August 8, 2024

Tidak Cukup Bermodal Keyakinan Siapkan Pilkada di Tengah Pandemi

KPU dan Bawaslu menunggu kepastian tambahan anggaran pilkada dan peralatan protokol Covid-19. Padahal, tahapan lanjutan direncanakan dimulai 15 Juni.

Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah di tengah pandemi Covid-19 menghadapi tantangan yang luar biasa besar dari sisi teknis, anggaran, dan kesehatan. Masyarakat sipil mengingatkan modal keyakinan saja  tidak akan menjamin pilkada  berlangsung berkualitas dan aman bagi penyelenggara, pemilih, dan peserta pilkada.

Jajak pendapat Litbang Kompas  menunjukkan, 77,3 persen responden menilai pilkada di tengah pandemi akan berimbas pada kualitas pilkada  (Kompas, 8/6/2020).

Adapun, hingga Senin (8/6), Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) masih menunggu kepastian ketersediaan anggaran tambahan  maupun peralatan protokol kesehatan Covid-19 untuk tahapan pilkada. KPU dan Bawaslu mengajukan tambahan anggaran  berkisar Rp 2,8 triliun-Rp 5,9 triliun.
Padahal, jika pemungutan suara  didesain 9 Desember 2020, tahapan sudah harus kembali dimulai 15 Juni.

Anggota KPU, Viryan Aziz,  dihubungi, Senin di Jakarta, mengatakan, dalam pelaksanaan tahapan pilkada, perangkat   pemenuhan protokol kesehatan Covid-19  amat diperlukan. Menurut dia, jika tak ada kejelasan  ketersediaan perangkat kesehatan protokol Covid-19, hal itu bisa memberi ketidakpastian dalam teknis keselamatan masyarakat.

”Protokol ini bukan untuk KPU, tapi untuk keselamatan penyelenggara, peserta, dan pemilih,” katanya.

Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar,  mengingatkan protokol kesehatan yang sudah disusun antara lain keharusan menggunakan sarung tangan, pengecekan suhu badan, tinta semprot, dan pembatasan jumlah orang. ”Tanpa anggaran dan perangkat protokol Covid-19, tak akan ada pilkada di tengah pandemi karena keduanya sama-sama penting,” katanya.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menilai, komitmen menjunjung kedaulatan rakyat lewat pilkada patut dihormati. Namun, memaksakan pilkada di tengah belum tuntasnya regulasi, ketidakpastian anggaran, kapasitas petugas yang terancam bermasalah, dan akses informasi terbatas bagi pemilih, merupakan pilihan  tak kredibel. Dia mengingatkan, pilkada tak cukup bermodal semangat dan keyakinan.

”Kondisi lapangan juga harus dipertimbangkan   sehingga keputusan yang dibuat benar-benar rasional,” kata Titi.

Pengajar hukum tata negara Universitas Trisakti, Jakarta, Radian Syam, mengingatkan, pilkada 9 Desember 2020 masih menghadapi pandemi Covid-19. Selain itu   ada persoalan aturan, waktu penyelesaian perselisihan hasil pemilihan, sumber daya manusia, cuaca  buruk  akhir tahun, dan masalah anggaran.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Arwani Thomafi mengatakan,  pilkada 9 Desember 2020 bukan harga mati. Jika  kondisi tak  membaik dan penerapan protokol  Covid-19 tak  berjalan  semestinya,  keselamatan masyarakat harus diutamakan.

Menteri Dalam Negeri

Kemarin, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bertemu Dubes Korsel untuk Indonesia Kim Chang-beom membahas pemilu di tengah Covid-19. Seusai pertemuan, secara daring,  Tito mengatakan, Korsel berhasil menyelenggarakan pemilu legislatif  15 April, saat negara itu  melawan pandemi Covid-19.

Menurut Tito, salah satu penentu keberhasilan pemilu di Korsel adalah penerapan protokol kesehatan yang ketat, baik saat tahapan maupun hari pemungutan suara.

Kim Chang-beom menambahkan, Korsel mencatat partisipasi pemilih pada Pemilu 2020 mencapai 62,2 persen,  naik sekitar 10,2 persen dibandingkan  pemilu sebelumnya.

”Indonesia memerlukan keyakinan, kepercayaan, kerja sama, dan gotong royong untuk menyukseskan pilkada sebagai model baru kesuksesan pemilu selama pandemi Covid-19,” kata Chang-beom.

Terkait hal itu, Titi menilai Pemerintah Indonesia harus membuat perbandingan obyektif dari sisi regulasi, ketersediaan anggaran, juga penanganan Covid-19.  Korsel siap menggelar pemilu di masa pandemi karena punya regulasi kepemiluan yang dilaksanakan sejak lama. Pemilih bisa memilih sebelum hari pemungutan suara, menggunakan hak pilih dari rumah, dan memilih lewat pos.

Selain itu, katanya, data yang didapat Perludem dari Komisi Pemilihan Nasional Korea, Pemilu  2020 menghabiskan dana hampir empat kali lipat dibandingkan pemilu tanpa Covid-19 pada 2016. (RINI KUSTIASIH/DIAN DEWI PURNAMASARI/INGKI RINALDI)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas. https://kompas.id/baca/polhuk/2020/06/09/tidak-cukup-bermodal-keyakinan-siapkan-pilkada-di-tengah-pandemi/