Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu perlu segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah 2020. Selain melaksanakan pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang sesuai putusan MK, ada sejumlah ketentuan teknis yang perlu direvisi seusai adanya putusan.
”Putusan MK perlu ditindaklanjuti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dengan mengubah ketentuan teknis yang bisa dilakukan tanpa mengubah undang-undang,” kata pengajar pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jantera, Bivitri Susanti, saat diskusi bertajuk ”Catatan Akhir Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020”, Selasa (23/3/2021).
Selain Bivitri, hadir pula sebagai pembicara dalam diskusi itu, Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi; pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Khairul Fahmi; serta peneliti KoDe Inisiatif Ihsan Maulana dan Violla Reininda.
Revisi terhadap aturan teknis setidaknya perlu dilakukan menindaklanjuti putusan terhadap perkara perselisihan hasil Pilkada Boven Digoel serta Morowali Utara dan Halmahera Utara. Dalam putusan terhadap sengketa Pilkada Boven Digoel, MK menegaskan tafsir mantan terpidana.
Sementara itu, terhadap sengketa Pilkada Morowali Utara dan Halmahera Utara, Mahkamah meminta pembentukan tempat pemungutan khusus di area pertambangan, tidak hanya di rumah sakit dan rumah tahanan.
Selain menjalankan putusan MK berupa pemungutan suara ulang (PSU) dan penghitungan suara ulang, lanjut Bivitri, KPU dan Bawaslu perlu mengevaluasi putusan MK. Evaluasi yang baik perlu dituangkan dalam perubahan undang-undang. Namun jika hal itu tidak bisa dilakukan, KPU dan Bawaslu bisa langsung mengubah ketentuan teknis dalam Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu.
Sebelumnya, MK telah memutus 32 perkara Perselisihan Hasil Pilkada 2020 yang berlanjut ke tahap pembuktian. Dari pemantauan KoDe Inisiatif, kata Ihsan, 17 perkara dikabulkan, 10 perkara ditolak, dan 5 perkara tak dapat diterima. Dari 17 perkara yang dikabulkan, empat permohonan di antaranya merupakan perkara yang melewati ambang batas, yakni perkara Pilkada Kota Banjarmasin (Kalimantan Selatan), serta Nabire, Yalimo, dan Boven Digoel (Papua).
Dari 17 perkara yang dikabulkan tersebut, 16 putusan memerintahkan KPU melaksanakan PSU dan 1 putusan untuk melaksanakan penghitungan suara ulang. Sebanyak dua daerah, yakni Nabire dan Boven Digoel, melakukan PSU di seluruh TPS. Beberapa daerah, seperti Kalimantan Selatan, Jambi, dan Banjarmasin Selatan, harus mengganti Panitia Pemilihan Kecamatan dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara saat PSU.
”Mahkamah memberikan pesan bahwa penting untuk mengingat kapasitas, kapabilitas, dan netralitas penyelenggara untuk menghasilkan pemilu yang konstitusional,” kata Violla.
Veri menuturkan, MK menunjukkan perkembangan yang progresif dalam menerapkan syarat ambang batas. Saat diterapkan pada 2015, Mahkamah dinilai sangat kaku menerapkan aturan tersebut. Namun sejak 2017, 2018, dan 2020, MK mulai cenderung mempertimbangkan persoalan substansi di luar ambang batas. Pengesampingan ambang batas juga dilakukan secara kasuistis.
Merujuk Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, peserta pilkada yang dapat mengajukan sengketa hasil ke MK adalah yang berselisih suara, berkisar 0,5 persen hingga 2 persen berdasarkan suara sah hasil rekapitulasi, dengan pasangan calon yang meraih suara terbanyak.
”Kalau dilihat dari empat perkara yang melewati ambang batas, memang ada persoalan yang sangat serius dan signifikan terhadap hasil pilkada,” ujarnya.
Selain itu, ia mencatat bahwa permohonan yang diterima dan diperintahkan melakukan PSU merupakan perkara yang berdampak pada hasil. Artinya, jika dilakukan PSU ada potensi mengubah hasil kemenangan paslon yang berkontestasi.
Khairul mengatakan perlu evaluasi untuk mengukur penundaan penerapan Pasal 158 UU Pilkada. Oleh sebab itu, putusan-putusan MK perlu digali untuk mengetahui dasar yang digunakan MK menunda penerapan syarat ambang batas tersebut.
”Perlu diketahui bukti-bukti minimal agar perkara yang tidak melewati ambang batas dapat berlanjut ke sidang pembuktian,” ujarnya.
Secara terpisah, pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai terjadi perbaikan soal penerapan Pasal 158 UU Pilkada. Meskipun tetap digunakan MK, Mahkamah masih menimbang melalui proses persidangan dan dapat mengabaikan syarat ambang batas dalam kondisi-kondisi tertentu.
Dengan demikian, MK masih menerapkan mekanisme pelanggaran terstruktur, masif, dan sistematis alternatif ataupun kumulatif untuk membaca kekurangan yang terjadi di pilkada. Menurut dia, empat putusan MK di Boven Digoel, Nabire, Yalimo, dan Banjarmasin menjawab banyak kekhawatiran bahwa MK hanya mengubah prosedur untuk menerapkan Pasal 158 UU Pilkada yang awalnya di proses administrasi saat ini dipindahkan di proses persidangan awal.
”Ternyata terjawab, tidak hanya memindahkan proses, MK juga memastikan jika ada kasus-kasus yang menunjukkan pelanggaran yang signifikan luar biasa dapat dibatalkan dan bahkan diperintahkan PSU,” ucap Feri. (IQBAL BASYARI)
Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/03/23/sesuaikan-ketentuan-teknis-pilkada-berdasar-putusan-mk/