October 8, 2024

Sudahi Tangis Bawaslu

pilkada-pemilu

Pilkada 2015 serentak tahap pertama telah selesai dalam sekelumit celah kelemahan. Perbaikan secara menyeluruh, sistematis dan segera wajib bekerja. Pilkada-pilkada serentak tahap selanjutnya menghadang di depan mata. Salah satu penguatan untuk menutup celah pelemahan pengawas pemilu.

Lembaga Pengawas Pemilu di Indonesia bernama Bawaslu. Bawaslu RI berada di Ibukota Negara dan Bawaslu Provinsi di Ibukota Provinsi. Bawaslu berbeda dengan KPU yang “katanya” permanen hingga ke struktur kabupaten/kota. Dalam proses pengawasan pemilu, pilkda dan prilpres, Bawaslu hanya dibantu oleh “panitia” Kabupaten/Kota. Mereka dinamakan Panitia Pengawas Pemilu atau Panwaslu.

Menganaktirikan pengawas pemilu

Panwaslu jelas dianaktirikan dalam frame berfikir demokrasi dan kedaulatan. Bagaimana kita membicarakan keadilan dan supremasi hukum bila perangkat menyiapkan produk legislasi hanya diamanahkan kepada “kepanitiaan”. Artinya secara gengsi pengawas kalah jauh dari Komisi Pemilihan Umum. Panitia hanya bersifat ad hoc, dibentuk bila ada keperluan dan bubar setelah tugas berakhir. Lucu bila panitia bak entartainment organizing “EO” mengemban amanah besar menjamin seluruh asas kepemiluan terjaga.

Panwaslu Kabupaten/Kota dibantu oleh panitia kecil di tingkat kecamatan, bernama panwascam. Panwaslu dan panwascam sama-sama dipimpin, dikelola dan dijalankan oleh tiga orang pemimpin/komisioner. Jumlah pengurus KPU dan Penwas berbeda antara 5 dengan 3 orang. kita tidak pernah serius dalam melembagakan pengawas pemilu termasuk menyepelehkan keanggotaannya.

Tangis pengawas pemilu juga terlihat dari perhatian pemerintah daerah. Penulis ingin mengetahui mana yang lebih bagus bangunannya, antara KPU dengan Panwaslu? Tentu bangunan pemda yang diperuntukkan kepada penyelenggara mengutamakan KPU daripada Panwaslu. Padahal, pemerintah wajib mengupayakan percontohan kesetaraan antar lembaga. Tapi realitas menunjukkan pemerintah sendiri tidak menyetaraakan kepedulian atas pemakaian kantor-kantor untuk pengutan demokrasi.

Pemda/pemkot, juga menyediakan operasional dalam membantu pekerjaan penyelenggara pilkada. Persoalannya adalah operasional berbentuk mobil maupun sepeda motor tidak menjamin perjalanan dinas penyelenggara lebih nyaman, aman dan selamat. Bagi para komisioner perlu menyisihkan sedikit uang kehormatannya sebagai komisioner untuk memperbaiki alat transportasi tersebut.

Di lain sisi, KPU dan Bawaslu tidak mendapatkan penyeragaman dan kesetaraan dalam keadilan pendanaan. Benar pekerjaan KPU dan Panwaslu berbeda, namun tidak menutup mata bahwa anggaran pengawasan sangat jauh dari KPU dan kenyataan pekerjaan. Hal ini belum diperparah dengan sulitnya pencairan uang yang sudah menjadi hak panwaslu. Informasinya, bahkan staf-staf dan panwascam mengalami penguatan ikat pinggang karena uang kehormatan selalu telat.

Point keterlambatan pencairan dana menjadi dilema bagi penulis. Muncul pertanyaan, bagaimana dana panwascam bisa terlambat? Apa masalah uang tidak masuk sesuai dengan “bulan muda” para PNS?

Logika sederhananya, anggaran pengawasan pemilu dan pimilukada berawal dari kesepahaman Panwas dengan Pemda atau Pemkot atau pemprov. Produk kesepahaman ini lalu disampaikan kepada DPRD untuk mendapatkan persetujuan masuk dalam APBD atau APBD-P. setelah itu, APBD disampaikan kepada Pemerintah Pusat untuk memperoleh dana dan pencairannya.

Penulis mengangap tidak ada masalah dari penganggaran dan hingga penerimaan uang kehormatan. Namun selalu saja terdengar “jeritan” para pengawas dalam ruang-ruang keikhlasan menanti uang kehormatannya. Sudah lah uangnya sedikit dan harus di hemat, itu pun telat datang. Memangnya uang itu uang pribadi? itu uang rakyat yang dikelola pemerintah untuk memastikan keberlangsungan demokrasi dari sisi pengawasan. Tidak berhak dan tak pantas “perlambatan” dana bagi pengawas.

Revisi UU Penyelenggara Pemilu

Maka, perlulah Revisi UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Keperluan ini harus mengakomodir “penguatan” bagi lembaga pengawas pemilu. Pertama, Pengawas Pemilu harus sama dengan KPU dalam hal berlembaga. Pasal 69 ayat (1), (2) dan (3) mesti membuang kata penitia dan ad hoc. Permanisasi struktur hingga ke tingkat kabupaten dan kota. Penamaan pun berubah dari Panitia Pengawas Pemilu (panwaslu) tingkat kabupaten kota menjadi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten/kota.

Kedua, hasil dari kesamaan antara masa kerja dan berlembaga mengharuskan penyamaan dalam kelola organisasi. bila KPU Provinsi, KPU Kabupaten, PPK, PPS hingga ke KPPS berumlah lima orang. Maka personil komisioner juga harus sama, Perubahan Pasal 72 ayat (2) guruf (b), (c), dan (d), Bawaslu dari Provinsi hingga ke pengawas TPS harus berjumlah 5 orang. Ini adalah kewajiban bila mengedepankan asas “Keadilan Sosial (Lembaga) Bagi Seluruh Rakyat Indonesia).

Ketiga, Lembaga ini tentu harus disokong oleh pemda atas arahan Peraturan Presiden yang perbaharui sesuai amanah Pasal 108 UU 15/2011. Pengalaman kerja selama puluhan tahun seharusnya dilihat dan dihargai. Pemerintah daerah wajib mengupayakan kantor yang lebih luas, nyaman, dan tercukupi dalam kelengkapan fasilitas perkantoran. Jangan sampai ada banjir di dalam kantor akibat kebocoran di kala hujan menerjang.

Selain itu, melihat beratnya dan gentingnya persoalan transportasi penyelenggara pemilu. Penguatan Pasal 126, 127 dan 128 UU 15/2011 perlu memuat kegentingan akan transportasi penyelenggara pemilu. Pemda harus menarik semua kendaraan operasional yang mengalami kerusakan dan menggantinya dengan yang baru. Bila ingin pengiritan, kendaraan tersebut bisa diperbaiki dahulu. Bukankah dana pemda memiliki kewenangan untuk membeli, menjaga dan merawat semua barang yang dibelinya untuk menjalankan kerja-kerja pemerintahan.

Keempat, meneguhkan semangat jaminan dana penyelenggara pemilu. Bukankah waktu pemilu atau pilkada sudah diketahui bahkan semenjak proses tahapan berlangsung. Pemilu kedepan pun bisa diprediksi dan diperkirakan. Melihat dari pengalaman, maka penganggarannya bisa dimasukkan setiap pembahasan APBD. sehingga tak terjadi coba-coba dalam menguatkan ikat pinggang penyelenggara pemilu.

Jika pengetahuan bahwa tahapan pemilu berlangsung sekali dalam lima tahun. Apa tidak terlalu bodoh kita membahas pendanaan penyelenggara tersebut? bukankah dilema anggaran penyelenggaraan pimilu terkesan sebagai alat/senjata politik. seharusnya Pemeritah dan DPRD menerima saja seluruh penganggarannya dan mengupayakan percepatan pencairan dana tersebut.

Terakhir penulis mengingatkan kepada kita semua pada sepotong kalimat akhir diparagraf pertama penjelasan UU Nomor 15 tahun 2011. Kalimat tersebut berbunyi “….Penyelenggara pemilu yang lemah berpotensi menghambat terwujudnya pemilu yang berkualitas”. Bila pelemahan ini berawal dari keengganan penguatan lembaga penyelenggara. Artinya UU hanya dibuat dalam angan-angan tanpa realisasi berlandaskan optimisme. []

ANDRIAN HABIBI

Pengurus Besar HMI, KIPP dan PBHI Sumbar