August 8, 2024

Simulasi Prasyarat Memilih Model Keserentakan Pemilu

Simulasi model keserentakan pemilu perlu dilakukan terlebih dulu sebelum diputuskan model yang akan berlaku pada pemilu selanjutnya. Salah satunya agar selaras dengan sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia.

Model keserentakan pemilu yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu didorong untuk melalui simulasi terlebih dulu. Ini penting agar desain yang dipilih kelak selaras dengan sistem presidensial serta memudahkan penyelenggara dan peserta pemilu juga pemilih dalam menerapkannya.

Desain itu pun harus mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi, dan tak kalah penting, dalam penyusunannya, harus membuka ruang partisipasi publik.

Seperti diberitakan sebelumnya, di dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang disusun tenaga ahli Komisi II DPR dan Badan Keahlian DPR tertanggal 6 Mei 2020, desain keserentakan pemilu dibagi menjadi dua. Pertama, pemilu nasional mencakup pemilu presiden-wakil presiden, pemilu anggota DPR, dan anggota DPD yang digelar serentak setiap lima tahun sekali, dan dimulai pada 2029. Kedua, pemilu daerah mencakup pemilihan kepala daerah (pilkada) serta anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang digelar serentak lima tahun sekali mulai 2027.

Adapun model Pemilu 2024 masih sama seperti Pemilu 2019. Artinya, pemilu presiden akan digelar serentak dengan pemilu DPR, DPD, dan DPRD.
Draf RUU Pemilu tersebut akan dijadikan bahan pembahasan bagi fraksi-fraksi di DPR dan internal anggota Komisi II DPR sebelum dibahas lebih lanjut dengan pembentuk UU lainnya, yaitu pemerintah.

Menyikapi desain keserentakan pemilu tersebut, Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Ferry Kurnia Rizkiyansyah saat dihubungi, Senin (8/6/2020), mengingatkan pentingnya hal tersebut dibahas jauh-jauh hari sebelum penyelenggaraan pemilu.

Ini agar cukup waktu untuk menyimulasikan pilihan sistem yang ada. Selain itu, untuk memastikan sistem yang dipilih selaras dengan sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia.

Harapan senada disampaikan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Ia menambahkan, perlunya simulasi dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019. Simulasi perlu agar desain yang dibuat pembentuk UU, sederhana dan mudah diimplementasikan.

”MK juga mengatakan, karena pemilihan model keserentakan itu berimplikasi terhadap perubahan UU, perubahan UU itu harus dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang punya perhatian atas penyelenggaraan pemilu. Partisipasi itu menjadi instrumen yang paling penting dalam pembuatan UU ini karena pemilu ini berdampak besar pada banyak pihak,” katanya.

Selain itu, menurut Titi, MK meminta pembuat UU untuk memperhitungkan secara cermat semua implikasi teknis atas pilihan model keserentakan pemilu yang diambil. ”Tidak acap kali mengubah desain atau model pemilihan langsung yang diselenggarakan serentak,” katanya.

Untuk diketahui, putusan MK No 55/PUU-XVII/2019 menyerahkan sistem keserentakan pemilu kepada pembentuk undang-undang. Namun, MK membatasi pada enam model keserentakan pemilu.

Keenam model itu, pemilu serentak memilih DPR, DPD, presiden/wapres, dan DPRD; pemilu serentak memilih DPR, DPD, presiden/wapres, gubernur, dan bupati/wali kota; pemilu serentak memilih DPR, DPD, presiden/wapres, DPRD, gubernur, dan bupati/wali kota; dan pemilu serentak nasional memilih DPR, DPD, presiden/wapres, dan beberapa waktu setelahnya pemilu serentak lokal memilih DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, gubernur, dan bupati/wali kota.

Selain itu, model pemilu serentak nasional memilih DPR, DPD, presiden/wapres, dan beberapa waktu setelahnya menggelar pemilu serentak provinsi memilih DPRD provinsi dan gubernur, serta beberapa waktu kemudian menggelar pemilu serentak kabupaten/kota memilih DPRD kabupaten/kota dan bupati/wali kota; dan desain lainnya sepanjang tetap menjaga keserentakan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wapres.

Pada Pemilu 2019, model keserentakan pemilu mencakup, pemilu presiden-wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD. Implikasi dari penerapan model tersebut, penyelenggara pemilu kelelahan, dan lebih dari 400 orang di antaranya meninggal.

Meski demikian, menurut Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa, hampir semua fraksi di DPR secara informal menyatakan sepakat untuk kembali menerapkan model pemilu yang kerap disebut pemilu lima kotak itu. ”Hampir semua fraksi pendapatnya sama soal desain keserentakan ini, yakni seperti Pemilu 2019. Lalu, untuk pilkada akan ada keserentakan tersendiri,” kata Saan.

Meski demikian, hal itu belum menjadi sikap resmi fraksi. Kepastian mengenai sikap fraksi kemungkinan akan terungkap saat rapat internal Komisi II DPR, pekan depan.

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arif Wibowo mengatakan, fraksinya termasuk yang ingin perubahan model keserentakan pemilu. PDI-P mengusulkan, pemilu presiden-wakil presiden digelar serentak dengan pemilu anggota DPD. Sementara pemilu anggota DPR dibarengkan dengan pemilu anggota DPRD. Untuk pilkada, digelar serentak tersendiri. Dengan demikian, ada tiga jenis pemilu.

”Kami mendorong keserentakan antara pilpres dan DPD karena basis pemilihannya adalah orang per orang atau individu. Sementara untuk pemilu legislatif dibarengkan antara DPR dan DPRD provinsi maupun kabupaten kota karena basisnya parpol. Lalu ada pilkada,” kata Arif. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas. https://kompas.id/baca/polhuk/2020/06/09/simulasikan-desain-keserentakan-pemilu/