti kalau hasil dari temuan kami, temuan dari pengawasan, itu terbukti maka bisa dihentikan. Konsekuensi dari pemberhentian tidak hormat maka ke depan tidak bisa untuk, apa namanya, menjadi penyelenggara ad hoc lagi,” ujar Baehaqi yang melengkapi keterangan dari Arjuna Al Ichsan.
“Terkait dengan pelanggaran administratif, itu lebih pada pelanggaran tata cara dan prosedur. Kalau pelanggaran administratif itu [penyelesaiannya-red] lebih pada perbaikan sehingga tidak ada konsekuensi pada sampai, eh, pemberhentian. [Penjenisannya-red] tergantung pada tingkat kesalahannya, kalau tingkat kesalahannya, eh, lebih pada memang ini tata caranya belum benar, ketika nanti hasil dari klarifikasi atau hasil dari proses pemeriksaan itu memang ini perlu diperbaiki, maka kalau terkait dengan pelanggaran administrasi itu bisa diperbaiki,” terang Baehaqi mengenai perbedaan antara pelanggaran etik dan administrasi.
“Kalau kode etik itu [penyelesaiannya adalah-red] pemberhentian [pelanggar-red], tapi kalau pelanggaran administrasi itu lebih pada perbaikan ke depan agar disesuaikan dengan regulasi yang sesuai. Kalau kode etik, kalau memang terbukti, sesuai tingkat pelanggarannya maka bisa peringatan: bisa peringatan tertulis, bisa peringatan berat, bisa pemberhentian tidak dengan hormat,” imbuhnya.
Politik Uang oleh Calon Bupati dan Wakil Bupati
Dalam wawancara kepada Bawaslu (13/11), Arjuna mengemukakan beberapa kasus politik uang yang telah ditangani oleh Bawaslu. Kebanyakan di antaranya dilakukan dengan cara-cara halus dan terselubung, misalnya lewat narasi memberikan uang untuk janda dan duda maupun sumbangan kepada organisasi pemuda.
Masalahnya, ketika sampai pada analisis Bawaslu, praktik politik uang yang dilakukan oleh calon bupati dan wakil bupati tidak dapat dikategorikan sebagai jenis pelanggaran undang-undang Pemilihan, “[setelah dugaan pidana politik uang terkonfirmasi-red] kemudian dilakukan proses penanganan pelanggaran klarifikasi, ya, selama tiga plus dua itu: tiga hari plus dua hari, hanya lima hari. Ternyata ada kendala di ketentuan regulasinya, di Pasal 73 ayat (1). Terkait dengan politik uang itu dikatakan bahwa pasangan calon dan atau tim kampanye itu dilarang memberikan uang atau materi lainnya untuk menggaet pemilih, tapi tidak ada ancaman pidananya. Tetapi di ayat tiga, kalau nggak salah, atau di ayat … iya, tiga, kalau nggak salah, itu selain calon, pasangan calon, tim kampanye, anggota partai, pihak lain juga dilarang. Nah, partai yang di pasal 7 ayat (1)—(3) itu yang ada sanksi pidananya,” terangnya.
Oleh karena itu ketika praktik politik uang dilakukan langsung oleh calon bupati dan wakil bupati, Bawaslu memiliki keterbatasan dalam melanjutkan proses pelanggaran sebagai tindak pidana pilkada.
“Sehingga ketika [praktik politik uang tersebut-red] dibahas di Gakkumdu, itu (praktik politik uang-red) tidak memenuhi unsur pelaku [atau-red] obyek pelaku sehingga, ya, peristiwa pidananya ada, tetapi untuk unsur pelakunya itu tidak memenuhi; sehingga polisi dan jaksa lebih memilih untuk tidak dilanjutkan pidananya, makanya proses kemarin itu, kasus kemarin, tidak kami lanjutkan karena polisi dan jaksa sudah menyatakan itu tidak bisa diproses pidana, tidak memilih unsur peristiwa pidana,” tegas Arjuna.
Sedangkan, bila hendak dijeniskan sebagai pelanggaran undang-undang lain, Arjuna menjelaskan bahwa Bawaslu tidak memiliki kuasa yang mutlak untuk meneruskan dugaan pelanggaran hingga ke persidangan atau bahkan penanganan pelanggaran.
“Nah, bahwa selanjutnya, ya, ya, sudah, kalau [kepolisian memutuskan untuk kasus-red] nggak lanjut gitu, ya, kita mengikuti karena nanti, kan, penanganan selanjutnya ada di kepolisian, jadi polisi yang harus kerja keras. Nah, kemudian kalau kepolisian oke [tapi-red] jaksa nggak oke, biasanya juga itu nggak lanjut. Karena kenapa? Karena nanti jaksa yang akan berhadapan di pengadilan,” ujarnya.
Di luar konteks yang disediakan dalam wawancara, pada proses penyuntingan pasca-penulisan indepth news, diketahui pula bahwasanya pembacaan peraturan undang-undang yang dilakukan oleh Bawaslu sepatutnya dipertanyakan. Dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, ketentuan mengenai praktik politik uang telah mengalami perubahan: baik calon maupun tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Apabila calon terbukti melakukan pelanggaran, maka KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dapat melakukan pembatalan calon. Dengan kata lain, sanksi yang diberikan dapat bersifat administratif.
Pemotongan Dana Konsumsi dan Akomodasi Pelantikan KPPS
Masalah yang sama juga terjadi dalam kasus pemotongan dana konsumsi dan akomodasi pada pelantikan KPPS Januari silam. Mulanya, dana yang dianggarkan oleh KPU Sleman untuk konsumsi selama agenda pengukuhan adalah sebesar Rp15.000,00 untuk tiap individu. Akan tetapi, konsumsi yang sampai ke tangan calon anggota KPPS hanya berupa snack berisi roti dan air minum senilai Rp2.500,00. Selisih anggaran untuk tiap calon anggota KPPS yang keseluruhannya sebanyak 24.199 individu tersebut disinyalir mencapai nilai Rp302.487.500,00, belum termasuk laporan lain terkait penyunatan dana transportasi.
Menanggapi laporan penyunatan dana logistik dan konsumsi, Ketua KPU Sleman, Ahmad Baehaqi, menyatakan bahwa PT Jujur Kinaryo Projo, selaku vendor, telah melakukan wanprestasi yang berimbas pada besarnya selisih dana konsumsi. Sebaliknya, PT Jujur Kinaryo Projo menolak tuduhan tersebut dan melayangkan gugatan sebesar lima miliar rupiah lewat Pengadilan Negeri Sleman pada 24 April 2024. Seakan belum cukup ruwet, pihak Kejaksaan yang hendak mengusut dugaan korupsi oleh KPU Sleman juga mengalami kesulitan akibat belum dipenuhinya pembayaran kepada vendor, sehingga kerugian negara masih nihil. Menyisakan masyarakat yang tidak tahu menahu dan calon anggota KPPS yang kebingungan.
Ketika penelusuran kasus tiba pada Bawaslu, Arjuna menyatakan bahwa kasus tersebut berada di luar kewenangan mereka, sebab menyangkut pidana di luar undang-undang Pemilu.
“Pidana terkait dengan penyalahgunaan keuangan negara di dalam undang-undang pemilu itu nggak ada sehingga, ya, acuan tetap [pada-red] undang-undang pidana. Nah, kalau Bawaslu diminta masuk ke situ nggak bisa karena tugasnya Bawaslu hanya untuk undang-undang pemilu saja.”
Oleh karena itu, hingga saat ini, penyelesaian untuk kasus pemotongan dana tersebut masih berkutat pada penyelesaian di wilayah internal KPU.
“Dana [untuk-red] KPPS itu memang sempat viral waktu itu sehingga Bawaslu juga melakukan proses penelusuran. Kita minta keterangan. Minta keterangan ke sekretaris KPU [dan-red] ke ketua KPU-nya: ‘Kenapa ini? Akar masalahnya di mana?’ Ternyata ada kesalahan administrasi. ‘Lelang’ dan segala macamnya bahasa mereka (KPU-red) kan begitu, ada ‘pihak vendor’ segala macam. Nah, kami menganggap, ya, sudah, kalau begitu ini hanya permasalahan internal KPU. Silakan diselesaikan di internal KPU, tidak bisa masuk ke proses penanganan pidana yang ada di Bawaslu karena memang pasal pidananya juga nggak ada di undang-undang Pemilu,” jelas Arjuna.
Dalam penyelidikan pra-penulisan indepth report ini, diketahui pula bahwasanya PT. Jujur Kinaryo Projo, yang menjadi vendor bagi konsumsi acara pelantikan KPPS, bukan perseroan terbatas yang terlihat cakap dan profesional dalam menjalin kerja penyediaan jasa bagi KPU. Lewat surat klarifikasi atas nama Shinta Catering Service yang beredar di sosial media, diketahui bahwa PT. Jujur Kinaryo Projo menggunakan bantuan pihak ketika—yakni Shinta Catering Service—untuk melakukan penyediaan konsumsi acara pelantikan anggota KPPS.
Informasi mengenai PT. Jujur Kinaryo Projo sendiri masih minim dan belum jelas: nyaris terlihat seperti tidak memiliki publikasi dan pengenalan yang baik di masyarakat. Mengesampingkan kasus mereka pada Januari hingga Maret silam, hanya ditemukan sekurang-kurangnya dua laman yang memuat nama “PT. Jujur Kinaryo Projo”. Pertama, laman LPSE Provinsi Jogja yang mencatat kontrak yang dilakukan oleh PT. Jujur Kinaryo Projo dengan judul “Jasa Penyelenggaraan Festival Budaya Imogiri”. Kedua, laman Company House yang menyimpan informasi terbatas mengenai PT. Jujur Kinaryo Projo.
Bahkan, dengan mempertimbangkan potensi KPU dalam menggunakan vendor yang tidak cakap tersebut, Bawaslu tetap tidak mampu melakukan penegakan pelanggaran administratif.
“Kalau itu lebih kepada persoalan misalnya lelang, kemudian soal pemotongan anggaran, kemudian, apa, ada deal–deal tertentu, misalnya, tanda petik, “misalnya”. Bawaslu nggak bisa masuk ke situ. Terlebih, itu juga kan belum proses audit, kan, gitu. Karena, kan, yang namanya potensi itu kan harus berdasarkan hasil audit dulu. Nah, karena kemarin itu juga baru terjadi dan proses audit belum dilakukan, akhirnya, ya, Bawaslu juga nggak bisa apa-apa juga. Kalaupun kita bisa masuk ke dalam proses penanganan pelanggarannya, ya, korupsinya, ya, misalnya: nggak bisa juga karena hasil auditnya ini sebagai dasar pernyataan itu belum [ada-red], belum bisa; Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) belum masuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum masuk,” jelasnya.
Ketika Bawaslu menggunakan terminologi “diselesaikan di internal KPU”, proses yang dimaksud juga tidak dapat berjalan dengan baik. Ahmad Baehaqi menyatakan bahwa penyelesaian masalah tersebut menjadi pertanggungjawaban dari sekretariat KPU.
“Jadi di KPU itu ada dua unsur. Unsur komisioner itu lebih kepada kebijakan tahapan, jadi terkait dengan tahapan tahapan Pemilu maupun Pilkada, itu kewenangannya anggota. Kemudian, terkait dengan pengadaan, pengadaan terkait dengan fasilitasi kegiatan yang diputuskan oleh komisioner: pengadaannya adalah di tingkat sekretariat,” jelasnya.
Baehaqi juga menambahkan bahwa perbedaan antara komisioner dengan sekretaris KPU terletak pada status keduanya. Apabila sekretaris merupakan pegawai negeri sipil, komisioner berstatus non-PNS dan dibatasi waktu menjabat maksimal dua periode (satu periode yang dimaksud adalah sebesar lima tahun).
Terbukanya keterbatasan Bawaslu dan aparat penegak hukum lain dalam melakukan penanganan pelanggaran Pemilu sama artinya dengan membiarkan kejadian serupa terulang setiap lima tahun sekali. Bukan mustahil bila politik uang yang melibatkan calon kepala daerah akan terulang dan pelakunya kembali luput dari akibat hukum. Sebaliknya, juga sangat mungkin bagi aktor utama penyelenggara Pemilu, seperti KPU dan jajarannya, untuk bermain-main dengan anggaran Pemilu, tetapi kebal dari sanksi administratif.
Oleh karena itu, di samping urgennya perhatian bersama bahwa praktik permainan uang dalam kontestasi politik praktis tidak hanya terbatas pada pelaku politisi, melainkan juga lembaga-lembaga penyelenggara, diperlukan pula suatu reformasi menyeluruh, baik dalam instrumen peraturan perundang-undangan maupun regulasi kerja internal setiap lembaga penyelenggara Pemilu dan Pemilihan.
Jonathan Toga Sihotang, Jurnalis BPPM MAHKAMAH FH UGM
Liputan ini merupakan hasil kolaborasi BPPM MAHKAMAH FH UGM dengan Perludem untuk mengawal proses Pilkada 2024 dan memastikan pilkada berjalan dengan adil dan transparan.