Koalisi untuk Etika Media Sosial pada 6 Desember 2020 mempublikasikan temuan-temuan riil terjadi berkaitan dengan permasalahan kampanye di media sosial. Salah satu yang dipetakan terutama soal hoaks dan disinformasi serta iklan kampanye di media sosial pada tahapan kampanye Pilkada 2020. Temuan ini menghubungkan berbagai pihak di antaranya, perwakilan dari Dewan Pers dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yaitu; Agus Sudibyo selaku Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negri dan Fritz Edward Siregar, SH, LL.M PhD, selaku Komisioner Bawaslu.
Publikasi temuan tersebut merupakan tindaklanjut dari “Pedoman Kampanye Politik di Media Sosial” yang dibuat oleh Koalisi. Terdapat 11 kelompok masyarakat sipil dan asosiasi yang telah secara aktif mendukung dan menggagas pedoman ini, yaitu: Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Centre for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada, Universitas Atma Jaya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Koalisi Perempuan Indonesia, Generasi Melek Politik, Komite Independen Sadar Pemilu, Warga Muda, Rumah Kebangsaan, dan Democracy and Electoral and Empowerment Partnership (DEEP).
Koalisi melakukan pemetaan mengenai risiko yang paling rentan terjadi selama masa kampanye. Pedoman diluncurkan 22 September 2020 atau pada hari pertama dibolehkannya kampanye terutama iklan kampanye di media sosial.
Pemetaan risiko tersebut adalah proyeksi yang dilandaskan pada dua hal. Pertama, kemungkinan untuk diatasi melalui kebijakan, inisiatif, dan konsensus. Kedua, pengaruh terhadap kredibilitas dan kualitas demokrasi.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) melakukan pemantauan di lima daerah yang menjadi bagian dari Pilkada 2020 dan memiliki penetrasi internet yang tinggi. Beberapa pelanggaran yang menjadi temuan awal dari ELSAM termasuk: penayangan iklan dari bulan Oktober, iklan tanpa penafian (disclaimer) mengenai siapa yang membayar iklan tersebut, dan iklan kandidat politik yang dilakukan oleh media online.
Bawaslu juga memaparkan data temuan KOMINFO selama masa Pilkada 2020, terdapat 45 isu hoaks, total 105 iklan kampanye yang aktif selama masa kampanye, 220 jumlah URL yang di minya untuk take down. Terdapat 193 URL yang melanggar pasal 69 huruf c UU Pilkada mengenai ‘menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat; 10 URL melanggar pasa 62 PKPU 13/2020 perihal kampanye di luat jadwal; 15 URL yang melanggar pasal 69 huruf b UU Pilkada mengenai penghinaan seseorang berlandaskan agama, suku, ras, golongan, paslon dan/atau Partai Politik; dan terakhir, 2 URL melanggar pasal 28 UU ITE tentang penyebaran berita bohong.
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) menemukan ada 47 hoaks sejak dari jumlah artikel periksa fakta dalam rentang waktu 27 April 2020 sampai dengan 2 Desember 2020. Hoaks tersebut didominasi oleh konten palsu atau sesuatu yang diada-adakan sebanyak 34 persen, konten yang dimanipulasi 23.4 persen, konten yang menyesatkan 21.3 persen, konten yang salah 17 persen, onten tiruan 2.1 persen, serta konten satire 2.1 persen (https://bit.ly/33L4Jx6).
Soal iklan kampanye di media sosial, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga memaparkan beberapa temuan seperti iklan kampanye yang dilakukan di luar jadwal, penggunaan ragam kategori akun di luar yang sudah ditentukan untuk iklan kampanye berbayar, serta realita belanja iklan yang tidak sinkron dengan laporan dana kampanye kandidat sebagai bagian dari 9 risiko utama yang paling rentan terjadi selama masa kampanye.
Temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa risiko-risiko yang dipetakan benar terjadi dan akan sangat membahayakan demokrasi jika tidak ditangani serius. Risiko-risiko ini menjadi panggilan darurat bagi pembuat kebijakan agar menyiapkan aturan yang jelas yang bisa memitigasi risiko-risiko dalam media sosial.
Koalisi berharap “Pedoman Kampanye Politik di Media Sosial” menjadi embrio untuk pengaturan media sosial, terutama yang digunakan pada saat kampanye. Pengaturan dibutuhkan bukan untuk membatasi kebebasan berekspresi tapi menjadikan media sosial itu ruang yang sehat bagi pemilih mengakses atau mendapatkan informasi yang setara dan juga jelas tentang penyelenggaraan pemilu maupun kandidat-kandidat yang akan mereka pilih—atau bahkan menjadi ruang dialog—agar demokrasi ke depan juga tetap sehat. []