August 8, 2024

Sebelas Pakar Eksaminasi Putusan Pemberhentian Arief Budiman

Komisi Pemilihan Umum atau KPU mengundang 11 ahli hukum dan pegiat pemilu untuk mengeksaminasi putusan pemberhentian Arief Budiman sebagai Ketua KPU oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP. Sejumlah pakar menilai putusan pemberhentian tak beralasan demi hukum sehingga Arief dapat menggugatnya ke pengadilan.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, ada tujuh ahli hukum dari Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, Universitas Negeri Jember, Universitas Andalas, serta aktivis dan pegiat pemilu yang diminta mengeksaminasi putusan pemberhentian Arief oleh DKPP.

Mereka adalah Fernando Manullang, Harsanto Nursadi, Khairul Fahmi, Anna Erliyana, Valina Singka Subekti, Hamdi Muluk, Ramlan Surbakti, Bayu Dwi Anggono, Titi Anggraini, Usman Hamid, dan Hamdy Fahmi.

Anggota KPU, I Dewa Wiarsa Raka Sandi, saat dihubungi Senin (18/1/2021), mengatakan, KPU memang mengagendakan eksaminasi putusan pemberhentian Arief dengan mengundang ahli hukum dan pegiat pemilu. Hal ini disebutnya untuk menggali pemikiran dan perspektif hukum tentang penyelenggaraan pemilu ke depan. ”Ini sifatnya belum merupakan langkah hukum, tetapi lebih kepada kajian hukum atas putusan DKPP,” katanya.

Sebelumnya, persisnya pada Jumat (15/1/2021), KPU telah memberhentikan Arief Budiman sebagai Ketua KPU untuk menindaklanjuti putusan DKPP.

Arief diberhentikan DKPP dari jabatan Ketua KPU dalam putusan yang dibacakan, Rabu (13/1/2021). Arief dinilai melanggar kode etik karena mendampingi anggota KPU Evi Novida Ginting Malik saat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta serta terkait surat pengaktifan kembali Evi sebagai anggota KPU (Kompas, 15/1/2021).

Salah satu pakar yang dimintai masukan, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur, Bayu Dwi Anggono mengatakan, eksaminasi adalah bentuk pengujian atau pemeriksaan putusan pengadilan yang lazim dilakukan, baik oleh lembaga negara, aparat penegak hukum, maupun publik. Eksaminasi bertujuan melihat apakah putusan telah dibuat berdasarkan pertimbangan hukum yang memadai maupun prosedur yang benar.

”Tugas eksaminator adalah membuat legal annotation (catatan hukum) terhadap putusan tersebut agar bermanfaat ke depannya. Secara jangka pendek, ini juga untuk memberikan rekomendasi bagaimana menyelesaikan dampak dari putusan itu. Sebab, itu terkait dengan kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu,” kata Bayu.

Terkait putusan pemberhentian Arief oleh DKPP, Bayu menyoroti pengadu yang melaporkan pelanggaran etik Arief ke DKPP. Pengadu dianggapnya tidak punya hubungan langsung dengan perkara yang didalilkan. Pengadu adalah seorang wiraswasta yang berdomisili di Lampung dianggap tidak memiliki kerugian spesifik terhadap perkara yang dilakukan oleh Arief saat menjadi Ketua KPU.

Ia juga menyoroti dalil DKPP yang menyatakan tindakan Arief mendampingi Evi di PTUN Jakarta sebagai bentuk pembangkangan terhadap DKPP. Menurut dia, hal itu tidak tepat. Pasalnya, yang digugat Evi ke PTUN adalah keputusan presiden tentang pemberhentiannya sebagai anggota KPU sebagai tindak lanjut dari putusan DKPP. Gugatan itu pun dinilainya sudah selaras dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XI/2013.

Jika yang dilakukan Evi konstitusional, apalagi solidaritas yang ditunjukkan Arief saat mendampingi ke PTUN, itu juga konstitusional. Ini tidak dipertimbangkan oleh DKPP saat membuat keputusan soal pemberhentian Arief sebagai Ketua KPU,” kata Bayu.

Selain itu, terkait surat keputusan KPU RI yang mengangkat kembali Evi, Bayu menilai hal itu adalah tindak lanjut dari putusan PTUN Jakarta. Putusan PTUN Jakarta menyatakan tidak sah atau batal keputusan presiden yang memberhentikan Evi. Oleh karena itu, Evi diangkat kembali sebagai komisioner KPU. Dengan arti kata lain, aktifnya Evi sebagai anggota KPU bukan karena keputusan KPU, tetapi karena putusan PTUN.

Dengan berkaca pada hal-hal tersebut, ia berpandangan bahwa putusan DKPP yang memberhentikan Arief tidak cukup beralasan demi hukum.

Oleh karena itu, Arief dapat mempersoalkannya ke pengadilan. Namun, bukan putusan DKPP yang digugat melainkan keputusan KPU yang menindaklanjuti putusan pemberhentian Arief oleh DKPP. Jika hal itu ditempuh, Arief atau KPU tidak melanggar putusan DKPP. Sebab, putusan DKPP yang final dan mengikat telah ditindaklanjuti oleh KPU.

”Hak warga negara untuk menguji keputusan yang dianggap merugikan dia secara pribadi itu dijamin oleh MK. Dan apabila Arief melakukan itu, ini adalah upaya konstitusional karena dia memperjuangkan haknya berkaitan dengan reputasinya sebagai ketua KPU di periode kedua,” kata Bayu.

Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, menambahkan, upaya hukum yang dilakukan oleh pribadi yang merasa dirugikan terhadap putusan tertentu, seharusnya tidak dianggap sebagai pembangkangan. Sebab, UU dan putusan MK memberikan ruang untuk mekanisme penyeimbang dan menguji agar tidak terjadi kesewenang-wenangan.

“Apalagi, putusan DKPP ini berkaitan dengan harkat dan martabat seseorang. Jika dia merasa tidak bersalah, kemudian melakukan cara-cara hukum yang konstitusional, seharusnya itu dianggap biasa saja,” kata Titi.

Apabila paradigma tersebut sudah terbentuk, upaya hukum apapun yang akan ditempuh Arief Budiman tidak akan dianggap sebagai serangan kepada DKPP. Itu hanyalah mekanisme hukum biasa dalam negara hukum.

Cegah rivalitas

Ke depan, untuk mencegah rivalitas antar-lembaga penyelenggara pemilu dan saling delegitimasi, Titi menyarankan agar ada perubahan mendasar di revisi UU Pemilu. Harus ada penegasan peran dan fungsi dari masing-masing penyelenggara pemilu. Kewenangan dari masing-masing lembaga juga tidak boleh tumpang tindih.

Selain itu, harus dipikirkan pula apakah pengawasan etik itu akan dipertahankan, atau dikembalikan ke mekanisme internal institusi masing-masing. Namun, syaratnya, tugas dan kewenangan harus jelas dan akuntabel. “Baik pengawasan internal atau eksternal ada kelemahannya. Yang penting dibatasi agar tidak ada kecenderungan memperluas kewenangan mereka sehingga memicu kontroversi dan gesekan,” kata Titi.

Adapun Bayu berpendapat, revisi UU Pemilu harus bisa membangun sinergitas di antara tiga lembaga penyelenggara pemilu. Jangan sampai ada kesan memberikan kewenangan berlebih sehingga muncul tafsir sepihak yang menjadi semacam putusan karet. Revisi UU Pemilu harus bisa menjadi momentum untuk membenahi hal tersebut

“Selain itu, juga jangan sampai ada kebekuan komunikasi antar ketiga lembaga tersebut. Jangan sampai ada hubungan rivalitas dan saling menjatuhkan terulang lagi,” kata Bayu.

Pembangkangan 

Terkait langkah KPU mengundang pakar untuk mengeksaminasi putusan DKPP, Ketua DKPP Muhammad mengatakan, hal itu sah-sah saja dilakukan. Ketika putusan sudah dibacakan, hal itu menjadi konsumsi publik, sehingga hak publik untuk mengkaji putusan tersebut.

Namun ia menepis pandangan bahwa putusan DKPP tidak beralasan demi hukum. Muhammad mengatakan laporan yang masuk ke DKPP sudah memenuhi syarat formal sehingga bisa diproses.

“Monggo saja dipersepsikan apa saja, kami tidak bisa mengarahkan atau mengatur opini dari masyarakat. Kami juga sudah tidak dalam kapasitas menjawab karena itu sudah menjadi putusan,” kata Muhammad.

Ditanyakan jika ada upaya gugatan ke pengadilan terhadap putusan pemberhentian Arief, ia menjawab, langkah hukum itu akan dianggap oleh DKPP sebagai bentuk pembangkangan terhadap putusan DKPP. Sebab, dalam UU Pemilu secara tegas disebutkan bahwa putusan DKPP bersifat final dan mengikat. (DIAN DEWI PURNAMASARI)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 19 Januari 2021 di halaman 2 dengan judul “Sebelas Pakar Eksaminasi Pemberhentian Arief”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/01/19/kpu-eksaminasi-putusan-dkpp/