August 8, 2024

Skenario Pilkada di Tengah Pandemi

Pungut hitung Pilkada Serentak 2020 yang dijadwalkan pada 23 September 2020 resmi ditunda pascameningkatnya kurva positif corona virus desease 2019 (Covid-19) di Indonesia. Penundaan ini menyisakan berbagai problematika, terutama terkait kebijakan dalam pelaksanaan demokrasi prosedural tersebut. Meski pemerintah telah mengeluarkan Perpu Nomor 2/2020 yang menggeser pungut hitung pilkada ke bulan Desember 2020, persoalan teknis tahapan lanjutan hingga pelaksanaan pemilihan yang bertabrakan dengan protokol pencegahan Covid-19 masih perlu dirumuskan antara penyelenggara pemilu dan pemerintah.

Karena metode utama untuk mencegah penyebaran Covid-19 adalah pembatasan sosial, maka persoalan selanjutnya adalah bagaimana strategi pelaksanaan tahapan pilkada, pemungutan suara serta proses pendataan pemilih dapat berlangsung di tengah persebaran virus. Para ahli sudah memperingatkan kemungkinan gelombang kedua Covid-19 yang lebih buruk akhir tahun ini, membuat ancaman gangguan terus meningkat. Karena pilkada sangat penting di Indonesia, ribuan penyelenggara baik pusat maupun daerah harus membuat kebijakan tentang bagaimana mengelola pemilihan di tengah pandemi tanpa melanggar protokol pencegahan Covid-19. Meski demikian, masalah pelaksanaan pilkada menjadi perhatian serius, karena tahapan  pilkada akan bertabrakan dengan protokol pencegahan Covid-19 yang mengharuskan pembatasan sosial, seperti coklit data pemilih, kampanye dan pemilihan.

Para pejabat pemilu akan memiliki setidaknya tiga tujuan utama terkait pelaksanaan pungut hitung pada Desember mendatang. Pertama, yang paling mendasar, penyelenggara harus memastikan bahwa setiap pemilih yang sah secara hukum memiliki kesempatan yang cukup untuk memberikan suara tanpa menghadapi risiko yang secara substansial lebih besar dari biasanya terhadap kesehatan mereka (dalam keadaan tersebut, beberapa risiko yang meningkat minimal mungkin tidak dapat dihindari dalam hampir semua kegiatan) . Kedua, mereka harus mempertahankan perlindungan yang kuat terhadap penipuan, kesalahan dan penyimpangan lainnya yang dapat berdampak pada hasil pilkada. Ketiga, petugas pemilu harus melakukan pemilu dengan cara yang meyakinkan publik bahwa pemilu itu adil dan hasilnya akurat.

Meski demikian, penundaan pilkada akan berdampak pada banyak pihak dan melibatkan banyak kepentingan, termasuk kepentingan partai politik, penyelenggara hingga pemerintah yang harus menjamin keselamatan warga. Pertama, Efek penundaan pilkada akan berimbas pada anggaran penyelenggaraan, karena sebagian tahapan yang telah berjalan telah menguras porsi anggaran untuk seluruh tahapan.

Kedua, terkait kondisi SDM pelaksana pilkada. Pada pemilu 2019 kita menghadapi persoalan banyaknya pelaksanan pemilu yang meninggal. Ini menambah panjang daftar kekhawatiran terhadap keputusan dilaksanakannya pilkada di tengah pandemi. Penyelenggara pilkada harus memastikan bahwa pelaksanaan pilkada tidak memakan korban, baik penyelenggara maupun warga masyarakat secara umum.

Ketiga, terkait masa jabatan kepala daerah. Penundaan pilkada yang semakin lama, memaksa pemerintah perlu menyiapkan opsi pelaksana tugas atau bahkan memperpanjang masa jabatan kepala daerah. Keempat, penundaan berdampak pada penyusunan daftar pemilih terutama pemilih yang akan berusia 17 tahun pada saat pemilihan dilaksanakan.

Lantas seperti apa skenario pelaksanaan pilkada di tengah pandemi? Bagaimana KPU sebagai penyelenggara mampu menjamin terlaksanannya pilkada di satu sisi dan di sisi lain tetap mematuhi protokol kesehatan dan pencegahan Covid-19?

Setidaknya beberapa negara telah melaksanakan pemilihan di tengah pandemi Covid-19. Pada bulan April, Korea Selatan menjadi negara pertama yang mengadakan pemilihan nasional di tengah pandemi Covid-19. Tidak hanya pemilih bisa menyalurkan hak pilih meskipun memiliki risiko infeksi, tetapi mereka juga menghasilkan jumlah partisipasi tertinggi dalam 28 tahun.

Selandia Baru, Islandia, Republik Dominika, Mongolia, Burundi, dan Sri Lanka juga berencana mengadakan pemilihan sesuai jadwal. Di Amerika Serikat, negara bagian Arizona, Florida, Illinois, dan Wisconsin mengadakan pemilihan.

Dari pengalaman beberapa negara tersebut, penyelenggara pemilu perlu menyusun kebijakan dan aturan teknis pelaksanaan tahapan, terutama yang menuntut aktivitas pertemuan fisik seperti coklit, sosialisasi, kampanye, serta pemilihan. Penyelenggara juga perlu menyiapkan opsi pada saat pelaksanaan hari pemilihan.

Untuk menghindari kepadatan di tempat pemungutan suara (TPS) misalnya, penyelenggara dapat menambah jumlah TPS sehingga jumlah pemilih tidak terkumpul di satu TPS dan menghindari kerumunan. Namun, ini juga akan mahal karena membutuhkan perekrutan, menyediakan peralatan pelindung dan membeli perlengkapan pemilihan tambahan. Penyelenggara juga dapat menyediakan opsi dengan mengelompokkan pemilih per gelombang, sehingga warga dapat hadir sesuai dengan kelompok yang telah diatur. Misalnya dalam satu TPS yang terdiri dari 400 pemilih, dapat dibagi ke dalam 20 kelompok yang terdiri dari 200 pemilih.

Selain itu, pemilihan harus dilakukan dengan instruksi dan tindakan pencegahan yang jelas dan terorganisir untuk staf pemungutan suara dan sukarelawan serta bagi pemilih, termasuk mereka yang melakukan karantina sendiri dan memulihkan diri dari Covid-19. Protokolnya ketat dan TPS dilengkapi alat kesehatan dengan baik.

Langkah selanjutnya, peraturan mengharuskan setiap TPS menempatkan tanda dan peralatan untuk membantu orang menjaga jarak sosial. Para pemilih diharuskan untuk menjaga jarak setidaknya 1 meter dan pemilih dalam karantina diperintahkan untuk berdiri dengan interval 2 meter sambil menunggu dalam antrean. Beberapa TPS menandai jarak dengan pita atau menggunakan kerucut plastik atau sabuk yang dapat dilipat untuk mengatur jarak sosial.

Keberhasilan pelaksanaan pilkada Desember nanti bukan hanya bergantung pada protokol kesehatan yang ketat dan terkoordinasi, tetapi juga rasa kewarganegaraan pemilih. Itu bukan hanya terkait waktu yang tepat tetapi juga akuntabilitas yang kuat dari individu, pekerja medis, dan pemerintah negara. Kerja sama seperti semua pemangku kepentingan memungkinkan kita untuk mengadakan pilkada dengan aman dan memberi warga negara kesempatan menggunakan hak pilih mereka untuk mempertahankan demokrasi di tengah pandemi. []

MUHAMMAD IQBAL SUMA

Tenaga Ahli Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sulawesi Utara