Pilkada Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 merupakan Pilkada pertama yang dilakukan secara serentak di Indonesia. Pilkada serentak ini telah diatur dalam Pasal 201 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pilkada Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Salah satu implikasi dari diselenggarakannya Pilkada serentak 2024 ini menyebabkan adanya Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Daerah di daerah yang masa jabatan Kepala Daerahnya telah usai 1–2 tahun sebelum Pilkada 2024 atau berimplikasi juga pada tidak penuhnya masa jabatan Kepala Daerah karena dilakukan Pilkada 2024. Pengaturan mengenai hal tersebut telah diatur dalam Pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016. Implikasi lain terhadap dilaksanakannya Pilkada serentak 2024 adalah terjadinya Pemilu Presiden-Wakil Presiden (Pilpres), Pemilu Legislatif (Pileg), dan Pilkada berlangsung pada tahun yang sama.
Berlangsungnya Pilpres, Pileg, dan Pilkada pada tahun 2024 dapat menyebabkan terjadinya kecurangan pada Pemilu 2024 melalui abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) yang dilakukan oleh partai yang telah memenangkan kontestasi pada Pilpres atau Pileg sebelumnya. Selain daripada itu, adanya Plt Kepala Daerah dan calon petahana yang mencalonkan dirinya lagi berpotensi melakukan kecurangan melalui abuse of power dengan menggunakan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam menghimpun massa.
Perihal ASN atau pejabat negara yang turut serta dalam menyukseskan kampanye salah satu pasangan calon (Paslon) telah diatur dalam Pasal 71 ayat (1) UU Pilkada. Sedangkan, Pasal 71 ayat (2)–(4) mengatur mengenai larangan perbuatan yang dilakukan oleh petahana saat masih menjabat sebagai kepala daerah. Larangan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 71 ayat (2)–(4) meliputi larangan bagi petahana melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum masa jabatannya berakhir, larangan petahana untuk menggunakan program dan kegiatan Pemerintahan Daerah untuk kegiatan Pilkada dalam enam bulan sebelum masa jabatannya berakhir. Akibat dilanggarnya ketentuan Pasal tersebut adalah dikenakannya sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Penyelenggaraan Pilpres, Pileg, maupun Pilkada tidak pernah lepas dari kontroversi mengenai pelanggaran yang dilakukan. Data dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang dikeluarkan pada 27 Februari 2024 menunjukkan, dalam Pemilu 2024 terdapat 1.023 (seribu dua puluh tiga) pelanggaran Pemilu yang diregister oleh Bawaslu dengan rincian 482 pelanggaran berasal dari laporan dan 541 berasal dari temuan. Dari pelanggaran yang teregister tersebut terdapat 479 merupakan pelanggaran, 324 bukan pelanggaran, dan 220 dalam proses penanganan pelanggaran.
Dari data yang disampaikan Bawaslu tersebut, terdapat 69 pelanggaran administrasi, 39 dugaan tindak pidana pemilu, 248 pelanggaran kode etik, dan 125 pelanggaran hukum lainnya. Dari data tersebut menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan Pemilu masih sarat akan pelanggaran yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang melakukan pelanggaran Pemilu demi meraih kemenangan bagi Paslon yang didukung. Pilkada yang diselenggarakan pada akhir tahun 2024-pun tidak luput dari adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan demi kemenangan salah satu Paslon.
Salah satu daerah yang turut disorot dalam kontestasi Pilkada 2024 oleh masyarakat adalah Sleman, sebuah kabupaten di utara Kota Yogyakarta. Pasalnya, kedua calon yang bertanding dalam kontestasi Pilkada adalah petahana dari pemerintahan sebelumnya. Paslon dengan nomor urut 01 adalah pasangan Kustini Sri Purnomo-Sukamto. Kustini sendiri merupakan Bupati Sleman periode 2021–2024, sedangkan Sukamto merupakan Anggota DPR RI periode 2019–2024 dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Paslon nomor urut 01 tersebut diusung oleh Partai Amanat Nasional (PAN), dan didukung oleh Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Partai Garda Republik Indonesia (Garuda), Parta Bulan Bintang (PBB), dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Kemudian, Paslon nomor urut 02 adalah pasangan Harda Kiswaya-Danang Maharsa. Harda merupakan Sekretaris Daerah Sleman periode 2021–2024, sedangkan Danang merupakan Wakil Bupati Sleman periode 2021-2024 yang merupakan wakil dari Kustini. Paslon nomor urut 02 tersebut diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan didukung oleh Partai Buruh, Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Partai Demokrat (Demokrat), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Partai Ummat (Ummat).
Dalam melakukan penegakan hukum terhadap Pilkada di Kabupaten Sleman, Bawaslu Sleman sebagai lembaga pengawasan yang mengawasi penyelenggaraan Pilkada bertanggungjawab atas beberapa tindakan yang dikategorikan sebagai pelanggaran Pilkada. Pelanggaran tersebut diantaranya pelanggaran kode etik, pelanggaran administrasi, tindak pidana Pilkada, dan pelanggaran bukan UU Pilkada. Selain Bawaslu, penegakan hukum pelanggaran Pilkada turut dilakukan KPU, Kepolisian, dan Kejaksaan.
Ahmad Baehaqi, Ketua KPU Sleman, menyatakan bahwa terkait dengan pengawasan, terdapat jajaran ad hoc yakni Panitia Pilkada Kecamatan (PPK) untuk menyelenggarakan Pilkada di tingkat kapanewon, Panitia Pemungutan Suara (PPS) untuk menyelenggarakan Pilkada di tingkat desa/kelurahan yang selanjutnya PPS ini akan membuat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) untuk menyelenggarakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara.
“Kami di tingkat kabupaten selalu menekankan pada jajaran ad hoc di tingkat bawah bahwa dalam penyelenggaran pilkada menekankan pada regulasi, jadi terkait dengan regulasi-regulasi kepemiluan/Pilkada harus betul-betul dipedomani, karena ada beberapa konsekuensi,” ujar Ketua KPU Sleman, Ahmad Baehaqi (11/10).
Baehaqi menyatakan konsekuensi tersebut diantaranya, etika perilaku penyelenggara, serta konsekuensi pidana.
“Etis (etika perilaku penyelenggara-red), kami bisa memanggil untuk klarifikasi, kalau hasil dari temuan terbukti maka bisa dihentikan [secara tidak hormat-red] maka kedepan tidak bisa menjadi penyelenggara ad hoc,” ujar Baehaqi.
“Bahwa dalam penyelenggaraan betul-betul berpegang pada regulasi salah satunya menghilangkan hak pilih, ini pidana, apabila terbukti melakukan pemindahan hasil suara (masuk dalam kategori pidana-red), perolehan hasil suara dipindah dari partai A ke B (kategori pidana-red), menekankan terkait dengan hak memilih maupun dengan hasil perolehan harus betul-betul dijaga (hak warga negara dijaga-red) untuk dilaksanakan sesuai dengan regulasi jangan sampai menghilangkan hak pilih dari WN, atau dalam rekap memindahkan,” tambahnya.
Baehaqi turut menjelaskan mengenai pelanggaran administrasi dalam Pilkada bahwa dalam pelanggaran administrasi dapat dilakukan pembenahan mengenai adanya kesalahan prosedural.
“Pelaksanaan pengusutan terkait dengan pelanggaran administrasi (pelanggaran tata cara dan prosedur-red) tidak ada konsekuensi sampai pemberhentian tergantung pada tingkat kesalahan, tata cara belum benar, hasil klarifikasi memang ini perlu diperbaiki, terkait dengan pelanggaran administrasi bisa diperbaiki,” terang Baehaqi.
Lebih lanjut, Baehaqi menjelaskan mengenai pelanggaran Pilkada beserta penegakan yang dilakukan.
“Kalau etik itu pemberhentian, [nanti akan diberi-red] peringatan, peringatan tertulis, [kemudian-red] pemberhentian (pelanggaran etis-red), [apabila-red] Pidana [nanti yang menyelesaikan-red] Gakkumdu,” tuturnya.
Baehaqi juga menerangkan bahwa KPU melakukan pemberian sanksi terkait pelanggaran kode etik. Terhadap proses pidana dilakukan oleh Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang langsung diproses oleh Bawaslu. Terkait dengan pelanggaran administrasi, Bawaslu juga bisa melakukan proses kajian mengenai pelanggaran administrasi yang kemudian hasil dari kajian tersebut akan diteruskan kepada KPU sebagai rekomendasi untuk selanjutnya dilakukan pembinaan atau pembenaran.
Sementara itu Ketua Bawaslu Sleman, Arjuna Al Ichsan Siregar menyebutkan beberapa tugas Bawaslu Sleman dalam mengawasi jalannya Pilkada 2024.
“Salah satu tugasnya mengawasi, dalam melakukan pengawasan, dibagi 2 [yaitu, pencegahan dan penanganan pelanggaran-red] Penanganan pelanggaran: pidana, administrasi, etik, dan bukan pelanggaran UU Pilkada (pelanggaran UU lainnya, UU Desa, UU ASN-red), 4 model pelanggaran yang ditangani Bawaslu, nanti dianalisis nanti akan masuk ke pelanggaran yang mana kemudian masuk ke kajian awal,” jelas Arjuna (13/11).
Arjuna melanjutkan, bahwa dalam proses pengawasan terdapat skema masuknya dugaan pelanggaran kepada Bawaslu, yakni melalui temuan yang berasal dari hasil pengawasan dan laporan masyarakat.
“Temuan itu berupa pengawasan aktif yang dilakukan Bawaslu (formulir model A-red), nanti dijelaskan apakah ada potensi pelanggaran atau tidak (pidana, administrasi, etik, UU lain-red) kalau ada nanti diplenokan,” tambah Arjuna.
Mengenai dugaan adanya tindak pidana Pilkada, Arjuna menjelaskan bahwa dalam 1×24 jam sejak temuan/laporan diterima harus dilakukan pembicaraan terlebih dahulu melalui Sentra Gakkumdu untuk membahas (memang benar) dalam pelanggaran pidana atau dikembangkan lagi dalam proses klarifikasi.
Sentra Gakkumdu merupakan Sentra Penegakan Hukum Terpadu kolaborasi antara Bawaslu dengan pihak Kepolisian dan Kejaksaan dalam penanganan pidana Pilkada. Pembagian tugas dan tata kerja Sentra Gakkumdu telah diatur melalui Peraturan Bersama Ketua Badan Pengawas Pilkada Umum Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Jaksa Agung Republik Indonesia dengan nomor peraturan, Bawaslu: Nomor 5 Tahun 2020; Kepolisian: Nomor 1 Tahun 2020; Kejaksaan: Nomor 14 Tahun 2020. Dalam hal ini, Bawaslu merupakan Ketua Koordinator Sentra Gakkumdu.
“Mengacu pada perber (peraturan bersama-red), perber yg menjadi dasar ketika menangani perkara pidana Kalau di Pemilu ada perbawaslu terkait pelanggaran-pelanggaran pidana biasanya ada juknis penanganan pelanggaran (diturunkan dari keputusan bawaslu-red) biasanya bersurat (akan ada surat perintah untuk bertugas di Bawaslu Sleman-red) akan mengeluarkan SK (Surat Keputusan-red), Sentra Gakkumdu [ini-red] untuk menangani proses-proses pelanggaran pidana yang terjadi selama Pilkada,” tambah Arjuna.
“Untuk pelanggaran administrasi langsung diteruskan [ke KPU-red], [dilakukan-red] klarifikasi nanti akan direkomendasikan kepada KPU, [kalau-red] etik: hasil pengawasan langsung diteruskan di KPU tidak perlu ada klarifikasi,” terang Arjuna.
Arjuna turut menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara proses yang dilakukan oleh Bawaslu dalam menangani perkara pada Pemilu dan Pilkada.
“[kalau-red] Pemilu (temuan-red) akan masuk ke provinsi, melihat beban pelanggaran apakah perlu disidangkan atau tidak, [jika-red] Pilkada [untuk-red] temuan tidak dilimpahkan ke provinsi, bisa langsung di Bawaslu Kabupaten, output-nya rekomendasi, nanti KPU yang mengkaji rekomendasi, setelah itu diputuskan sanksinya,” jelas Arjuna.
Perihal prosedur dalam penanganan tindak pidana Pilkada, Arjuna menerangkan bahwa apabila dalam temuan/laporan terdapat potensi pidana, Bawaslu Sleman akan memberi informasi kepada Kepolisian dan Kejaksaan untuk melakukan pendampingan agar dapat diketahui suatu perbuatan tersebut diduga melanggar delik atau tidak.
“Kalau ga bisa mendampingi [Kepolisian dan Kejaksaan-red] akan dilakukan kajian awal, habis itu akan diregister lalu [dalam-red] 1×24 jam akan diadakan rapat gakkumdu untuk membuktikan maka apa saja yang akan dicari (rapat pertama sentra gakkumdu-red),” tambah Arjuna.
Perihal lanjut atau tidaknya proses penanganan perkara tindak pidana Pilkada, Arjuna menjelaskan bahwa dilakukan musyawarah mufakat antara Bawaslu dan Kepolisian serta Kejaksaan. Apabila Kepolisian dan Kejaksaan menghendaki untuk lanjut ke tahap berikutnya karena terpenuhi unsur delik dan terdapat cukup bukti, maka Gakkumdu akan melanjutkan ke tahapan berikutnya.
“Yang selama ini jadi kendala bawaslu oke jaksa dan polisi gak oke, kalau polisi dan jaksa oke maka akan lanjut. Nantinya gak akan lanjut kalau polisi dan jaksa gak lanjut, masih harus menggali alat bukti lain, mungkin punya estimasi waktu (lebih dari yang seharusnya ditentukan pada UU Pilkada-red), lebih baik tidak lanjut. Penanganan selanjutnya ada di polisi, yang harus kerja keras polisi, kalau polisi oke jaksa gak oke maka nantinya juga gak lanjut, untuk Bawaslu [sendiri-red] semangatnya pengawasan maak lanjut terus jarang untuk tidak lanjut,” terang Arjuna.
Mengenai laporan yang ditangani oleh Bawaslu, Arjuna menjelaskan bahwa laporan yang ditangani adalah laporan yang langsung disampaikan ke Bawaslu. Mengenai penanganan laporan juga dipengaruhi oleh waktu disampaikannya laporan, apabila Pilkada sudah selesai dan laporan baru disampaikan maka laporan tersebut tidak bisa ditindaklanjuti. Terdapat juga waktu daluarsa yakni 7 hari setelah diketahui/ditemukannya pelanggaran, apabila telah lewat waktu maka proses penanganan dihentikan.
“Polres akan mengarahkan ke bawaslu, misal APK bisa di pidana umum bisa pemilu, kalau lengkap formilnya akan menyerahkan laporan ke bawaslu, kalau misal tidak masuk formilnya malah masuk ke KUHP maka bisa diterima oleh kepolisian, biasanya mereka juga koordinasi [dengan Bawaslu-red],” tambah Arjuna mengenai laporan masyarakat atas dugaan pelanggaran Pilkada yang diajukan di Polres.
Dalam melaksanakan tugas pengawasannya, Bawaslu Sleman turut memberikan edukasi kepada masyarakat sekitar mengenai tata cara pengaduan pelanggaran Pilkada kepada Bawaslu Sleman. Laporan dari masyarakat dapat dilaporkan melalui posko aduan, call center (WA), email, serta melalui laporan ke pengawas kecamatan. Sosialisasi terkait pengawasan Pilkada dilakukan dengan memberi sosialisasi mengenai pengawasan Pilkada, tata cara pelaporan apabila ada dugaan pelanggaran. Sosialisasi ini dilakukan oleh Divisi Pencegahan Bawaslu Sleman yang memiliki program sosialisasi dengan target yang ditentukan untuk menjaring laporan dari masyarakat mengenai dugaan pelanggaran Pilkada.
“Kalau turun langsung agak susah, maka dibuka saluran Tapi, masyarakat enggan juga, maka bawaslu akan menjadikan itu sebagai temuan, info itu akan diambil dijadikan info awal dan kemudian akan dijadikan alat bukti, ada batas waktunya selama 7 hari, dari hasil penelusuran kalau cukup formil dan materilnya maka akan dijadikan sebagai temuan bawaslu bukan dari masyarakat,” ujar Arjuna.
Arjuna menyampaikan, apabila ada masyarakat yang ragu untuk melapor karena akan dipanggil untuk menjadi saksi, Bawaslu Sleman menyiasati dengan menjadikan laporan tersebut sebagai temuan Bawaslu yang selanjutnya akan dijadikan sebagai informasi awal.
“Upaya dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban-red) masih terkendala yang kelihatannya tidak masuk ke dalam LPSK,” tambah Arjuna mengenai perlindungan saksi dalam pelaporan dugaan pelanggaran Pilkada.
Dalam Pilkada Bupati-Wakil Bupati Sleman 2024, Arjuna menerangkan bahwa terdapat dugaan pelanggaran Pilkada terkait dugaan politik uang.
“Dalam Pilkada saat ini ada satu kasus yang ditangani terkait dugaan politik uang di dalam kampanye oleh salah satu calon wakil bupati, dia langsung membagikan uang, nah memandang bagian dari politik uang (tidak boleh memberikan uang tunai),” terang Arjuna mengenai kasus yang ditangani dalam Pilkada Bupati-Wakil Bupati Sleman 2024.
Muhammad Annas Nabil Fauzan, Jurnalis BPPM MAHKAMAH FH UGM
Liputan ini merupakan hasil kolaborasi BPPM MAHKAMAH FH UGM dengan Perludem untuk mengawal proses Pilkada 2024 dan memastikan pilkada berjalan dengan adil dan transparan.