August 8, 2024

Rezim Pemilu dan Rezim Pilkada Disatukan

Rancangan Undang-Undang Pemilu yang disusun oleh Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat mendorong penyatuan aturan dua rezim pemilihan, yakni rezim pemilihan umum dan rezim pemilihan kepala daerah. Dengan demikian, hanya akan ada satu RUU Pemilu untuk mengatur dua jenis pemilihan tersebut. Usulan itu dilakukan untuk menghindari pengaturan ganda atau tumpang tindih antara pemilu dan pilkada.

Akan tetapi dorongan itu belum menjadi satu norma tunggal, karena setiap fraksi memiliki definisi sendiri tentang pemilu nasional dan pemilu daerah. Bahkan, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) masih menghendaki agar pengaturan pemilu tetap dipisahkan dengan pemilu daerah.

Ketua Komisi II Baleg dari Fraksi Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung saat memaparkan RUU Pemilu di dalam rapat Badan Legislasi DPR, Senin (16/11/2020) di Jakarta, berpendapat, penyatuan dua rezim pemilihan itu dipandang penting karena selama ini ada risiko tumpang tindih dan pengulangan aturan antara UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No 10/2016 tentang Pilkada.

Penyatuan dua rezim pemilihan itu dipandang penting karena selama ini ada risiko tumpang tindih dan pengulangan aturan antara UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No 10/2016 tentang Pilkada

Di dalam rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya, pimpinan Komisi II DPR mendorong agar sebaiknya pengaturan pemilihan selanjutnya tidak lagi dibedakan antara pemilu dan pilkada. Landasan hukumnya antara lain ialah putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi terhadap UU Pemilu maupun UU Pilkada.

“Berkaca dari teori yang kita kembangkan selama ini, maka kita memutuskan sebaiknya masalah kepemiluan Indonesia hanya terdiri dari satu rezim dan satu UU dari pileg, pilpres dan pilkada. Ini kita dasarkan atas perubahan di dalam putusan MK, baik tentang UU pemilu dan ada 6 putusan MK tentang UU Pilkada,” kata Doli.

RUU tersebut terdiri atas 741 pasal dan 6 buku. Buku pertama tentang ketentuan umum; buku kedua tentang penyelenggara pemilu; buku ketiga tentang penyelenggaraan pemilu; buku keempat tentang pelanggaran pemilu; buku kelima tentang sanksi; dan buku keenam tentang ketentuan lain-lainnya. Secara umum, karena sudah dimasukkan menjadi satu rezim, maka ada dua definisi dan pengaturan yang digunakan oleh draf RUU Pemilu, yakni tentang pemilu nasional dan pemilu daerah.

Namun, terkait dua rezim pemilihan ini, sejak dari pendefinisian, fraksi-fraksi di DPR belum bersepakat, sehingga draf yang diserahkan untuk diharmonisasi di Baleg masih berupa varian pendapat fraksi, dan belum menjadi rumusan pasal yang tunggal. PDI-P misalnya, menginginkan ada pengaturan berbeda antara pemilu dan pemilu daerah atau pilkada.

Sejak dari pendefinisian, fraksi-fraksi di DPR belum bersepakat, sehingga draf yang diserahkan untuk diharmonisasi di Baleg masih berupa varian pendapat fraksi, dan belum menjadi rumusan pasal yang tunggal

Di dalam draf, Fraksi Golkar, misalnya, mengusulkan dua opsi untuk pemilu nasional. Pertama, pemilu nasional terdiri atas pilpres, pemilu DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Kedua, pemilu nasional terdiri atas pilpres, pemilu anggota DPR, dan pemilu DPD. Fraksi lainnya memberikan opsi berbeda, seperti opsi Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menginginkan pemilu nasional terdiri atas pilpres, pemilu DPR, pemilu DPD, pemilu DPRD provinsi, pemilu DPRD kabupaten/kota.

Fraksi Gerindra di dalam draf menyatakan akan berpendapat ketika sudah dilakukan pembahasan di tingkat pertama. Adapun fraksi lainnya, yakni Partai Demokrat mengusulkan agar pemilu nasional yang terbagi atas pilpres dan pileg diselenggarakan terpisah. Jika dilakukan serentak, maka ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) adalah nol persen untuk partai-partai yang meraih kursi di DPR, yakni yang mendapatkan suara minimal 4 persen di Pemilu 2019.

Variasi juga ditemukan di dalam pendapat fraksi-fraksi mengenai pemilu daerah. Fraksi Nasdem, PKB, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya, merumuskan pemilu daerah sebagai pemilu gubernur dan wakil gubernur serta bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota. Adapun Fraksi Golkar mengusulkan dua opsi, yakni pemilu daerah terdiri atas pemilu gubernur dan wagub, serta bupati dan wabup/walikota dan wakil walikota. Opsi kedua, pemilu daerah provinsi adalah pemilu gubernur dan wagub dan anggota DPRD provinsi; pemilu daerah kabupaten/kota adalah pemilu bupati dan wabup/walikota dan wakil walikota, dan anggota DPRD kabupaten/kota.

Belum tunggal

Varian pendapat fraksi yang belum dapat dijadikan norma tunggal juga ditemui di hampir semua isu krusial, seperti model keserentakan pemilu, sistem pemilu, district magnitude (besaran kursi setiap daerah pemilihan/dapil), presidential thresholdparliamentary threshold (ambang batas penghitungan kursi parlemen), dan metode konversi suara.

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa mengatakan, RUU Pemilu itu masih berbentuk varian usulan fraksi-fraksi karena di dalam penyusunan di internal Komisi II tidak dicapai kata sepakat.

“Di Panja Komisi II tidak putus, karena kebiasaan kita dari dulu UU Pemilu itu biasanya inisiatif pemerintah, dan di DPR langsung dibahas saja. Karena ini dari DPR, kami tentu harus menghargai pendapat dari masing-masing fraksi. Tidak bisa mengambil sikap ini satu opsi,” ujarnya.

Mengenai jalan keluar atas persoalan itu, Saan menyerahkan kepada Baleg DPR. “Apakah kalau mau dikirim ke pemerintah nanti dirumuskan satu opsi saja, itu nanti diserahkan kepada Panja Baleg,” katanya.

Isu pemilu nasional dan pemilu daerah yang diatur di dalam satu UU itu dipandang sebagai satu kemajuan

Sementara itu, sejumlah anggota Baleg memberikan masukan terhadap RUU Pemilu. Anggota Fraksi Gerindra Muhammad Syafi’i mengatakan, isu pemilu nasional dan pemilu daerah yang diatur di dalam satu UU itu dipandang sebagai satu kemajuan. Akan tetapi, yang menjadi persoalan ialah pemilihan mana saja yang dapat dimasukkan sebagai pemilu nasional, dan mana yang masuk pemilu daerah.

“Kalau saya lihat itu pemilu nasional adalah pemilu DPR, DPD dan presiden. Baru, setelahnya pemilu daerah itu DPRD dan kepala daerah,” ujarnya.

Anggota Fraksi PKB Ela Siti Nuryamah mengatakan, fraksinya sepakat untuk menyatukan dua rezim pemilihan. Akan tetapi, pihaknya meminta kajian lebih dalam dilakukan oleh Komisi II DPR, karena setiap perubahan sistem akan memengaruhi praktik di lapangan. Selain itu, PKB antara lain menginginkan keserentakan pemilu dikaji lebih lanjut. Terutama dengan mengambil praktik keserentakan di negara-negara lain yang dapat diambil sebagai contoh baik.

Sementara itu, anggota Fraksi Golkar Nurul Arifin mengatakan, pihaknya menginginkan keterwakilan perempuan menjadi perhatian pembentuk undang-undang. Syarat 30 persen keterwakilan perempuan diminta untuk tetap dipertahankan. Bahkan, pengaturan itu harus lebih tegas, yakni 30 persen caleg perempuan menduduki posisi caleg nomor 1.

Sesuai dengan putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, jika ditelusuri dari original intent (niat asali) konstitusi sebetulnya tidak ada pembedaan antara rezim pemilu dan rezim pilkada.

Dihubungi terpisah, Direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, sesuai dengan putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, jika ditelusuri dari original intent (niat asali) konstitusi sebetulnya tidak ada pembedaan antara rezim pemilu dan rezim pilkada. Oleh karenanya, pengaturan dua jenis pemilihan, yakni pemilu nasional dan pemilu daerah dapat dilakukan dalam satu UU yang sama.

“Menurut kami pengaturannya memang harus di dalam UU yang sama, karena penyelenggara maupun pesertanya sama, baik pemilu nasional maupun pemilu daerah. Tujuan untuk disatukan ialah menghindari tumpang tindih dan perbedaan aturan,” katanya.

MK juga telah memberikan enam model keserentakan pemilu yang konstitusional. Kini, fraksi-fraksi di DPR tinggal menentukan mana dari enam model itu yang dipilih. “Varian atau model mana saja bisa menurut putusan MK tersebut, sepanjang tidak memisahkan antara pilpres, pemilihan DPR, dan pemilihan DPD,” ujarnya. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 17 November 2020 di halaman 2 dengan judul “Rezim Pemilu dan Rezim Pilkada Disatukan “. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/11/17/ruu-pemilu-dorong-penyatuan-dua-rezim/