August 8, 2024

Segera Tuntaskan RUU Pemilu

Untuk mengejar jadwal pemilihan kepala daerah terdekat, yakni 2022, pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu harus dipastikan tuntas pada 2021. Setidaknya ada waktu setahun agar UU Pemilu yang baru dapat diterapkan sebagai landasan hukum pelaksanaan pilkada.

Secara teknis, penyelesaian pembahasan RUU Pemilu yang direncanakan juga mengatur tentang pilkada itu berimplikasi besar pada persiapan penyelenggaraan pilkada serta alokasi dana yang disiapkan daerah untuk perhelatan tersebut.

Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyebutkan, ada dua opsi dalam pengaturan kembali jadwal penyelenggaraan pilkada. Di dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada disebutkan, pilkada serentak nasional dilaksanakan pada November 2024. Pilkada serentak nasional itu juga akan digelar pada tahun yang sama dengan pemilu presiden dan pemilu legislatif. Namun, DPR menyepakati untuk mengatur kembali jadwal penyelenggaraan pilkada tersebut sehingga tidak digelar pada tahun yang sama dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden atau pemilu nasional.

Opsi pertama, pilkada serentak di seluruh daerah digelar pada 2027 atau berselang tiga tahun dari Pemilu 2024. Opsi kedua, pilkada serentak tetap mengikuti siklus lima tahunan, sesuai empat variasi jadwal yang ada sekarang. Dengan opsi kedua ini, pilkada serentak juga tidak akan digelar bersamaan dengan Pemilu 2024 (Kompas, 7/1/2021).

Ada dua opsi dalam pengaturan kembali jadwal penyelenggaraan pilkada. Di dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada disebutkan, pilkada serentak nasional dilaksanakan pada November 2024. Pilkada serentak nasional itu juga akan digelar pada tahun yang sama dengan pemilu presiden dan pemilu legislatif. Namun, DPR menyepakati untuk mengatur kembali jadwal penyelenggaraan pilkada tersebut sehingga tidak digelar pada tahun yang sama dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden atau pemilu nasional.

Dengan demikian, kedua opsi tersebut tetap harus melalui siklus pilkada sebelum 2027, yakni Pilkada 2022, sebagai kelanjutan dari siklus Pilkada 2017; Pilkada 2023, sebagai kelanjutan dari siklus Pilkada 2018; dan Pilkada 2025, sebagai kelanjutan dari siklus Pilkada 2020. Oleh karena itu, jadwal terdekat, yakni Pilkada 2022, harus didukung oleh landasan hukum yang baru, yaitu RUU Pemilu yang kini sedang dirumuskan oleh DPR. Saat ini, draf RUU Pemilu itu dalam tahap harmonisasi dan sinkronisasi di Badan Legislasi DPR.

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengatakan, pengesahan UU Pemilu sebaiknya dilakukan tahun ini karena hal itu berdampak pada persiapan Pilkada 2022. Sebab, dari dua opsi tersebut, Pilkada 2022 diperkirakan tetap akan dilaksanakan karena tidak ada pengaturan untuk ditunda hingga 2024.

Jika ketentuan di dalam UU Pilkada itu tidak direvisi, akan ada 548 pilkada yang digelar serentak di Tanah Air, November 2024. Kondisi ini dirasakan menyulitkan secara teknis dalam tata kelola pemilihan. ”Pilihan yang diambil sebaiknya memperhatikan manajemen tata kelola pilkada sehingga penyelenggara dan peserta dapat melaksanakan dengan baik. Pemilih juga harus dapat menggunakan hak pilihnya dengan baik karena pengalaman Pemilu 2019, desain lima kotak suara cukup kompleks,” tutur Raka.

Beberapa hal juga harus disiapkan menjelang pilkada, seperti sosialisasi, pendidikan pemilih, dan pembuatan peraturan KPU. Pembuatan peraturan KPU itu pun mesti berlandaskan pada UU. Oleh karena itu, penyelesaian UU Pemilu oleh pemerintah dan DPR sangat banyak berdampak pada persiapan Pilkada 2022, baik secara teknis maupun prosedural.

Jika ketentuan tentang waktu itu akan direvisi, menurut Raka, sebaiknya waktu pengesahannya juga memperhatikan kesiapan anggaran 101 daerah yang melaksanakan Pilkada 2022. Harapannya, pengesahan tidak dilakukan pada akhir tahun sehingga daerah bisa mengalokasikan dana dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2022 yang dibahas pada akhir 2021.

Kerangka hukum

Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi August Mellaz mengatakan, pemerintah dan DPR diharapkan segera menyelesaikan kerangka hukum pilkada UU Pemilu. ”Sekarang bergantung pada pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU. Termasuk adanya batasan waktu dan masa sidang,” ujarnya.

Terkait dua opsi yang diajukan DPR, August menilai sama-sama bisa operasional. Namun, sebelum masuk ke penyiapan teknis, perlu disepakati dan dipahami secara utuh konsep keserentakan pemilu karena masih minim dibahas secara tuntas oleh berbagai pihak, DPR, pemerintah, masyarakat sipil, maupun kalangan akademisi.

Jika ikuti alur saya, opsi pertama yang bisa lebih mendekati. Meski demikian, opsi kedua tidak perlu buru-buru ditanggalkan karena membangun sesuatu yang baru juga tidak cukup sederhana dalam pengalaman penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

”Jika ikuti alur saya, opsi pertama yang bisa lebih mendekati. Meski demikian, opsi kedua tidak perlu buru-buru ditanggalkan karena membangun sesuatu yang baru juga tidak cukup sederhana dalam pengalaman penyelenggaraan pemilu di Indonesia,” kata August.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan mengatakan, pemisahan pelaksanaan pilkada dan pemilu adalah kebijakan paling ideal. Sebab, penyelenggaraan bersamaan kedua jenis pemilihan itu akan sangat menyulitkan. Pengalaman dari Pemilu 2019, yang memilih lima kotak sekaligus, membuktikan pemilihan yang besar dalam satu waktu itu sulit dilakukan dengan optimal.

”Saya setuju ada pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal di dalam RUU Pemilu. Namun, yang harus juga dipahami ialah definisi pemilu lokal harus diperjelas, yakni tidak hanya memilih kepala daerah, tetapi juga memilih DPRD. Jangan pemilihan DPRD disatukan dengan pileg dan pilpres, seperti dalam Pemilu 2019, karena sangat rumit. Dengan demikian, pemilu cukup tiga kotak saja, yaitu memilih presiden, DPR, dan DPD,” katanya.

Oleh karena itu, menurut Djayadi, penjadwalan pilkada serentak nasional bisa dilakukan dalam dua keserentakan. Pertama, pilkada tingkat provinsi untuk memilih gubernur dan DPRD provinsi. Kedua, pilkada tingkat kabupaten/kota untuk memilih bupati/wali kota dan DPRD kabupaten/kota.

”Siklusnya tetap lima tahunan, tetapi antara pemilu nasional dengan pilkada provinsi dan pilkada kabupaten/kota ada jeda. Misalnya, pemilu dilakukan pada 2024, lalu diikuti oleh pilkada provinsi 2026. Pilkada kabupaten/kota digelar pada 2027. Selanjutnya, pemilu digelar kembali pada 2029. Jadi, ada dua jenis pilkada serentak di antara dua pemilu nasional,” paparnya.

Tengah tahun

Kami akan meminta Baleg, begitu Senin rapat paripurna pembukaan masa sidang dibuka, segera melakukan harmonisasi. Sebab, ini bukan semata-mata kepentingan DPR. Kami ingin RUU ini bisa berlangsung dalam waktu lama sehingga RUU Pemilu tidak ganti setiap kali pemilu.

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa mengatakan, pihaknya menyadari kebutuhan penyelesaian RUU Pemilu itu secepat mungkin. Sejak awal, DPR menargetkan pembahasan RUU itu dapat tuntas pada tahun 2021.

”Kami akan meminta Baleg, begitu Senin rapat paripurna pembukaan masa sidang dibuka, segera melakukan harmonisasi. Sebab, ini bukan semata-mata kepentingan DPR. Kami ingin RUU ini bisa berlangsung dalam waktu lama sehingga RUU Pemilu tidak ganti setiap kali pemilu,” katanya.

Kalau RUU Pemilu cepat selesai, menurut Saan, hal ini juga akan memberi waktu yang cukup bagi publik yang tidak puas untuk mengujinya ke Mahkamah Konstitusi. Ketika ada perubahan ketentuan terkait dengan putusan uji materi di Mahkamah Konstitusi, perubahan itu juga lebih cepat disosialisasikan kepada publik.

”Kami harap pembahasan dengan pemerintah bisa dimulai paling lambat Maret. Target penyelesaian UU paling lambat pertengahan tahun, atau kalau sedikit molor, maksimal Agustus sudah selesai,” katanya. (RINI KUSTIASIH/IQBAL BASYARI)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/01/07/segera-tuntaskan-ruu-pemilu/