August 8, 2024

Saling Delegitimasi Merusak Kepercayaan Publik

Relasi di antara unsur-unsur penyelenggara pemilu yang tidak harmonis, terlebih apabila saling mendelegitimasi akan merusak kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu maupun integritas penyelenggaraan pemilu. Untuk itu, diperlukan pembenahan desain kelembagaan, kewenangan, serta pola rekrutmen pimpinan lembaga.

Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memberhentikan Arief Budiman dari jabatan sebagai ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Rabu (13/1/2021) dinilai sebagai salah satu sinyalemen relasi antarlembaga penyelenggara pemilu yang kurang harmonis. Arief dinilai melanggar kode etik karena mendampingi Evi saat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, serta terkait pengaktifan kembali Evi Novida Ginting sebagai anggota KPU.

Sebelumnya Evi diberhentikan oleh DKPP. Namun, Evi kemudian menggugat keputusan pemberhentiannya ke PTUN Jakarta dan dimenangkan. Presiden RI kemudian mencabut keputusan pemberhentian Evi.

Terkait putusan pemberhentian Arief Budiman dari jabatan ketua KPU, Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Saan Mustopa, Kamis (14/1/) mengatakan, Komisi II akan memanggil penyelenggara pemilu, baik KPU, Bawaslu, maupun DKPP, untuk mengklarifikasi putusan tersebut.

“Kami akan minta klarifikasi dari masing-masing lembaga itu, terutama dari DKPP. Walau demikian, kami tak akan mencampuri materi yang mereka sidangkan karena itu kewenangan DKPP yang diatur UU. Kami akan meminta penjelasan terkait dengan pelanggaran etiknya di mana,” ujarnya.

Komisi II DPR tidak menginginkan muncul kesan di masyarakat mengenai adanya perseteruan antara DKPP dan KPU. Sebab, ini adalah kasus kedua. Putusan pemberhentian Arief, menurut Saan, juga tak dapat dilepaskan dari putusan DKPP sebelumnya yang memberhentikan Evi Novida dari posisinya sebagai anggota KPU RI.

“Kami ingin KPU, DKPP, dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) saling memperkuat satu sama lain, dan mengawal proses demokrasi. Tetapi kalau yang muncul kesan rivalitas, maka yang terjadi seperti sekarang ini, yakni saling mendelegitimasi,” ucap Saan.

Sementara itu, anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan, KPU akan mematuhi putusan DKPP yang menjatuhkan sanksi kepada Arief Budiman. Untuk itu, KPU akan menggelar rapat pleno membahas tindak lanjut putusan itu dan akan menyampaikan hasilnya ke DKPP dan Bawaslu.

“KPU akan sesegera mungkin rapat pleno, mudah-mudahan dalam minggu ini sebelum batas waktu maksimal tujuh hari,” katanya.

Putusan pemberhentian Arief, menurut mantan Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie , menjadi momentum untuk saling belajar demi mematangkan demokrasi dan pelembagaan politik kenegaraan yang makin modern, berkualitas, dan berintegritas. Menurut dia, desain awal KPU, Bawaslu, dan DKPP, merupakan satu kesatuan sistem kelembagaan dalam urusan pemilu.

Menurut Jimly, hubungan tidak harmonis di antara tiga lembaga penyelenggara pemilu akan berdampak negatif bagi kepentingan umum yang membutuhkan independensi KPU dalam menyelenggarakan pemilu. “Sudah diawasi ketat oleh Bawaslu, diancam pecat pula oleh DKPP. Maka DKPP, Bawaslu, dan KPU harus ada protokol kinerja yang benar-benar terpercaya,” katanya.

Langkah perbaikan

Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur Bayu Dwi Anggono mengingatkan DKPP, KPU, dan Bawaslu memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kepercayaan publik yang tinggi terhadap penyelenggaraan pemilu.

Putusan pelanggaran etik terhadap Arief, menurut Bayu, disebabkan aturan terkait kode etik itu sendiri. Aturan yang digunakan, yakni Peraturan DKPP dibuat dan hanya ditafsirkan sendiri oleh DKPP. Seharusnya, aturan tersebut diatur dalam Undang-Undang Pemilu agar lebih adil dan tidak menimbulkan multitafsir.

“Khawatirnya jika DKPP diisi oleh orang-orang yang memiliki rivalitas tinggi, mereka (penyelenggara pemilu) bisa saling menyandera. Selama aturan tidak diubah, sangat rawan terjadi persoalan semacam ini lagi,” katanya.

Kekhawatiran itu, kata dia, sudah dibaca Mahkamah Konstitusi sehingga terhadap putusan lanjutan bisa digugat ke PTUN. Sehingga meski putusan DKPP bersifat final dan mengikat, KPU dan Bawaslu masih bisa mencari keadilan. “DKPP jangan alergi jika putusan lanjutannya diuji ke pengadilan,” kata Bayu.

Dalam jangka panjang, lanjut Bayu, pemerintah perlu memperjelas ruang lingkup pelanggaran etik yang dapat menjadi kewenangan DKPP guna menghindari ketentuan “karet” soal pelanggaran etik. Putusan DKPP seharusnya tidak bersifat final dan mengikat, melainkan dapat diuji ke pengadilan untuk mendapatkan keputusan final dan mengikat.

Selain itu, dia mendorong pembenahan pengisian jabatan. “Harus ada persyaratan ketat seseorang dapat menjadi anggota DKPP. Seperti orang yang sebelumnya tidak pernah berkontestasi dalam pencalonan sebagai penyelenggara pemilu dan tidak terpilih dalam seleksi KPU maupun Bawaslu,” kata Bayu.

Sementara itu, menurut Saan Mustofa, problem kelembagaan penyelenggara pemilu ini akan berusaha diatasi di dalam revisi UU Pemilu, sehingga para penyelenggara pemilu lebih sinergis, dan tidak saling mendelegitimasi. Selain antara DKPP dan KPU, Komisi II DPR juga mencermati ketidaksinkronan kerap terjadi antara KPU dan Bawaslu.

Sebagai contoh, kata dia, beberapa kali rekomendasi Bawaslu di daerah tidak ditindaklanjuti. Adapun untuk kasus daerah lainnya, rekomendasi Bawaslu daerah lainnya ditindaklanjuti KPU daerah.

“Ini kan menjadi pertanyaan, karena kasusnya serupa, kok yang satu ditindaklanjuti KPU, dan satu lagi di daerah lain tidak ditindaklanjuti. Jadi kasus-kasus yang seperti ini juga antara KPU dan Bawaslu juga akan kita atur kembali, kita bicarakan bagaimana agar mereka saling bersinergi atau memperkuat, dan bukan saling mendelegitimasi,” ujarnya.

Selain itu, senada dengan Bayu, Saan menilai perbaikan juga dapat dilakukan dengan perubahan pola rekrutmen anggota KPU, DKPP, dan Bawaslu. “Jangan sampai ketika seseorang tidak terpilih sebagai anggota dari suatu lembaga, lalu berpindah pada lembaga lain, atau mengesankan suatu lembaga itu sebagai tempat penampungan. Jadi ini semua harus mulai diperbaiki,” tuturnya.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, mengatakan, rivalitas antara KPU, Bawaslu, dan DKPP dikhawatirkan bisa mengganggu kredibilitas dan legitimasi pemilihan. Masyarakat bisa kehilangan kepercayaannya pada pemilu dan pilkada karena beranggapan proses pemilu diselenggarakan orang-orang yang kompetensi dan integritasnya diragukan.

“Kalau penyelenggara pemilunya tidak punya pemahaman dan harmoni kerja, maka akan sangat mengganggu ritme penyelenggaraan pemilu di masing-masing internal lembaga maupun dalam penilaian publik. Padahal kepercayaan publik adalah faktor penting untuk legitimasi pemilu,” ucapnya. (RINI KUSTIASIH/IQBAL BASYARI)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Januari 2021 di halaman 2 dengan judul Saling Delegitimasi Merusak.” https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/01/15/saling-delegitimasi-merusak-kepercayaan-publik/