Politik uang selalu menjadi salah satu potensi kerawanan pemilu termasuk pilkada. Sayangnya, prosedur penegakan pelanggaran politik uang cukup rumit, sehingga tidak banyak yang terungkap. Masa kampanye pilkada Kota Jogja sudah berlangsung lebih dari satu bulan. Setidaknya sampai awal November ini, Bawaslu Kota Jogja belum menemukan adanya pelanggaran pidana pemilu, yang termasuk di dalamnya adalah politik uang.
Sementara beberapa pelanggaran administratif telah terjadi, salah satunya yakni soal pemasangan alat peraga kampanye (APK) yang tidak sesuai prosedur atau tidak pada tempatnya. Bawaslu beserta tim gabungan sudah menindaklanjuti pelanggaran ini dengan menyurati pihak pemilik APK untuk mencopot sendiri atau jika tidak akan ditertibkan oleh tim gabungan.
Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Kota Jogja, Jantan Putra Bangsa, mengakui untuk penanganan pelanggaran administratif memang cenderung lebih mudah karena prosedurnya lebih sederhana, sanksinya pun juga sebatas perbaikan dari yang bersangkutan atau penertiban dari Bawaslu.
“Kalau pelanggaran administrasi penanganannya cepat. Kan itu hanya persoalan mekanisme dan tata cara. Contoh APK, itu pasti selesai. Karena buktinya jelas ada, yang dilaporkan ada, pasalnya jelas. Sanksinya sesuai kekeliruannya. Kalau APK ya dicopot,” katanya, Jumat (1/11/2024).
Syarat Formil dan Materil
Ia menjelaskan dalam penanganan pelanggaran, Bawaslu memilii dua pintu masuk, yakni temuan dan laporan. Keduanya harus memenuhi syarat formil dan materil untuk bisa sampai diregistrasi dan masuk pada proses penanganan di Sentra Gakumdu.
Laporan yakni laporan resmi dari warga yang mendapati praktek politik uang, sedangkan temuan adalah hasil pemantauan Bawaslu atau Panwaslucam yang mendapati adanya praktek politik uang. Adapun syarat formil dan materil yang harus dipenuhi diantaranya identitas pelapor dan terlapor, saksi, data seputar kejadian dan barang bukti.
Barang bukti tersebut juga harus berupa barang yang berkaitan langsung dengan pelaporan. Jika hanya video atau foto, meskipun jelas memperlihatkan praktek politik uang, tidak bisa memenuhi syarat materil dalam pelaporan. Foto dan video dalam kasus ini, hanya menjadi bukti petunjuk, yang harus dilengkapi dengan barang bukti.
Kebanyakan masyarakat yang mendapati praktik politik uang tidak membuat laporan resmi, tapi hanya memberikan informasi awal. “Kalau datang laporan jelas, tapi kadang cuma mengabari ‘mas tadi malam di sini ada politik uang’, tapi disuruh lapor tidak mau. Hanya menginformasikan di RW ini, kecamatan ini, ada kejadian ini. Itu otomatis prosesnya panjang,” ujarnya.
Selain karena tidak mau repot melengkapi syarat formil dan materil, saat ini pelaporan juga cukup terkendala dengan regulasi yang menyebutkan pemberi dan penerima politik uang sama-sama bisa dipidana. Hal ini membuat Bawaslu cukup kesulitan mencari orang yang mau menjadi saksi.
“Dalam Undang-Undang pemilihan sekarang, pilkada ini pemberi dan penerima kena sanksi yang sama. Sehingga kita kesulitan mencari saksi. Dia kan ketakutan, ‘kalau saya jadi saksi apa saya ga kena pidana yang sama’. Sedangkan Bawaslu tidak punya kewenangan memaksa dan menyita barang bukti,” paparnya.
Proses Penanganan
Jika mendapati informasi awal dugaan politik uang, maka Bawaslu prelu menggelar pleno, memastikan kelengkapan informasi dan penelusuran. Dalam penelusuran, Bawaslu membuat tim untuk terjun ke lapangan, mencari keterangan.
“Dalam penelusuran itu kita tidak disarankan untuk memanggil, tapi harus mendatangi langsung. Itu kan tidak bisa bisa sehari langsung ketemu. Kalau kebetulan pas kerja harus menunggu sore. Bisa saja pas ditanya tidak menjawab atau pura-pura tidak tahu,” paparnya.
Waktu penelusuran tersebut juga dibatasi hanya tujuh hari sejak ditetapkannya penelusuran dalam pleno. Jika dalam waktu tujuh hari itu tidak bisa ditemukan detail informasi sebagai syarat materil, maka informasi awal tersebut tidak bisa dilanjutkan ke registrasi.
Jika Bawaslu berhasil sampai pada tahap registrasi, proses selanjutnya yakni penanganan di Sentra Gakumdu dengan waktu maksimal lima hari. “Ada pembahasan kasus posisinya, sangkaan pasal, sekaligus itu klarifikasi. Kalau terpenuhi unsur-unsurnya maka diteruskan ke kepolisian untuk penyidikan,” jelasnya.
Dalam proses penanganan di Sentra Gakumdu, terlapor juga tidak selalu kooperatif. Ketika mengundang terlapor untuk klarifikasi, terkadang terlapor tidak mau memenuhinya. Jika demikian maka Bawaslu akan memanggil sekali lagi. Jika pemanggilan kedua tidak juga dipenuhi terlapor, maka Bawaslu tidak bisa memaksa dan tidak bisa memberikan sanksi langsung.
“Bisanya nanti mungkin akan melakukan pelaporan pidana. Pakai KUHP, menghalang-halangi ketugasan. Tapi kan itu pidana umum. Tidak menyelesaikan ini [kasus politik uang], tapi kena pasal lain karena menghalang-halangi Bawaslu dalam melakukan ketugasan,” ujarnya.
Upaya Pencegahan
Dengan berbagai kesulitan penanganan pelanggaran politik uang tersebut, maka Bawaslu Kota Jogja lebih mengedepankan upaya pencegahan. Upaya ini dilakukan dengan melibatkan petugas pengawas di tingkat kecamatan dan kelurahan yang di masing-masing kecamatan ada tiga petugas dan kelurahan ada satu petugas.
Panwaslucam digerakkan setiap ada kegiatan kampanye atau kegiatan sosial lainnya yang terindikasi kampanye. Jika mendapati potensi pelanggaran, maka petugas akan lebih dulu mengingatkan pihak penyelenggara agar tidak melakukan pelanggaran tersebut.
“Misalnya ada acara pengajian di masjid, tapi dihadiri paslon. Petugas akan menyurati penyelenggara agar tidak ada kegiatan kampanye di tempat ibadah. Kalau mau pengajian silakan, tapi tidak dengan melibatkan paslon,” paparnya.
Selain peringatan dari petugas, biasanya paslon juga sudah takut untuk melakukan pelanggaran ketika di lokasi kampanyenya dihadiri oleh petugas. “Kalau kegiatan [terbuka] ga mungkin ada money politik. Kalaupun ada pasti sudah kita cegah. Jadi selama pengawasan tidak kita temukan praktek money politik,” ungkapnya.
Koordinator Sentra Gakumdu dari unsur Kejaksaan, Alden Simanjuntak, menuturkan upaya pencegahan juga lebih penting karena ketika terjadi pelanggaran dan ada proses penanganan, maka dikhawatirkan akan mengganggu kondusifitas.
“Biarkanlah mereka bertarung secara riil dan gamblang. Biarlah masyarakat Kota Jogja yang memilih. Jangan memakai Sentra Gakumdu untuk menjatuhkan salah satu paslon. Biarkanlah rakyat yang menentukan pemilihannya melalui pencoblosan,” kata dia, Selasa (15/10/2024) dalam Evaluasi Penanganan Pelanggaran Pemilihan Umum 2024.
Jogja menurutnya merupakan etalase Indonesia dengan banyaknya wisatawan dan pelajar yang datang. “Kita harus memberikan contoh, bahwa Jogja ini aman, Jogja mampu melaksanakan demokrasi pemilihan walikota tanpa ada embel-embel apapun,” ujarnya.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik Pratama, mengakui masalah dalam penegakan hukum pemilu yang cukup sulit untuk menjerat praktek politik uang. “Mulai dari barang bukti, lalu di sisi lain ada klausul bukan hanya pemberi tapi penerima juga kena. Sehingga ada kekhawatiran juga dalam pelaporan politik uang,” paparnya.
Kesulitan-kesulitan ini membuat penegakan hukum sering kali tidak cukup maksimal. Maka langkah konkret yang diperlukan saat ini adalah memberi proteksi kepada pemilih, dengan penguatan literasi dan edukasi soal politik uang.
“Langkah kedepan yang perlu kita lakukan adalah memberdayakabn para pemilih agar tidak terjebak pada transaksi jual-beli suara, yang itu akan berdampak pada terputusnya representasi kepala negara atau daerah yang terpilih terhadap pemilih,” ujarnya.
Lugas Subarkah, Jurnalis Harian Jogja
Liputan ini telah terbit di Harian Jogja merupakan hasil kolaborasi dengan Perludem untuk mengawal proses Pilkada 2024 dan memastikan pilkada berjalan dengan adil dan transparan.