August 8, 2024

Revolusi Industri 4.0, Praktik Demokrasi Perwakilan Bisa Berubah

Praktik demokrasi perwakilan diproyeksi mengalami perubahan seiring penggunaan kecerdasan buatan dan otomasi yang datang dalam era Revolusi Industri 4.0. Pada sisi lain, praktik demokrasi deliberatif atau diskursif masih menemui tantangan tersendiri seiring tingkat kesadaran politik masyarakat serta sentralisasi keputusan politik.

Terkait hal itu, Harian Kompas, Desember lalu, menggelar diskusi dengan sejumlah ilmuwan dan praktisi. Ada pendiri Bandung Fe Institute (BFI) Hokky Situngkir, pendiri Modal Rakyat Indonesia dan Wakil Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia Wafa Taftazani, pengajar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Wahyu Prasetyawan, dan peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik Muttaqin Pratama.

Wafa menilai, di Indonesia ada kalanya sebagian orang masih menyamakan internet dan digital sebagai bagian Revolusi Industri 4.0. Padahal internet dan digital merupakan tahapan di era 3.0. Menurut dia, rakyat Indonesia masih jauh untuk bisa disebut memasuki era 4.0. Bahkan, Wafa memperkirakan, dari jumlah penduduk Indonesia, kurang dari 1 persen yang sudah mempraktikkan sejumlah bagian era 4.0, di antaranya adalah kecerdasan buatan dan otomasi.

“Di Indonesia, ada kalanya sebagian orang masih menyamakan internet dan digital sebagai bagian Revolusi Industri 4.0. Padahal internet dan digital merupakan tahapan di era 3.0.”

Jika praktik itu dibawa ke ranah demokrasi yang berupa pemerintahan dari rakyat, inti dari praktik era 4.0 sesungguhnya mengeliminasi peran rakyat. Kecerdasan buatan, menurut Wafa, berpotensi menggantikan peran rakyat. Contohnya berupa rekomendasi calon-calon yang bisa dipilih dalam pemilu berdasarkan rekam jejak berita yang dibaca oleh pemilih lima tahun terakhir saat ia memasukkan nomor induk KTP ke mesin tertentu.

Persentase kecocokan antara informasi yang dikonsumsi lima tahun terakhir dan latar belakang ataupun program calon bersangkutan menjadi dasar rekomendasi. Mirip cara kerja rekomendasi video tertentu untuk ditonton setiap kali membuka platform layanan berbagi video daring.

Biaya demokrasi

Biaya demokrasi diperkirakan susut menyusul peralihan aktivitas ke ranah digital. ”Serangan fajar” berupa praktik politik uang jelang waktu memilih kemungkinan hilang, termasuk potensi hilangnya pengeluaran baliho dan kampanye terbuka. Pengeluaran politik akan fokus pada upaya menggiring pembicaraan dan opini publik di media sosial atau ranah maya agar menguntungkan.

Pengetahuan tentang variasi demografis para calon pemilih diperoleh dari penggalian data di dunia virtual secara ekstensif. Hal ini memungkinkan dihasilkan pemetaan rinci karakteristik calon pemilih. Persis di titik ini terjadi kustomisasi pesan kampanye untuk menargetkan suara pemilih yang beragam.
Hal positif dari praktik ini adalah tingkat partisipasi yang bisa jadi meningkat menyusul adanya relevansi antara aspirasi personal para pemilih dan kandidat saat kontestasi pemilu. Negatifnya, pesan kampanye menjadi tidak orisinal.

Dalam hal ini, kandidat tertentu bisa saja seseorang dengan ”muka seribu atau jutaan”. Hal itu karena pesan kampanye bisa sangat berbeda. Tujuannya, untuk menang dan dengan demikian kejujuran terhadap posisi politik pribadi dari kandidat bersangkutan sudah tidak ada lagi.

Belum lagi jika kecerdasan buatan makin mengambil peran seperti Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum yang makin diperlukan untuk merespons hal itu. Artinya, pemerintah harus segera mengejar ketertinggalan terkait pemahaman dan praktik era 4.0 yang dimulai dari perkembangan industri dunia swasta.

Sementara, Heroik menyebutkan, perlu ada gugatan lebih jauh perkembangan teknologi dan industrialisasi dengan konteks sistem politik demokrasi. Ia mencontohkan Jerman sebagai pelopor Revolusi Industri 4.0, yang lewat Mahkamah Konstitusi setempat memutuskan tak lagi memakai voting elektronik dan kembali ke sistem manual.

“Perlu ada gugatan lebih jauh perkembangan teknologi dan industrialisasi dengan konteks sistem politik demokrasi”

Ketiadaan jaminan kerahasiaan pemilih menjadi faktor. Hal serupa terjadi di Perancis yang memutuskan tak menggunakan sistem elektronik bagi pemilih di luar negeri sekitar sebulan sebelum Emmanuel Macron terpilih. Ancaman peretasan menjadi penyebabnya.

Kekhawatiran dan bahkan gelombang protes, dalam catatan Heroik, terkait praktik pemungutan suara elektronik, sekurang-kurangnya terjadi di Amerika Serikat, India, dan Belanda. Penyebabnya serupa menyusul tak adanya jaminan hak politik seseorang untuk bisa dijamin kemurnian dan kerahasiaan. Menurut Heroik, revolusi industri tak patut dibandingkan dengan praktik sistem politik demokrasi, khususnya konteks kepemiluan.

Pada bagian lain, menurut Heroik, era 4.0 dalam konteks kepemiluan menggeser representasi politik dari dunia nyata ke maya. Ia menilai sisi positifnya kemungkinan tersambungnya relasi pemilih dan calon yang selama ini cenderung terputus setelah pemilu usai. Namun, negatifnya dapat berupa kemungkinan dikooptasinya ruang-ruang diskusi dua arah dalam kampanye karena peran teknologi informasi.

Demokrasi deliberatif

Wahyu menyigi demokrasi sebagai pertarungan warga negara dengan elite. Demokrasi lebih banyak dikontrol oleh kaum elitenya. Selain itu, parpol menjadi barang privat alih-alih barang publik. Kaitan antara demokrasi dan kesejahteraan di Indonesia, juga tak terlihat. Hal ini tampak dari persandingan antara data skala demokrasi dan indeks pembangunan manusia selama 2011-2017. Pada sisi lain, manusia sangat rentan terhadap isu, termasuk berbagai isu yang berasal dari media sosial.

Wahyu juga menghubungkan antara Revolusi Industri 4.0 dan demokrasi deliberatif atau diskursif dengan kemungkinan terjadinya interaksi untuk merumuskan kesepakatan. Namun, ia menyoal di mana keberadaan ruang publik era 4.0 jika merujuk konsep demokrasi deliberatif yang memungkinkan orang-orang terlibat dalam diskursus yang persuasif serta tidak manipulatif. Hal ini menyusul digantikannya, atau tak otentiknya lagi, manusia karena mesin-mesin pintar yang mengambil alih.

Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga DPR Evita Nursanty, Selasa (7/1/2020), mengatakan, DPR menyadari tantangan dan peluang di depan. Salah satunya, mendorong parlemen yang lebih transparan dan terbuka sehingga publik bisa melibatkan diri dengan aktif dalam berbagai proses perumusan undang-undang. (INGKI RINALDI DAN AGNES THEODORA)

Dikliping dari artikel yang terbit di https://kompas.id/baca/utama/2020/01/09/praktik-perwakilan-bisa-berubah/