Pemuda sering dipahami berdasarkan dua perspektif yang kontradiktif dalam konteks Pemilu. Di satu sisi mereka diglorifikasi atas jumlahnya yang banyak dan signifikan dalam pemenangan elektoral. Di sisi lain, mereka dipandang sebelah mata sebagai swing voters yang apolitis dan rawan dieksploitasi elite politik.
Tulisan ini sepakat dengan perspektif awal, namun tidak sepenuhnya membenarkan perspektif kedua. Pemilu 2024 amat penting menjadi pelajaran untuk merancang tindak lanjut politik muda.
Penting Secara Angka
Kita semua sepakat bahwa pemuda memiliki peran signifikan dalam pemenangan elektoral. Berdasarkan data statistik, dari 204.807.222 orang yang punya hak pilih, sekitar 114 juta atau setara 55% dari total pemilih merupakan Gen Z dan Milenial. Selain jumlahnya yang besar, kelompok pemuda diyakini memiliki potensi spillover effects, sebuah potensi dalam mempengaruhi political agenda setting dan preferensi politik kelompok lainnya secara lintas usia, profesi, dan wilayah.
Pentingnya peranan pemuda dalam pemenangan elektoral terlihat dari adanya adaptasi gaya kampanye dari setiap paslon Capres-Cawapres. Salah satu bentuk adaptasi ini adalah optimalisasi kampanye dalam ruang digital. Tidak hanya memunculkan konten kampanye yang unik, kampanye dalam ruang digital juga dibentuk untuk menghasilkan atensi emosional yang unik, yang membentuk preferensi politik pengguna internet (khususnya media sosial) dalam limitasi logaritma konten yang homogen. Harapannya, dengan menarik perhatian pemuda, potensi dari spillover effect dari pemuda dapat dimaksimalkan dengan memperluas skup pengaruh kampanye kepada kelompok pemilih lainnya.
Kampanye di ruang digital memang dibutuhkan mengingat pemuda sangat dominan di dalamnya. Merujuk data statistic pada tahun 2023, pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 212,9 juta. Dengan penetrasi internet sebesar 77,0 persen, terdapat 353,8 juta koneksi HP aktif (setara dengan 128 persen dari total penduduk). Dari angka tersebut, terdapat 167 juta pengguna media sosial, angka ini setara dengan 60,4 persen dari total populasi penduduk. Berdasarkan jumlah pengguna media sosial yang besar tersebut, 153,7 juta pengguna media sosial didominasi oleh pemuda berusia 18 tahun ke atas.
Secara lebih spesifik, jika melihat data pengguna Facebook di Indonesia yang mencapai 168.410.600 pengguna. Kelompok pemuda berusia 25 hingga 34 tahun merupakan kelompok pengguna terbesar dengan jumlah 63.500.000 pengguna.
Jika melihat data Instagram, ada 89.666.400 pengguna atau 31,9% dari seluruh populasi Indonesia. Dari angka ini, pengguna berusia 25 hingga 34 tahun merupakan kelompok terbesar dengan jumlah akun sebanyak 35.500.000 pengguna.
Dominasi pemuda juga ada di platform lainnya. Sebutlah itu messenger atau Linkedin.
Secara singkat, data di atas menunjukkan dominasi kaum muda dalam penggunaan ruang digital dan utamanya media sosial di Indonesia. Oleh sebab itu, pemuda menjadi sangat penting secara jumlah baik sebagai pemilih maupun sebagai aktor yang memperluas amplifikasi kampanye untuk pemenangan pemilu.
Pengawal Kualitas Demokrasi
Besarnya jumlah pengguna dari kalangan pemuda dan potensi kelompok ini dalam mempengaruhi preferensi kelompok lain telah menuntut adaptasi metode kampanye secara signifikan. Berbagai bentuk kampanye dengan optimalisasi gimmick politik, kampanye terbuka, ruang debat deliberatif dan sebagainya seringkali berujung menjadi “konten” dari kampanye digital yang semakin masif untuk menarik suara pemuda.
Namun pertanyaannya, apakah pemuda akan selalu menjadi objek dari konten-konten ini? Apakah potensi pemuda dalam mempengaruhi preferensi kelompok lainnya selalu didahului oleh bingkai kepentingan yang ditanamkan kepada mereka secara implisit?
Saya rasa jawaban dari pertanyaan di atas adalah tidak. Saya membenarkan bahwa banyak kalangan pemuda masih menjadi objek pasif politik, yang potensinya selalu dieksplotasi oleh oleh elite politik. Hal ini terbukti terang oleh banyaknya pemuda yang memilih Capres-Wacapres karena efek gimmick politik yang tidak substantif.
Namun syukurnya, pemuda sebagai aktor politik yang rasional dan independen mulai terus aktif bermunculan. Alih-alih menjadi apolitis dan menjadi swing voter, banyak kelompok pemuda mulai berani membentuk preferensi politiknya secara lebih rasional. Lebih dari itu, banyak pemuda memanfaatkan potensinya untuk mempengaruhi preferensi politik kelompok lainnya secara lebih kreatif dan substantif.
Nada optimis atas pemuda di atas tidak muncul tanpa alasan. Optimisme ini tidak terlepas dari berbagai forum kampanye dialogis yang saya hadiri selama masa kampanye lalu.
Dalam forum diskusi yang terbuka dan demokratis, seperti Desak Anies, Slepet Imin, Gelar Tikar Ganjar, dan Tabrak Prof!, peserta yang hadir justru didominasi oleh kawula muda. Mereka bukan orang-orang yang apolitis dan objek politik yang pasif. Mereka justru kelompok pemuda yang aktif mencari kebenaran yang bersifat intersubjektif, sebuah kebenaran yang dijadikan modal dalam menentukan preferensi politik yang rasional dan substantif. Dengan kehadiran pemuda dalam forum-forum ini, pemuda terus bertransformasi menjadi katalisator berbagai forum demokratis, yang dalam konteks pemilu kali ini diinisiasi oleh paslon Capres-Cawapres tertentu.
Adanya potensi berupa spillover effect juga dimanfaatkan oleh pemuda di ruang-ruang digital. Hal ini dilakukan dengan membuat berbagai akun di media sosial dan juga beberapa platform kampanye alternatif. Akun atau platform ini menjadi sumber informasi alternatif bagi kelompok pengguna lainnya dalam memahami Capres-Cawapres.
Sentuhan para pemuda dalam mengemas kampanye telah mengubah politik formal menjadi lebih menarik tanpa kehilangan substansi utamanya. Sentuhan kreatif ini telah mengubah citra politik yang kaku dan membosankan menjadi lebih inklusif dan menarik. Menurut hemat saya, salah satu contoh sukses dari gerakan pemuda ini adalah Anies Bubble, sebagai gerakan yang layak menjadi inspirasi bagi gerakan politik lainnya.
Syahdan, Pemilu 2024 telah menunjukkan bahwa pemuda penting secara kuantitas maupun kualitas. Ada gerakan politik muda sebagai penolakan justifikasi yang tidak adil. Sehingga, perendahan kualitas kelompok muda tidak bisa digeneralisasi.
Berdasarkan dinamika Pemilu 2024, pemuda bertransformasi menjadi aktor yang aktif dalam menjaga demokrasi secara substantif, baik di ruang nyata maupun ruang digitial. Peranan ini sangat penting di saat demokrasi Indonesia terus mengalami degradasi akibat pilar-pilarnya yang semakin keropos. Peranan ini ikut meningkatkan kualitas demokrasi elektoral dan demokrasi subtantif Indonesia. Dengan peranan ini juga pemuda kembali menjadi harapan dan aktor alternatif dalam menawarkan, membangun, dan merawat demokrasi Indonesia agar lebih baik ke depan. []
FAIZ KASYFILHAM
PolGov & Election Corner UGM