August 8, 2024

Terobosan Politik Dibutuhkan

JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah anggota DPRD kembali ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Langkah antisipasi mesti disiapkan agar Pemilu mendatang menghasilkan wakil rakyat yang lebih berkualitas dan bersih dari korupsi.

Hal ini terjadi karena kasus korupsi yang melibatkan banyak anggota DPR telah terjadi beberapa kali. Modus mereka umumnya juga relatif sama, yaitu terkait suap dalam pembahasan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Dalam kasus itu, terakhir, KPK menetapkan 18 anggota DPRD Kota Malang serta 38 anggota dan mantan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara (Sumut) sebagai tersangka.

Sebelumnya, pada 2017, tiga pemimpin DPRD Kota Mojokerto juga telah diproses hukum karena hal serupa. Kasus serupa, juga membuat 6 anggota DPRD Musi Banyuasin dan 7 anggota DPRD Sumut juga diproses hukum pada tahun 2016.

Merujuk pada data dari KPK, sejak lembaga itu berdiri tercatat 122 anggota DPRD diproses hukum.

”Kami selalu menganjurkan untuk memilih wakil dengan melihat rekam jejak. Apalagi khusus untuk di daerah,
rekam jejak lebih mudah diketahui,” ujar Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK Jakarta, Selasa (3/4/2018), saat mengumumkan penetapan 38 anggota DPRD Sumut sebagai tersangka.

Guna mengurangi potensi korupsi di lembaga legislatif, Komisi Pemilihan Umum telah menganjurkan agar para mantan narapidana perkara korupsi tidak dapat menjadi calon anggota legislatif (caleg). KPU juga mengusulkan agar para caleg melaporkan harta kekayaan mereka. Namun, usulan yang menurut rencana dimasukkan dalam peraturan KPU ini belum tentu disetujui karena tidak diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Kompas, 3/4/2018).

Biaya politik

Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, peningkatan integritas partai politik menjadi hal utama yang harus dilakukan untuk menghentikan korupsi yang terjadi dalam pembahasan APBD. Biaya politik, seperti untuk pencalonan yang mahal, menyebabkan sejumlah anggota DPRD menyalahgunakan wewenang dan memanfaatkan kesempatan untuk menerima suap dengan kongkalikong bersama eksekutif.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris juga melihat, masalah korupsi ini menyangkut kualitas parpol. ”Pemimpin ataupun elite parpol tidak memiliki visi bagaimana daerah dibangun dan pemerintahan yang bersih ditegakkan. Orientasi mereka hanya untuk menutup biaya politik yang dikeluarkan. Pertanyaannya, apakah hal itu bisa dihilangkan kalau parpol tidak dibenahi?” katanya.

Namun, pemimpin parpol yang diharapkan sebagai penggerak bagi pembenahan parpol belum semuanya punya niat baik untuk membenahi parpol. Parpol belum membenahi sistem kaderisasi, sistem perekrutan, standar etik parpol, dan tata kelola keuangan. Buruknya empat hal itu di dalam parpol menyumbang pada rentannya sistem politik
pada praktik korupsi dan pencarian rente bagi keperluan elite politik.

Dalam kondisi seperti ini, kerja sama antara masyarakat sipil dan media massa berperan penting untuk mengawal pembenahan parpol. ”Tanpa masyarakat sipil yang kuat, kita akan seperti ini,” kata Haris.

Padahal, kasus korupsi seperti yang terjadi dalam pembahasan APBD punya dampak luar biasa. ”Dampaknya luar biasa kalau APBD dijadikan bancakan (dimakan bersama) baik oleh eksekutif maupun legislatif yang kongkalikong. Semua sektor pelayanan rakyat pasti terpengaruh, misalnya kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan sektor-sektor lainnya,” ujar Haris.

Tiga pola

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, ada tiga pola hubungan eksekutif dan legislatif yang harus diperhatikan dalam melihat korupsi, seperti yang terjadi dalam suap anggota DPRD.

Pola pertama, menurut Robert, ialah hubungan kolutif, seperti yang terjadi di Sumut dan Malang. Dalam pola ini, legislatif terlihat tenang dan tidak lagi bersuara mengenai sejumlah kebijakan eksekutif. ”Mereka sudah dibayar, mungkin di depan atau di belakang sehingga tidak tampak pertentangan. Akan tetapi, sesungguhnya di balik ketenangan itu ada persekongkolan antara eksekutif dan legislatif,” katanya.

Pola kedua adalah hubungan yang konfliktual atau penuh pertentangan antara DPRD dan pemda. Pola ini menunjukkan hubungan yang tidak akur dan saling bertentangan antara kedua pihak sehingga sulit tercapai kata sepakat. Adapun pola terbaik ialah pola ketiga, yakni kolektif kolegial, di mana proses check and balance terjadi.

DPRD di daerah memiliki kekuatan besar dalam pembahasan APBD. DPRD bisa mengusulkan dan mendorong suatu proyek dan penganggaran. Kalau hal itu tidak dipenuhi oleh pemda, DPRD mengancam tidak akan mengesahkan APBD.

Dalam kondisi seperti ini, menurut Robert, Kementerian Dalam Negeri harus berperan lebih kuat untuk memastikan pembahasan APBD berlangsung transparan serta tidak ada ruang gelap kekuasaan tempat eksekutif dan legislatif bisa saling menawar untuk kepentingan masing-masing. Hal ini mendesak dilakukan karena dari hasil kajian KPPOD, tren korupsi anggaran bahkan mengejar proyek yang semakin kecil dari waktu ke waktu.

”Sekarang yang dikejar adalah proyek yang di bawah Rp 200 juta karena kalau di bawah angka itu prosesnya adalah penunjukan, bukan lelang. Ini bahaya dan harus diwaspadai. Anggota DPRD bisa bermain di angka ini sebab mereka bisa langsung ditunjuk oleh pemda menjalankan proyek. Permintaan fee 5 sampai 10 persen itu pun sudah lumrah terjadi,” kata Robert.

Dalam kasus suap di DPRD Sumut, 38 orang yang ditetapkan sebagai tersangka merupakan pengembangan perkara yang melibatkan mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho pada 2015. Tiap orang ini disebut menerima jatah Rp 300 juta hingga Rp 350 juta.

Sebelumnya, sudah ada 12 unsur pimpinan dan anggota yang diputus bersalah karena menerima suap yang disebut uang ketuk itu. Total yang digelontorkan merujuk pada kesaksian Gatot tercatat sampai Rp 43 miliar. (IAN/WSI/REK)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 4 April 2018 di halaman 1 dengan judul “Terobosan Politik Dibutuhkan”. https://kompas.id/baca/bebas-akses/2018/04/04/terobosan-politik-dibutuhkan/