August 8, 2024

Sejumlah Aturan di RUU Pemilu Berpotensi Langgar Konstitusi

DPR diharapkan mengidentifikasi seluruh putusan Mahkamah Konstitusi terkait pemilu guna mencegah ketentuan yang telah dibatalkan, diatur kembali dalam UU Pemilu.

Sejumlah ketentuan di dalam draf Rancangan Undang-Undang Pemilu yang dibuat oleh tenaga ahli Komisi II DPR dan Badan Keahlian DPR berpotensi inkonstitusional karena bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi atau MK. DPR diharapkan mengidentifikasi seluruh putusan MK terkait pemilu guna mencegah ketentuan yang telah dibatalkan, diatur kembali dalam UU Pemilu.

Dari penelusuran yang dilakukan Litbang Kompas pada draf Rancangan Undang-Undang Pemilu, setidaknya ada tiga pasal yang berpotensi bertentangan dengan putusan MK.

Ketentuan itu antara lain yang diatur di dalam Pasal 206 Ayat 1 yang menyebutkan sistem pemilu yang dipakai adalah sistem proporsional tertutup. Ketentuan itu berpotensi bertentangan dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008. Putusan MK itu memberikan syarat penentuan sistem pemilu agar penyelenggaraan pemilu lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas prinsip demokrasi.

MK dalam pertimbangannya menyebutkan, rakyat harus menjadi subyek utama dalam penerapan prinsip kedaulatan rakyat. Putusan MK ini yang pertama kali menentukan sistem proporsional terbuka sebagai sistem yang konstitusional karena pemilih bisa menentukan pilihan sesuai kehendaknya.

Pasal 182 Ayat (2) huruf ii, yang mengatur penghapusan hak dipilih bagi eks anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), juga berpotensi bertentangan dengan Putusan MK No 011-017/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Dalam putusan ini, MK menyatakan pasal yang menghalangi eks anggota PKI untuk memilih dan dipilih sebagai inkonstitusional karena melanggar hak asasi manusia dan diskriminatif.

Ketentuan lain, yakni Pasal 248 Ayat (1) dan Pasal 270 Ayat (1), yang mengatur ambang batas perolehan suara partai politik (parpol) untuk diikutkan dalam penghitungan kursi di parlemen sebesar 7 persen, juga berpotensi bertentangan dengan putusan MK jika hal tersebut diberlakukan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

MK dalam putusan No 52/PUU-X/2012 menyebutkan, ambang batas parlemen tidak dapat diberlakukan secara bertingkat untuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, sebab dapat menimbulkan kemungkinan tidak ada satu pun partai politik peserta pemilu di suatu daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang memenuhinya.

Menanggapi hal ini, Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia, Selasa (9/6/2020), mengatakan, dalam pembahasan RUU Pemilu itu kelak, DPR akan merujuk pada putusan MK dan perundang-undangan lainnya.

Ini untuk mencegah aturan dalam regulasi yang bakal menjadi payung hukum pemilu selanjutnya itu tak bertabrakan dengan UU lainnya atau putusan MK yang berpotensi membuat ketentuan itu diuji materi ke MK dan dibatalkan kembali oleh MK.

”Sebagai contoh, sebagian besar fraksi menghendaki ada pembagian keserentakan pemilu menjadi pemilu legislatif dan pemilu presiden. Namun, karena ada putusan MK, tentu pilihan itu tidak dapat dilakukan sehingga sebagian besar fraksi menyetujui agar tetap diberlakukan desain keserentakan lima kotak seperti Pemilu 2019,” katanya.

Ketua Konstitusi Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, kepatuhan pada putusan MK merupakan syarat utama dalam perumusan RUU Pemilu. Sebab, jika tidak, ketentuan yang mengatur pemilu dan sistem politik itu berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara.

”DPR harus belajar dari pengalaman banyak UU yang setelah disahkan lalu dibatalkan oleh MK karena bertentangan dengan konstitusi. Karena itu, pembuat UU sebaiknya mengidentifikasi putusan-putusan MK yang terkait ketentuan pemilu dan menjadikannya rujukan, sebelum menentukan suatu norma dalam RUU Pemilu,” kata Veri. (RINI KUSTIASIH/NIKOLAUS HARBOWO)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas https://kompas.id/baca/polhuk/2020/06/10/pastikan-ruu-pemilu-tak-langgar-konstitusi/