October 15, 2024

Reformasi Pembiayaan Partai Politik: Jalan Menuju Demokrasi Lebih Adil dan Partisipatif

Pembahasan mengenai tata kelola keuangan partai politik di Indonesia dipandang menjadi semakin krusial di tengah perdebatan status partai politik sebagai badan publik. Saat ini negara memberikan bantuan keuangan kepada partai politik dengan alokasi yang masih sangat minim, hanya 1,5% dari total anggaran negara. Hal itu berbeda jauh jika dibandingkan negara-negara lain seperti Swedia, Meksiko, dan Korea Selatan yang mengalokasikan antara 40-70% anggaran negara untuk partai politik.

“Tata kelola keuangan partai politik di Indonesia perlu diperbaiki, terutama dalam hal transparansi, akuntabilitas, dan inklusivitas. Partai politik menerima bantuan keuangan dari negara, sehingga mereka harus bertanggung jawab secara publik atas penggunaannya,” ungkap Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Delia Widianti dalam diskusi daring PUSaKO bertajuk “Tata Kelola Keuangan Partai Politik” (30/8).

Salah satu tantangan dalam tata kelola keuangan partai politik menurut Delia adalah kurangnya alokasi dana pendidikan politik yang berfokus pada kesetaraan gender. Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 telah mengatur bahwa bantuan keuangan negara harus digunakan untuk pendidikan politik, namun ia melihat saat ini belum berfokus pada peningkatan kapasitas perempuan dalam politik.

“Beberapa negara seperti Swedia dan Meksiko sudah jauh lebih maju dengan mengalokasikan dana khusus untuk afirmasi perempuan dalam partai politik. Di Indonesia, kita belum sampai ke tahap itu,” jelasnya.

Penelitian Puskapol juga menunjukkan bahwa di beberapa daerah seperti Bali, Aceh, dan Sulawesi Utara, ditemukan bahwa partai politik masih kurang memberikan pendidikan politik untuk kader perempuan. Bahkan, di beberapa daerah, ketua bidang pemberdayaan perempuan tidak mengetahui adanya alokasi khusus untuk pendidikan politik dari dana bantuan negara. Delia menyebut hal itu menjadi salah satu penyebab partai politik masih kesulitan memenuhi kuota pencalonan perempuan sebesar 30% yang diatur undang-undang.

“Tanpa adanya peningkatan kapasitas yang memadai, partai politik seringkali asal-asalan dalam memilih calon perempuan untuk memenuhi kuota tersebut,” tambah Delia.

Lebih jauh, Delia menyebutkan bahwa di beberapa negara, reformasi pembiayaan partai politik telah dilakukan untuk mengatasi ketidakadilan gender. Misalnya, di Italia dan Meksiko, partai politik yang tidak mematuhi kuota pencalonan perempuan dikenakan pengurangan subsidi. Beberapa negara juga menerapkan skema insentif dan disinsentif guna mendorong partai politik mematuhi aturan tersebut.

Sementara di Indonesia, meskipun telah diwacanakan kenaikan anggaran untuk partai politik, reformasi tata kelola keuangan yang inklusif masih belum dilaksanakan. Delia menegaskan bahwa tata kelola keuangan partai politik yang baik tidak hanya harus transparan dan akuntabel, tetapi juga harus memperhatikan inklusivitas, khususnya bagi perempuan.

“Diperlukan kebijakan afirmasi yang jelas dalam alokasi anggaran partai politik, misalnya dengan menetapkan 5% dari dana bantuan negara untuk pendidikan politik perempuan. Selain itu, sistem sanksi harus diberlakukan bagi partai yang tidak mematuhi aturan transparansi dan akuntabilitas,” jelas Delia.

Delia memandang, melalui tata kelola keuangan partai politik yang inklusif tidak hanya akan meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik, tetapi juga menciptakan proses pengambilan keputusan politik yang lebih adil dan partisipatif. Untuk itu dengan reformasi keuangan partai politik yang tepat, bisa mendorong partisipasi politik yang lebih setara, baik bagi laki-laki maupun perempuan di masa depan.

Transparansi dan Akuntabilitas Masih Minim

Saat ini, banyak partai politik di Indonesia belum sepenuhnya transparan dalam laporan keuangan mereka. Meski Peraturan Pemerintah telah mengatur hal ini, sistem sanksi bagi partai yang tidak memenuhi kewajiban transparansi masih belum berjalan optimal. Beberapa negara, seperti Italia dan Costa Rica, sudah menerapkan mekanisme sanksi yang ketat untuk memastikan partai politik mengelola keuangan mereka dengan transparan dan akuntabel.

Tata kelola keuangan partai politik di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan, mulai dari minimnya alokasi dana untuk pendidikan politik perempuan hingga kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana publik. Reformasi tata kelola partai dipandang sangat diperlukan agar partai politik dapat berperan lebih efektif dalam memperkuat demokrasi dan mendorong keterwakilan yang lebih adil di masa mendatang.

Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes mengatakan, jelang pemerintahan baru wacana perubahan regulasi terkait undang-undang partai politik dan kepemiluan semakin mengemuka. Beberapa pihak mendorong dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Partai, Undang-Undang Pemilu, serta Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu.

Menurut Arya, sudah sejak lama alokasi dana untuk partai politik belum memiliki standar yang jelas, baik dari segi jumlah pembiayaan, ukuran, maupun akuntabilitasnya. Ia menuturkan, sejak awal kelompok masyarakat sipil (LSM) menjadi pihak yang paling keras menolak peningkatan subsidi untuk partai. Alasan penolakan tersebut sering dikaitkan dengan anggapan bahwa partai politik tidak bekerja dengan baik, serta peningkatan kasus korupsi di lingkungan partai, yang memicu pandangan bahwa menaikkan bantuan dana tidak akan membawa perubahan positif.

“Namun, dalam lima tahun terakhir, sikap LSM mulai berubah. Semakin banyak yang menyadari pentingnya peningkatan alokasi dana untuk partai politik. Diskusi mengenai model penghitungan pemberian subsidi menjadi semakin relevan, dengan beberapa LSM yang berpendapat bahwa subsidi penting untuk menjaga independensi partai dari pengaruh donatur internal,” jelas Arya.

Namun di sisi lain, partai politik yang awalnya mendukung peningkatan alokasi dana, kini mulai ragu. Partai khawatir regulasi yang mengatur penggunaan dana akan memberatkan secara birokratis. Ia memandang dalam situasi ini, penting untuk menemukan solusi moderat yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak.

“Advokasi peningkatan subsidi tetap perlu dilakukan, tetapi juga harus memperhatikan pandangan partai politik dan pemerintah. Proses perundang-undangan terkait hal ini, baik melalui DPR maupun peraturan pemerintah, harus memastikan keseimbangan dalam pengaturan pembiayaan partai,” ucapnya.

Lebih lanjut, menurut Arya, dalam konteks pembiayaan politik, jika tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, sulit untuk menata pembiayaan politik dengan baik. Sebaliknya, subsidi besar bagi partai politik akan lebih efektif jika diterapkan dalam sistem proporsional tertutup, sehingga partai dapat lebih mandiri dan independen dalam mengatur alokasi dana. Karena menurutnya, jika subsidi partai politik tidak ditingkatkan akan ada risiko pembiayaan tidak transparan, yang bisa mengganggu independensi partai.

“Selain itu, tanpa sumber dana yang jelas, proses demokratisasi internal dalam partai tidak akan berjalan baik. Hal ini terbukti dari beberapa partai besar yang telah dipimpin oleh tokoh yang sama lebih dari satu dekade, seperti PKB dengan Cak Imin, PAN dengan Zulkifli Hasan, dan NasDem dengan Surya Paloh,” jelasnya. []