August 8, 2024

Transformasi Kelembagaan Pemilu Belum Tuntas

Transformasi kelembagaan penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, belum tuntas. Setiap lembaga dinilai cenderung menunjukkan kewenangan, bukan saling melengkapi satu sama lain.

Peneliti Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, saat diskusi bertajuk ”Menata Ulang Desain Kelembagaan Penyelenggara Pemilu”, Minggu (17/1/2021), mengatakan, penyelenggara pemilu di Indonesia telah bertransformasi cukup baik selepas masa Orde Baru. Lembaga yang sebelumnya menjadi bagian dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, telah berubah menjadi lembaga yang independen.

”Amandemen Pasal 22e Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 2945 telah melahirkan lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri untuk mencapai pemilu yang demokratis dan konstitusional,” katanya.

Namun, penyelenggara yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri masih belum cukup. Bahkan, dalam perjalanannya, terjadi hubungan yang tidak harmonis dan cenderung saling berkompetisi antarlembaga penyelenggara pemilu.

Hal itu disebabkan kewenangan lembaga-lembaga yang terus diperkuat sehingga justru menegasikan, satu lembaga lebih kuat dibanding lembaga lain. Padahal, ketiga lembaga itu seharusnya bisa saling melengkapi dan bersifat harmonis.

Ironisnya, kata dia, yang terjadi justru kompetisi dan ketegangan antarlembaga pemilu, seperti dalam putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kepada Ketua KPU Arief Budiman. Putusan ini tidak bisa dilepaskan dari ketegangan sebelumnya, yakni pemberhentian tetap kepada anggota KPU, Evi Novida Ginting Manik, yang juga dinilai melanggar etika penyelenggara pemilu.

”Relasi kelembagaan sekarang tidak sehat. Kompetisi ternyata tidak hanya terjadi pada peserta pemilu, tetapi juga sesama penyelenggara pemilu,” katanya.

Menurut Fadil, setiap lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu seharusnya menghentikan keinginannya untuk menambah wewenang kelembagaannya yang cenderung mengambil wewenang lembaga lain. Penataan yang biasanya dilakukan dengan pembagian kewenangan justru akan menciptakan kompetisi.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Sumatera Barat, Feri Amsari menuturkan, salah satu penyebab terjadinya kompetisi antarlembaga pemilu adalah ketiga lembaga penyelenggara tersebut tidak menjadi satu kesatuan. Seharusnya ketiganya mengerjakan tiga ruang kewenangan yang saling melengkapi. Dengan kewenangan setiap lembaga yang berlebihan, dikhawatirkan terjadi penyimpangan kekuasaan.

”Ini akan menimbulkan persaingan antarlembaga untuk membuktikan lembaga mana yang paling kuat. Masing-masing ingin menunjukkan kekuatannya,” katanya.

Selain kasus pemberhentian Arief Budiman dari jabatan ketua KPU oleh DKPP, lanjut Feri, diskualifikasi pasangan calon Eva Dwiana-Deddy Amarullah oleh Bawaslu Bandar Lampung merupakan salah satu bentuk lain persaingan antarlembaga. Sebab, Bawaslu bertindak di luar kapasitasnya dengan menjadi eksekutor dan peradilan pemilu.

”Namun, kita juga menyaksikan KPU sering bertahan dengan putusannya, padahal sudah ada rekomendasi dari Bawaslu,” ucapnya. (IQBAL BASYARI)