September 13, 2024

Revisi UU Pemilu Mendesak

Revisi Undang-Undang Pemilu menjadi kebutuhan mendesak guna mengatasi sejumlah persoalan dalam kepemiluan. Perubahan sikap Fraksi Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan di DPR yang tiba-tiba menolak revisi ditengarai karena khawatir ambang batas parlemen akan ditingkatkan melalui revisi sehingga mengancam eksistensi kedua partai tersebut.

Seperti diberitakan sebelumnya, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menolak revisi UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan dalih undang-undang itu masih bisa digunakan. Khusus PAN, pembahasan UU Pemilu di tengah pandemi Covid-19 dianggap akan menyita perhatian pemerintah dan DPR yang seharusnya fokus pada penanganan pandemi.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati, yang dihubungi, di Jakarta, Kamis (28/1/2021), mengingatkan, revisi UU Pemilu saat ini menjadi kebutuhan. Pasalnya, ada sejumlah hal yang harus diperbaiki. Salah satunya, pengaturan mengenai keserentakan pemilu sebagaimana telah diputuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019.

Berkaca pada Pemilu 2019 ketika pemilu presiden, DPR, DPD, DPRD kabupaten/kota dan DPRD provinsi digelar serentak, penyelenggara pemilu kerepotan menyelenggarakannya. Bahkan saat hari pemungutan suara, ratusan petugas penyelenggara pemilu meninggal karena kelelahan. Karena itu, keserentakan pemilu harus dievaluasi dengan mengacu pada putusan MK.

Di sisi lain, dalam UU No 10/2016 tentang Pilkada, diatur bahwa penyelenggaraan pilkada serentak nasional pada 2024. Maka, pilkada digelar pada tahun yang sama dengan pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres). Pileg dan pilpres pada April 2024, sementara pilkada November 2024.

”Walau tidak pada hari yang sama, bisa dibayangkan bagaimana kerumitan penyelenggaraannya. Apalagi kalau pilpres dua putaran, dan putaran kedua digelar Juni atau Juli, pasti jeda waktunya (dengan pilkada) sangat sempit. Maka, sebaiknya jadwal pilkada diubah,” tuturnya.

Selain itu, revisi UU Pemilu penting untuk memperbaiki desain penyelenggara pemilu. ”Tiga penyelenggara pemilu yang ada saat ini (KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) terkesan menunjukkan ada rivalitas atau unjuk kewenangan satu sama lain,” ucapnya.

Ambang batas parlemen

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan juga menilai penyelenggaraan Pilkada 2024 pada tahun yang sama dengan pileg dan pilpres, tidak rasional. ”Saya tidak bisa membayangkan kesulitan yang akan dihadapi penyelenggara pemilu. Pertanyaannya, siapkah kita menghadapi itu,” ucapnya.

Untuk kasus PAN dan PPP, ia menyinyalir perubahan sikap karena rencana kenaikan ambang batas parlemen melalui revisi UU Pemilu. Jika ditingkatkan, apalagi lebih dari 5 persen seperti diinginkan sejumlah fraksi di DPR, kedua partai itu akan berat melampauinya. Pada UU No 7/2017, ambang batas parlemen hanya 4 persen.

”Sikap dari PAN dan PPP ini kiranya menjadi nilai tawar untuk membawa perubahan ambang batas ke arah yang lebih menengah, misalnya 4,5 persen,” katanya.

Terkait perubahan sikap PAN dan PPP, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, pihaknya akan menggelar rapat internal untuk kembali menanyakan sikap setiap fraksi.

“Bagi kami, karena ini RUU inisiatif DPR, tentu usulannya harus bulat. Kalau ada fraksi yang berbeda pendapat, tentu itu kami dengarkan dan menjadi bahan pertimbangan penting kami. Oleh karenanya, kami akan  bicarakan ulang di Komisi II, dan kami mintakan keputusan atau sikap final dari masing-masing parpol secara resmi. Kalau ada satu saja fraksi tidak setuju pada revisi UU, tentu harus dikembalikan kepada UU lama,” ujar Doli.

Dukung Pilkada 2024

Dihubungi terpisah, Ketua PPP PDI-P Djarot Saiful Hidayat mengatakan, jadwal pilkada tak perlu diubah. Alasannya, salah satu tujuan dari pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 ialah menjaga kesinambungan dan kesesuaian jadwal antara pileg, pilpres dan pilkada 2024.

“Pilkada Serentak 2024 yang diatur dalam UU Pilkada belum dijalankan, bagaimana perubahan akan dilakukan? Jadi dilaksanakan dulu tahun 2024, baru dievaluasi,” ujarnya.

PDI-P pun sejak awal tidak menginginkan pengaturan mengenai pilkada ini digabung dengan pengaturan mengenai pemilu. Alasannya, dua pemilihan ini berbeda, sehingga sebaiknya tetap diatur dalam dua UU terpisah. Namun, sekalipun menginginkan aturan pilkada tidak diutak-atik, PDI-P masih membuka diri pada wacana revisi UU Pemilu.

“Kalau revisi UU Pemilu itu beda lagi. Ini kan menyangkut pengaturan soal presidential thresholdparliamentary threshold, besaran dapil, penghitungan kursi, dan itu tidak ada kaitannya dengan pilkada. Terserah, silahkan saja jika ingin dilakukan pengaturan,” ucapnya yang juga anggota Komisi II DPR.

Djarot mengatakan, sebaiknya semua elemen bangsa saat ini fokus dalam penanganan pandemi. Tahun 2022-2023 dinilai masih krusial dalam pemulihan ekonomi bangsa akibat pandemi. Ia pun menampik anggapan bahwa upaya PDI-P mendorong Pilkada Serentak 2024 itu dilakukan sebagai strategi politik menghindari Pilkada 2022 dan 2023. “Ini untuk kepentingan yang lebih luas, yaitu kepentingan nasional. Bukan kepentingan orang per orang,” ucapnya.

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PKB Luqman Hakim pun mendukung revisi terbatas terhadap UU Pemilu. Keterbatasan itu antara lain terletak pada keserentakan antara pilkada dan pemilu. Sebab, fraksinya juga mendorong agar pilkada dilakukan pada 2024. Ia menilai UU Pilkada masih layak diterapkan dan masih ada ketentuan yang  belum dilaksanakan, yakni Pilkada Serentak 2024.

Luqman yang baru dilantik sebagai pimpinan Komisi II menggantikan Yaqut Cholil Qoumas, Kamis, mengatakan, revisi UU Pemilu antara lain dibutuhkan untuk menghindari praktik-praktik buruk dalam Pemilu 2019. Salah satu yang menonjol ialah maraknya praktik politik uang. Selain itu, revisi diperlukan untuk mengevaluasi kesesuaian presidential threshold maupun parliamentary threshold.

“Ambang batas ini kan untuk menyederhanakan komposisi partai di parlemen. Kalau kami di PKB menyetujui ada kenaikan bertahap dalam ambang batas parlemen, misalnya 5 persen. Selain itu ada isu ambang batas pencalonan presiden yang ingin diturunkan, karena ada kecenderungan pembelahan tajam di masyarakat jika belajar dari Pemilu 2019,” katanya.

Baik PDI-P dan PKB membantah jika dukungan mereka untuk Pilkada 2024 itu bertujuan untuk mengganjal orang perseorangan untuk maju dalam Pilkada 2022 dan 2023. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 29 Januari 2021 di halaman 2 dengan judul “Revisi UU Pemilu Mendesak”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/01/29/demi-perbaikan-sistem-pemilu-ruu-pemilu-dibutuhkan/