Bawaslu Indikasikan 81 dari 171 Daerah Penyelenggara Pilkada Punya Kerawanan
JAKARTA, KOMPAS — Indeks Kerawanan Pemilu Pemilihan Kepala Daerah 2018 yang disusun Badan Pengawas Pemilu mengindikasikan 81 dari 171 daerah penyelenggara Pilkada 2018 punya kerawanan tinggi dan sedang. Di tengah tantangan itu, stabilitas nasional seharusnya tetap terjaga.
Selain menunjukkan daerah-daerah yang tergolong rawan sekaligus karakteristiknya, Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada 2018 juga menunjukkan ada lima isu yang paling berpotensi mengganggu perhelatan pilkada. Kelima isu tersebut adalah integritas dan profesionalitas penyelenggara pemilihan, kontestasi, partisipasi, netralitas aparatur sipil negara, dan politik uang.
Terkait hal itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam sambutan saat peluncuran IKP Pilkada 2018 di Jakarta, Selasa (28/11), kembali menekankan, tolok ukur kesuksesan tahapan konsolidasi demokrasi melalui gelombang pilkada serentak adalah stabilitas nasional yang harus terjaga baik.
Oleh karena itu, dia meminta indeks kerawanan bisa digunakan semua pemangku kepentingan untuk meminimalkan persoalan. “Stabilitas harus terjaga dengan baik, karena jika tidak, akan mengganggu partisipasi masyarakat menggunakan hak pilih,” kata Tjahjo.
Pemerintah, tambah Tjahjo, menginginkan Pilkada 2018, yang menjadi gelombang terakhir sebelum pilkada serentak menyeluruh pada 2024, minim praktik politik uang ataupun kampanye dengan isu suku, agama, ras, dan antargolongan, fitnah, dan ujaran kebencian. Kandidat seyogianya beradu gagasan dan program untuk mempercepat pemerataan pembangunan serta kesejahteraan rakyat.
“Pilkada tahun depan sudah ada aroma konsolidasi dan suasana jelang pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Ini harus dicermati dengan baik,” katanya.
Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali mengatakan, semakin kecil politik uang, semakin sukses sebuah pemilihan. Diakui, sulit untuk menghentikan sama sekali politik uang karena praktik tersebut sudah berjalan lama. Namun, dia optimistis praktik yang mencederai demokrasi itu bisa diminimalkan.
Peringatan dini
IKP Pilkada 2018 disusun berdasarkan tiga dimensi besar, yakni partisipasi (35 persen), kontestasi (35 persen), dan penyelenggaraan (30 persen). Dimensi besar itu diterjemahkan menjadi 30 indikator, di antaranya pemilih yang tidak menggunakan hak pilih pada pemilihan terdahulu, kekerasan terhadap pemilih, konflik antarpeserta, pelaporan politik uang, identifikasi kekerabatan calon, dan dukungan ganda partai politik. Indeks dibagi dalam tiga kluster kerawanan, yaitu tinggi (3,0-5,0), sedang (2,00-2,99), dan rendah (di bawah 2,00).
Dari 17 daerah yang menggelar pemilihan gubernur dan wakil gubernur, 3 provinsi tercatat dalam tingkat kerawanan tinggi, yakni Papua (3,41), Maluku (3,25), dan Kalimantan Barat (3,04). Sebanyak 14 provinsi lainnya dalam kategori kerawanan sedang. Sementara itu, dari 154 kabupaten dan kota, 6 daerah tergolong kategori tinggi, yakni Kabupaten Mimika (3,43), Paniai (3,41), Jayawijaya (3,40), Puncak (3,28), Konawe (3,07), dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (3,05). Selain itu, 58 daerah masuk dalam kategori sedang dan 90 daerah lainnya tergolong kategori rendah.
Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, agar bisa menyusun upaya pencegahan, IPK Pilkada 2018 akan menjadi sistem peringatan dini bagi jajaran Bawaslu hingga ke tingkat bawah. “Indeks ini akan memudahkan Bawaslu menyiapkan strategi pengawasan berdasarkan daerah yang rawan dan pada aspek apa saja bobot pengawasan difokuskan,” ujar Abhan.
Penyalahgunaan medsos
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, mengatakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika tengah merumuskan mitigasi penyalahgunaan media sosial selama gelaran Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Penyusunan rumusan dilakukan bersama Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu.
“Kami tengah membicarakan dengan KPU dan Bawaslu untuk memitigasi potensi penggunaan media sosial yang eksesif oleh pendukung atau simpatisan calon,” ujarnya. Bentuk mitigasi, tambah Rudiantara, belum ditetapkan. Namun, gambarannya, mitigasi akan dilakukan lewat aturan yang administratif.
Menurut Rudiantara, seusai Pilkada 2017, penyalahgunaan media sosial untuk menyampaikan pesan provokasi dan hoaks sudah turun. Namun, tak tertutup kemungkinan hal itu meningkat lagi saat Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah bersama KPU dan Bawaslu merumuskan cara yang tepat mencegah penyalahgunaan media sosial. “Lebih baik kami jaga-jaga jauh hari,” kata Rudiantara.
Sebelumnya, saat rapat kerja dengan Rudiantara, Komisi I DPR mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika mengoptimalkan pengawasan atas penyebaran konten negatif media sosial. (GAL/APA/NTA)
Sumber : https://kompas.id/baca/polhuk/politik/2017/11/29/stabilitas-harus-tetap-terjaga/