September 13, 2024

Tantangan Keterwakilan Perempuan di Lembaga Penyelenggara Pemilu

Beban berlipat mesti dihadapi untuk mewujudkan keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu.

Kehadiran perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu dinilai penting. Sebab, lembaga penyelenggara pemilu adalah jantung pembuatan keputusan politik yang mengatur seleksi kepemimpinan negara. Kehadiran perempuan strategis untuk memastikan proses tersebut sensitif gender dan menghasilkan suksesi kepemimpinan yang bisa lebih memperhatikan kepentingan perempuan dalam proses kebijakan publik.

Persentase perempuan di lembaga penyelenggara pemilu, sayangnya, masih rendah. Di Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, hanya ada satu perempuan dari tujuh komisioner. Begitu pula di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, hanya ada satu perempuan dari lima komisioner. Sementara di level provinsi dan kabupaten/kota, perempuan rata-rata hanya mencapai 20 persen.

Sri Budi Eko Wardani, akademisi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), mendedah lima tantangan yang dihadapi perempuan untuk menempati lembaga penyelenggara pemilu. Pertama, sumber daya perempuan potensial yang terbatas. Ada perbedaan karakteristik mengenai syarat untuk menempati posisi anggota legislatif dan eksekutif dengan posisi lembaga penyelenggara pemilu. Di lembaga penyelenggara pemilu, ada syarat nonpartisan. Sumberdaya perempuan terbagi untuk menempati posisi legislatif/eksekutif dan tidak lagi bisa mengikuti seleksi penyelenggara pemilu.

Kedua, pengetahuan kepemiluan perempuan masih terbatas. Distribusi pengetahuan kepemiluan dan sistem politik tidak begitu merata sampai di level daerah. Universitas dengan jurusan yang mendalami ilmu kepemiluan tidak banyak.

“Kebanyakan akhirnya learning by doing­—dengan langsung menjadi lembaga penyelenggara. Maka penting upaya peningkatan kapasitas terus dilakukan,” kata Sri Budi Eko Wardani pada diskusi “Peluang dan Tantangan Keterwakilan Perempuan di KPU RI dan Bawaslu RI Menuju Pemilu 2024” (10/10).

Ketiga, pengalaman berjejaring. Rekam jejak perempuan dalam organisasi dan kepemiluan masih kalah dibanding laki-laki. Perempuan punya keterbatasan dalam berkiprah di ranah publik. Gerak perempuan terbatas karena seringkali masih perlu bergulat dengan urusan domestik.

Keempat, proses seleksi cenderung netral gender dalam perencanaan, regulasi, dan implementasi. “Tantangan lebih berat karena tidak ada afirmasi yang sifatnya mandatory—baik dari sisi pencalonan maupun keterpilihan,” kata Sri Budi Eko Wardani.

Kelima, kepentingan politik yang masih kental pengaruh kelompok dominan di masyarakat. KPU dan Bawaslu adalah lembaga yang mengatur kompetisi politik. Pasti ada kepentingan dari pihak-pihak yang nanti akan terdampak dari keputusan-keputusan KPU dan Bawaslu. Kelompok ini sejak awal akan mempengaruhi proses seleksi penyelenggara pemilu. Kepentingan politik ini berpotensi menghambat partisipasi perempuan.

“Lima isu ini menjadi problem bagi perempuan dan hasilnya jumlah perempuan terpilih sebagai penyelenggara pemilu masih rendah baik di tingkat nasional maupun daerah,” tandas Sri Budi.