Maret 29, 2024
iden

Tantangan Parpol Baru Menjelang Pemilu 2024

Menjelang Pemilu 2024, partai-partai politik baru bermunculan. Dari sejumlah parpol baru tersebut, beberapa di antaranya sudah memperoleh status sebagai badan hukum dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), salah satunya adalah Partai Gelora besutan Fahri Hamzah, eks Wakil Ketua DPR RI.

Secara konstitusional, partai politik diamanatkan oleh konstitusi untuk mengisi pos-pos kekuasaan di lembaga negara. Misalnya, Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan partai politik untuk mengisi keanggotaan di lembaga DPR dan DPRD di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Namun, jalan parpol menuju kekuasaan bukan jalan yang mudah. Jalannya terjal dan penuh tantangan. Tantangan pertama yang harus dilewati oleh parpol baru adalah menjadi peserta pemilu. Sebab, parpol yang sudah memperoleh status sebagai badan hukum dari Kemenkumham, tidak otomatis dapat menjadi peserta pemilu.

Saat ini, untuk dapat menjadi peserta pemilu, parpol baru harus memenuhi sejumlah persyaratan yang diatur oleh undang-undang. Pasal 173 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebut sejumlah syarat tersebut.

Dari syarat-syarat yang tertuang dari pasal tersebut, ada sejumlah syarat yang amat berat. Di antaranya adalah status badan hukum yang sesuai dengan undang-undang parpol, memiliki kepengurusan dan kantor di seluruh provinsi, 75% kabupaten kota, dan 50% kecamatan, serta keanggotaan minimal 1000 orang atau 1/1000 dari jumlah penduduk yang dibuktikan dengan kartu anggota.

Berkaca dari pengalaman pemilu periode sebelumnya, memenuhi persyaratan tersebut bukan perkara yang mudah. Pada Pemilu 2019 lalu, Komisi Pemilihan Umum menetapkan sebanyak tujuh parpol yang sudah berstatus sebagai badan hukum tidak dapat mengikuti Pemilu 2019. Penyebabnya karena tidak memenuhi syarat minimal keanggotaan atau kepengurusan, baik di tingkat kabupaten/kota maupun kecamatan. Ketujuh parpol tersebut adalah Partai Idaman besutan Rhoma Irama, Partai Indonesia Kerja (Pika), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Swara Rakyat Indonesia (Parsindo), Partai Republik, Partai Bhinneka, dan Partai Rakyat.

Bagi parpol-parpol baru yang tengah mempersiapkan diri mengikuti Pemilu 2024, masih tersisa waktu yang cukup untuk memenuhi sejumlah persyaratan menjadi peserta pemilu. Sebab, hingga saat ini KPU belum memutuskan jadwal lengkap penyelenggaraan Pemilu 2024, termasuk mengenai jadwal pendaftaran parpol peserta pemilu. Jadi, masih ada banyak waktu bagi parpol.

Tantangan kedua yang harus dihadapi oleh parpol-parpol baru adalah melewati ambang batang parlemen atau parliamentary threshold. Ambang batas ini merupakan syarat bagi parpol peserta pemilu untuk diikutsertakan dalam proses pembagian kursi di DPR. Tujuannya, adalah untuk mengurangi jumlah parpol di DPR.

Secara teoritik, pengurangan jumlah parpol dengan istilah penyederhanaan sistem kepartaian ini memang dibenarkan untuk menstabilkan hubungan eksekutif dan legislatif dalam sistem presidensial multipartai. Khairul Fahmi (2016), misalnya, menyebut bahwa penyederhanaan parpol tidak bisa dielakkan jika kita ingin konsisten menggunakan sistem presidensial.

Pasal 414 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menetapkan ambang batas parlemen adalah 4 persen. Artinya, bila parpol ingin mendapatkan kursi di DPR, walau hanya satu kursi, mereka harus mendapatkan suara sah dari pemilih secara nasional minimal 4 persen dari keseluruhan suara sah.

Ambang batas parlemen merupakan tantangan yang cukup berat yang harus dihadapi oleh partai politik baru. Pasalnya, semenjak mulai diberlakukan, ambang batas parlemen ini cukup efektif menghentikan langkah parpol baru. Misalnya, pada Pemilu 2019 lalu, dari empat parpol baru peserta pemilu, tidak ada satupun yang lolos ambang batas parlemen ini. Keempat parpol baru itu adalah Partai Garuda, Partai Berkarya, Partai Perindo, dan PSI.

Dengan demikian, parpol-parpol yang baru dibentuk belakangan ini, mulai dari Partai Gelora, Partai Masyumi Reborn, Partai Umat dan partai-partai baru lainnya harus berjuang ekstra bila tidak mau dikatakan hanya “numpang lewat”. Dalam konteks perjuangan melewati ambang batas parlemen, caranya tentu saja adalah menawarkan program yang lebih “yahut” dari partai yang sudah ada sebelumnya agar pemilih tertarik memilih mereka.

Akhir kata, apakah parpol-parpol baru tersebut mampu melewati dua tantangan ini? Atau, akankah mereka bernasib sama seperti parpol-parpol baru pada pemilu-pemilu periode sebelumnya? Hanya waktu dan “keringat” parpol yang bisa menjawab pertanyaan ini. Karenanya, menarik untuk mengikuti dan mengamati perkembangannya kedepan. []

RINO IRLANDI

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya