August 8, 2024

Sirekap Belum Bisa Gantikan Rekapitulasi Manual di Pilkada 2020

Penggunaan aplikasi rekapitulasi suara secara elektronik atau Sirekap untuk menggantikan rekapitulasi secara manual dan berjenjang di Pemilihan Kepala Daerah 2020 dinilai belum tepat. Sebab, tahapan pemungutan suara tinggal tersisa sekitar tiga bulan, sedangkan persoalan masih ditemukan dalam Sirekap, ditambah lagi payung hukum belum siap.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik M Pratama, dalam diskusi virtual ”Menakar Kesiapan Rekapitulasi Suara Elektronik di Pemilu Indonesia”, Rabu (26/8/2020), mengatakan, Sirekap tak bisa langsung menggantikan rekapitulasi manual di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 karena tahapan pemungutan suara tinggal sekitar tiga bulan lagi.

Apalagi, dalam praktiknya, dalam penggunaan aplikasi tersebut masih ditemukan berbagai persoalan.

”Jadi, jauh lebih baik di Pilkada 2020 ini Sirekap hanya sebatas uji coba untuk menyandingkan, apakah hasilnya sesuai atau tidak dengan rekapitulasi manual. Lagi pula, infrastruktur Sirekap dan norma hukumnya belum siap, maka rawan bermasalah di kemudian hari. Jadi tak perlu terburu-buru,” ujar Heroik.

Masih banyaknya persoalan dalam Sirekap diungkapkan Heroik setelah memantau secara langsung proses uji coba Sirekap yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU), Senin (25/8/2020).

Menurut dia, ada sejumlah hal krusial yang perlu diperhatikan sebelum penerapan Sirekap. Pertama, standardisasi ponsel yang digunakan dalam rekapitulasi suara. Ponsel yang digunakan harus dipastikan memiliki fitur kamera dengan kualitas gambar baik.

”Dari pantauan kami, banyak telepon genggam yang cukup bervariasi, yang digunakan petugas simulasi. Dan memang dalam praktiknya, ada beberapa petugas yang sistem tidak bisa membaca hasil fotonya,” tutur Heroik.

Kedua, dari sisi teknologi, Sirekap harus dilengkapi fitur potong (crop) atau standardisasi hasil foto. Jika tidak, petugas mungkin asal memfoto sehingga data rekapitulasi suara yang tercatat dalam berkas penghitungan suara menjadi tidak utuh. Menurut pantauan Perludem pada proses uji coba Sirekap, ditemukan adanya kesalahan konversi angka dari hasil foto Sirekap ke data digital.

Ketiga, sebelum data dikirim, persetujuan dari saksi dan pengawas tak cukup verbal, tetapi harus ada rekam digital. Ini menjadi penting agar data digital bisa digunakan saat perselisihan hasil pemilu.

”Kalau verbal, tak ada bukti otentik,” ucap Heroik.

Keempat, menurut Heroik, penerapan Sirekap secara nasional juga harus memperhatikan kesiapan infrastruktur internet di Indonesia saat ini. Ia menilai akses internet belum merata di seluruh kawasan Nusantara.

Norma hukum

Selain itu, menurut peneliti Perludem, Nurul Amalia Salabi, penggunaan teknologi informasi harus diatur lebih komprehensif dalam undang-undang, tak bisa hanya melalui peraturan KPU. Pengaturan itu bisa meliputi pihak-pihak yang berwenang menyertifikasi dan mengaudit penggunaan Sirekap, keamanan siber, pelanggaran, serta sanksi.

”Artinya, masih ada kekosongan hukum di sana ketika Sirekap tetap digunakan. Regulasi kita belum siap. Jika dipaksakan, ini bisa menjadi persoalan terkait legitimasi Sirekap,” ujar Amalia.

Secara terpisah, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Mochammad Afifuddin, menegaskan, Pasal 111 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah memungkinkan penggunaan sistem informasi dalam penghitungan dan rekapitulasi suara.

Namun, PKPU Pemungutan dan Penghitungan serta Rekapitulasi Suara belum mengatur rekapitulasi secara elektronik. Untuk itu, penggunaan aplikasi ini harus diatur secara detail dan jelas dalam PKPU.

”PKPU harus menegaskan keabsahan data hasil penghitungan dan rekapitulasi suara, berdasarkan formulir C1 plano, atau data digital dalam sistem rekapitulasi elektronik, atau keduanya,” kata Afif.

Hal lain yang perlu jadi perhatian, migrasi data dari sistem manual ke sistem digital mengandung batas kesalahan (margin of error) yang cukup tinggi sehingga berpotensi menimbulkan sengketa. Untuk itu, KPU harus mengantisipasi hal tersebut.

Alat bantu

Afif pun berharap, dalam uji coba berikutnya, KPU memeriksa ketersediaan peladen (server) karena kekuatan ini yang paling menentukan dalam pengiriman data untuk kepentingan validasi.

Selain itu, KPU harus memastikan kesiapan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam mengoperasikan Sirekap dengan sosialisasi, pembekalan, dan bimbingan teknis agar sistem ini memberikan hasil maksimal. ”Sistem ini berkonsekuensi terhadap penambahan biaya atau anggaran, yaitu untuk penambahan kertas sebanyak minimal empat lembar kertas plano dan kebutuhan peranti atau ponsel yang memenuhi standar kebutuhan sistem,” tutur Afif.

Di luar itu semua, menurut dia, pendidikan pemilih penting agar pemilih mengetahui kebijakan baru tersebut sehingga tidak menimbulkan kegaduhan di ruang publik. KPU perlu membangun kepercayaan publik bahwa penggunaan aplikasi ini bertujuan untuk transparansi dan mengurangi tingkat kesalahan.

Di tengah masih banyak pekerjaan rumah terkait Sirekap, Afif menilai rekapitulasi elektronik seyogianya hanya diterapkan sebagai alat bantu rekapitulasi. Adapun sebagai data utama, tetap merujuk pada rekapitulasi manual yang dilakukan berjenjang.

Proyek percontohan

Anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, menyampaikan, selain uji coba yang telah dilakukan KPU, dalam waktu dekat, uji coba Sirekap juga akan dilaksanakan di Kabupaten Bandung dan Kota Depok.

Saat ditanya apakah sistem rekapitulasi elektronik ini akan digunakan sebagai hasil resmi dan menggantikan rekapitulasi manual, Raka mengatakan, hal itu masih dikaji sejalan dengan hasil evaluasi terhadap uji coba yang dilakukan.

”Memang ada sejumlah daerah yang sudah menyatakan kesiapan untuk itu. Namun, kami tentu juga harus hati-hati untuk mempertimbangkan berbagai aspek, seperti keamanan sistem, SDM (sumber daya manusia), dan regulasi. Nanti jika hasil simulasi sudah diketahui di beberapa titik, baru kemudian akan diputuskan,” ujar Raka.

Menurut Raka, ada dua opsi yang mungkin dilakukan. Pertama, Sirekap tetap dipakai di Pilkada 2020 sebagai hasil rekapitulasi dalam konteks informasi. Kedua, Sirekap mungkin diterapkan di beberapa daerah untuk proyek percontohan. Namun, daerah-daerah tersebut harus memiliki kesiapan dari berbagai aspek, seperti keamanan sistem, SDM, infrastruktur internet, serta kepercayaan masyarakat setempat.

”Itu bisa dilakukan sepanjang nanti ada titik temu antara aspek regulasi, aspek teknis, dan komitmen stakeholders di sana, seperti peserta pemilu, Bawaslu, dan DPRD sebagai representasi rakyat setempat. Jadi, aspek yuridis dan sosiologis sangat penting karena kami ingin penerapan ini tidak menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari,” tutur Raka.

Terkait payung hukum untuk penggunaan Sirekap, KPU akan mengaturnya dalam PKPU. Aturan di dalamnya, menurut rencana, akan mengatur kesiapan sistem, anggaran, dan sumber daya manusianya. Adapun mengenai pelanggaran dan sanksi dalam proses rekapitulasi sudah cukup diatur dalam undang-undang. (NIKOLAUS HARBOWO)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/08/27/sirekap-belum-bisa-gantikan-rekapitulasi-manual-di-pilkada-2020/