Masa penantian itu kini telah berujung pada sebuah kepastian. Calon tunggal Kepala Daerah tetap dapat berlaga pada 9 Desember 2015 nanti.
Sempat nasib calon tunggal kepala daerah ini di tiga wilayah: Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Timor Tengah Utara, terkatung-katung sekian bulan. Kini akhirya mendapat kejelasan untuk menguji daulatnya di hadapan “ceruk pasar†pemilih, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 100/PUU-XIII/2015 Selasa kemarin.
Rupa-rupanya MK tidak memutuskan calon tunggal dengan opsi aklamasi, tetapi justru sebaliknya, Calon Tunggal Kepala Daerah tetap memiliki standing konstitusi untuk maju dalam kontestasi.
Bahwa terhadap calon tunggal mendapat prevelige dipilih melalui sistem referendum. Hanya dalam satu surat suara yang didesain bagi pemilih untuk menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap satu-satunya calon yang tersedia.
Kadaulatan rakyat
Tampaknya putusan MK a quo benar-benar menyerahkan total pengisian jabatan pemerintahan daerah kepada daulat rakyat. MK dengan cermat meletakkan Pasal 1 ayat 2 UUD NRI sebagai puncak tertinggi dalam mensiasati hak konstitusional sebagai qonditio sine qua non. Antara hak dipilih dan hak untuk memilih, merupakan hak yang diantara keduanya tidak boleh saling meniadakan.
Bahwa persoalan kemudian atas sebuah daerah yang harus memiiki Kepala Daerah defenitif atau pelaksan tugas saja, bukanlah diserahkan kepada otoritas pemerintah pusat ataukah penyelenggara Pilkada, khususnya bagi KPU/D.
Bahkan MK yang berjalan dalam rel “living constitution†sekalipun KPU sudah melakukan tindakan lebih lanjut atas polemik calon tunggal dengan penerbitan Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015, ketika MK tidak dapat membatalkan PKPU a quo. Maka putusan ini haruslah dimaknai dengan dinyatakannya pasal pelarangan calon tunggal inkonstitusonal bersyarat, berarti segala peraturan pelaksanaan yang terkait dengan pelarangan Calon Tunggal Kepala Daerah otomatis dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat pula.
Sejatinya, MK menganganggap penundaan Pilkada bagi daerah yang hanya tersedia calon tunggal untuk diikutkan pada Pilkada 2017 tanpa persetujuan rakyat, akan terjadi pelanggaran hak konstitusional bagi si calon maupun bagi pemilih ketika sudah seharusnya mewujudkan hak daulatnya yang telah dijamin oleh konstitusi.
Sebuah kezaliman dan kesewenang-wenangan disaat KPU yang dengan serta merta merampas hak bagi si calon tunggal dalam haknya untuk dipilih (right to be candidate) demikianpula hak bagi pemilih untuk menyalurkan suaranya (right to vote). Sebab pada hakikatnya hanya rakyat itu sendiri yang berhak menentukan; Apakah akan menetapkan calon tunggal sebagai calon terpilih?
Ataukah rakyat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap calon tunggal tersebut, sehingga pun kalau terjadinya penundaan Kepala Daerah defenitif, hingga tahun 2017, pada sesungguhnya penundaan itu datang sendiri atas nama daulat rakyat.
PR KPU
Terkait dengan Putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 terhadap calon tunggal yang nantinya diplih dengan model referendum. KPU berserta dengan jajarannya di daerah harus bergerak lebih cepat melakukan follow up atas implikasi hukum yang diakibatkan melalui putusan MK a quo.
Diantara Pekerjaaan Rumah (PR) yang seharusnya dituntaskan secepatnya, yakni dengan menerbitkan PKPU, khusus untuk peyelenggaraan Pilkada terhadap daerah yang hanya tersedia calon tunggal.
Seyogiaya KPU mengatur secara khusus bagi calon tunggal dalam satu nomenklatur PKPU dengan pengaturan beberapa hal yang penting. Pertama, pengangkatan calon tunggal sebagai Kepala Daerah dengan syarat mendapat dukungan persetujuan mayoritas dari pemilih.
Kedua, KPU harus mengatur pula secara jelas dalam peraturan pelaksanaan ihwal calon tunggal bersangkutan yang kalah karena mayoritas suara tidak menyetujuinya, sehingga mutatis mutandis akan digelar lagi Pilkada di daerah bersangkutan pada 2017 nanti. Termasuk pula dalam ketentuan ini, harus terdapat kejelasan dapat tidaknya lagi calon tunggal yang kalah dalam Pilkada 2015, terkait dapat/tidaknya memenuhi syarat untuk maju lagi sebagai Calon Kepala Daerah pada Pilkada 2017 berikutnya.
Ketiga, pada poin ini paling penting untuk diperhatikan ditengah kesemrautan alias kacau balaunya ketentuan gugatan sengketa hasil dengan selisih perolehan suara standar mulai dari 2 persen, 1,5 persen, 1 persen hingga 0,5 persen sebagai legal standing untuk mengajukan gugatan di MK (Vide: Pasal 158 UU Pilkada). Sebab dalam UU Pilkada standar persentase suara yang dimaksudkan, nilai selisihnya tidak jelas sandaranya.
Apakah mengacu pada suara pemenang pertama, ataukah berdasarkan suara dari pengklaiman Paslon Kepala Daerah? Jika memang calon tunggal dapat menguji suara yang memilihnya (yang menyataka setuju) dengan suara yang menyatakan tidka setuju ke MK. Masihkah memakai presentase yang telah digariskan berdasarkan UU Pilkada tersebut?
Kini dibutuhkan kerja keras, profesionalitas, dan integritas dari pihak KPU/D agar bekerja dalam waktu penuh, dalam mewujudkan segala hak daulat rakyat di gelombang putaran pertama Pilkada serentak ini. Bahwa berdaulat tidaknya rakyat dalam referendum Calon Tunggal Kepala Daerah sudah pasti berbanding lurus dengan kinerja penyelenggara Pilkada itu pula. []
DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI
Mahasiswa Program Magister Hukum UMI