December 16, 2024

Secercah Harapan Anak Muda Untuk Pemimpin Baru Kota Yogyakarta

Pemilihan Kepala Daerah di Kota Yogyakarta sudah hampir berakhir, tinggal menunggu beberapa waktu ke depan. Berdasarkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Yogyakarta Nomor 327 Tahun 2024, pasangan calon Hasto-Wawan unggul dengan mengantongi 87.485 suara dibandingkan kedua paslon lainnya, Heroe-Supena dengan 45.518 dan Afnan-Singgih dengan 63.876 suara.

Angka partisipasi masyarakat dalam pilkada menurun hanya 65%. Dari 320.594 yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT), hanya 208.401 yang menggunakan hak pilihnya. Jika dilihat dari data DPT, anak muda juga menjadi bagian dari pemilih dalam menentukan pemimpin di Kota Pelajar ini.

Ketua KPU Kota Yogyakarta, Noor Harsya Arya Samudro mengatakan saat ini dalam tahapan menunggu surat dari KPU RI untuk melanjutkan rapat pleno penetapan paslon Pilkada Kota Yogyakarta terpilih.

“KPU Kota Yogyakarta menunggu surat dari KPU RI untuk melanjutkan rapat pleno ke depannya. Nanti kalau sudah pasca penetapan baru kami akan mengirim surat ke DPRD untuk menyampaikan pemberitahuan paslon terpilih,” ujarnya.

Menjelang pelantikan walikota dan wakil walikota Yogyakarta yang baru, ada banyak harapan dari anak muda untuk Kota Yogyakarta kedepannya agar lebih baik.

Suara Anak Muda: Dari Warga Lokal hingga ke Pekerja di Kota Yogyakarta

Salah satu warga Kota Yogyakarta, Revananda (26) mengaku saat proses kampanye berlangsung  sering mendapat informasi para paslon melalui baliho dan spanduk yang ada di jalanan setiap ia pergi dan pulang kerja.

“selain itu saya juga biasanya nyari di website portal-portal media online untuk cari tau nomor pasangan calonnya,partai pengusungnya”, katanya saat diwawancarai oleh Kepripost.com, Sabtu, 7 Desember 2024.

Warga Semaki Gedhe itu berharap kepada walikota yang terpilih kedepannya harus segera menangani persoalan pembuangan sampah, klitih dan lalu lintas yang sudah mulai terasa padat.

“Di depo sampah dekat Mandala Krida itu misalnya, sampahnya menumpuk. Kalau mau olahraga jadinya nggak nyaman,” ujarnya.

“Sekarang itu pembangunan semakin digalakkan, belum lagi daerah resapan air berkurang,” tambahnya.

Mahasiswi aktif yang sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta itu juga menyinggung kenaikan UMR Jogja. Ia menilai UMR masih terlalu kecil, padahal harga barang mulai naik.

“Belum lagi ada isu pemerintah pusat bakal menaikkan pajak subsidi 12%. Singapura aja 9% jadi negara maju, makanya jangan kebanyakan hutang,” lanjutnya.

Sebagai anak muda yang bekerja di bidang pelayanan jasa kreatif, ia berharap suaranya bisa didengar dan menjadi kontribusi di dalam merumuskan kebijakan untuk kota kelahirannya lebih baik.

Berbeda halnya dengan anak muda bernama Manuel Rafael (21), mahasiswa yang berasal dari Manokwari, Papua Barat yang sedang menempuh pendidikan tinggi di Kota Yogyakarta itu menceritakan bagaimana ia di tahun pertama kuliahnya mendapat kesan negatif dan diskriminasi dari teman sebangku dan lingkungan sekitarnya. Beberapa waktu lalu, ia berencana pindah dari kos lamanya yang sudah ditempati sejak pertama kali karena alasan tertentu. Namun, saat bertanya ke pemilik kos baru yang ingin ditempati, tampaknya kurang suka dengan perawakannya, sehingga membuatnya menjadi pesimis akan diterima.

“Waktu itu kan aku sama temenku tanya sama pemilik kosan, terus dia bilang ada dua kamar, tapi nggak lama dia panggil istrinya sambil bisik-bisik terus lihat sinis ke arahku. Jadinya aku bilang sama temenku, kayaknya nggak diterima deh kita sama mereka, gitu,” cerita Rafael (9/12).

Hingga akhirnya ia mendapatkan kosan baru dan merasa diterima baik oleh penghuni kos lainnya. Mahasiswa jurusan sistem informasi itu memilih melanjutkan pendidikan di Kota Yogyakarta karena menurutnya masih minimnya akses pendidikan di daerahnya.

“Aku ngerasa kalau di Papua itu masih kurang lengkap dan terbatas jurusannya, jadinya aku memilih untuk ngelanjutin pendidikan di kota ini,” jelasnya.

Menempuh pendidikan di kota ini tak seindah diharapkan, karena sikap intoleran dan stigma negatif dari lingkungannya menjadi hal yang sering ia dapatkan. Menurutnya hal itu mungkin disebabkan dari perilaku buruk yang dilakukan mahasiswa Papua dulu, sehingga membuat cap negatif terhadap mahasiswa pendatang dari Papua.

“Imbasnya ke kita kan nggak tau apa-apa tapi dari pandangan buruk sama kami generasi baru ya mau gimana,” katanya.

Ia berharap kepada pemimpin baru Kota Yogyakarta serta masyarakat untuk tidak menyamaratakan persepsi negatif dari teman-teman dari timur, khususnya Papua.

“Banyak kok dari kita juga yang datang kesini benar-benar buat nyari ilmu, dirasisin itu kayak gimana ya rasanya nggak enak,” lanjutnya.

Ia juga meminta kepada pemimpin Kota Yogyakarta kedepannya agar bisa memberikan ruang lebih untuk berekspresi kepada teman-teman timur, khususnya dari Papua.

Sementara itu, Ahmad Zakyyul Fernanda (25) menuturkan keresahan bagaimana dilematisnya menjadi pekerja kreatif di Kota Yogyakarta.

“Jadi pekerja kreatif disini itu dilematisnya gede banget, kenapa? Ya dimana lagi bisa mendapatkan ide-ide dan imajinasi yang besar selain disini,” ujarnya.

Namun, menurutnya ada satu hal yang tidak bisa dipisahkan oleh Kota Yogyakarta, yakni uang.

“Semua orang jelas butuh uang, kecuali orang-orang yang berjiwa seniman yang mendedikasikan dirinya tanpa uang, tapi proses itu kan susah sekali. Orang itu mungkin sudah berdamai dari 20 tahun yang lalu, sedangkan saya nggak bisa dan nggak betah di fase itu,” lanjutnya.

Ia mengkritisi Kota Yogyakarta ini mau ke arah kemana jika melahirkan para seniman, apakah ingin melahirkan seniman yang besar lalu disuruh keluar hanya untuk membenahi realitasnya. Sebelumnya, anak muda asal Kota Tegal, Jawa Tengah ini juga turut berpartisipasi dalam Pilkada di kotanya pada Pilkada serentak 27 November 2024 lalu. Namun, karena bekerja di Kota Yogyakarta ia ingin pekerja kreatif bisa mendapatkan realitas dalam berkarya.

Anak Muda Jadi Aset Strategis Daerah, Pemimpin Daerah Harus Bisa Memetakan Permasalahan

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath menilai pemimpin daerah yang terpilih kedepannya harus melakukan pemetaan masalah berdasarkan data yang akurat, seperti tingkat kemiskinan, pengangguran, atau infrastruktur yang memadai disertai konsultasi bersama akademisi hingga masyarakat.

“Kebijakan yang tepat itu bisa dirumuskan jika pemimpinnya mendengar suara rakyat melalui musyawarah, perencanaan pembangunan, survei atau membuat forum diskusi,” ujarnya saat diwawancarai terpisah melalui WhatsApp.

Menurutnya, setiap daerah memiliki permasalahan yang berbeda dan keunikan tersendiri sehingga kebijakan yang dibuat harus mempertimbangkan kebutuhan lokal. Ia mencontohkan di daerah agraris, kebijakan harus fokus pada pengembangan teknologi pertanian dibandingkan kebijakan yang berorientasi pada industri berat. Kebijakan yang sudah diimplementasikan juga harus perlu dievaluasi secara berkala untuk melihat dampaknya disertai transparansi agar masyarakat dapat mengawasi prosesnya.

Lebih lanjut, Ia melihat keberadan anak muda sebagai suatu aset strategis daerah karena memiliki kreativitas, inovasi, dan kemampuan dalam beradaptasi dengan teknologi. Sehingga pemimpin daerah seharusnya mendorong pendidikan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja, seperti program vokasi, inkubasi bisnis, atau pelatihan keterampilan teknologi.

“Pemerintah juga bisa menyediakan program pendanaan mikro atau co-working space supaya bisa membantu anak muda menjadi wirausahawan sehingga menciptakan lapangan pekerjaan yang baru,” lanjutnya.

“Akses internet yang luas juga harus diperhatikan, dengan itu anak muda bisa mengembangkan diri melalui teknologi, baik untuk belajar, bekerja, ataupun menciptakan inovasi,” tambahnya.

Selain itu, Annisa juga menakar literasi politik di kalangan anak muda masih rendah, walaupun ada tren peningkatan kesadaran.

“Banyak anak muda belum paham secara mendalam terkait isu-isu politik, hanya terpengaruh lewat kampanye di media sosial tanpa melakukan verifikasi lanjutan. Tapi sebagian kecil juga sudah ada yang mulai terlibat melalui diskusi publik dan aktivisme,” katanya.

Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa anak muda yang lebih melek politik cenderung lebih aktif dalam mengawasi dan mengevaluasi kebijakan pemimpin di daerahnya. Sebagai anak muda, mereka juga harus memahami pentingnya suara mereka akan tergerak apabila ikut serta dalam proses demokrasi baik sebagai pemilih maupun sebagai penggerak sosial.

Abdul Haris, Jurnalis Kepripost.com

Liputan ini telah terbit di Kepripost.com merupakan hasil kolaborasi dengan Perludem untuk mengawal proses Pilkada 2024 dan memastikan pilkada berjalan dengan adil dan transparan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.