August 8, 2024

Transparansi Partai Politik Tentukan Pemilu Berintegritas

Pertengahan tahun 2023 lalu, Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei terkait tingkat kepercayaan masyarakat pada lembaga publik, hasilnya partai politik (Parpol) menjadi lembaga paling tidak dipercayai publik. Padahal menurut konstitusi partai politik adalah instrumen demokrasi paling mendasar.

Valina Singka Subekti, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) mengatakan, tujuan awal partai politik diberikan peran sentral dalam konstitusi adalah untuk membangun sistem politik yang lebih demokratis, sebagai penghubung aspirasi politik masyarakat. Namun sayangnya, dengan peran sentral dan wewenang yang besar tidak ada bab khusus dalam konstitusi yang mengatur mengenai partai politik.

“Partai-partai waktu itu mengatakan bahwa partai politik nggak perlu diatur dalam konstitusi, cukup nanti dalam undang-undang supaya lebih fleksibel. Rupanya mereka nggak mau diikat kakinya dalam konstitusi,” kata Valina dalam webinar “Mendorong Akuntabilitas dan Transparansi Partai Politik untuk Pemilu Berintegritas” (14/12).

Menurut Valina perbaikan melalui tata kelola partai politik yang lebih demokratis menjadi hal penting untuk terus didorong. Karena menurutnya, selama ini ada kendala politis yang membuat masukan-masukan mengenai reformasi partai politik tidak sepenuhnya diadopsi dalam undang-undang. Ia menilai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 (UU Partai Politik) masih terlalu normatif dan tidak implementatif.

“Perlu diperbaiki pasal-pasal di dalam undang-undang kepartaian itu, terutama untuk menunjang kinerja partai politik kita,” ujarnya.

Lebih lanjut, reformasi partai politik dianggap penting karena parpol juga berkontribusi terhadap penurunan kualitas demokrasi di Indonesia. Salah satu indikator penilaiannya adalah peran partai dalam parlemen. Namun menurut Valina, penurunan kepercayaan pada partai juga menjadi fenomena umum di negara-negara lain, hal itu berkaitan dengan perkembangan teknologi dan informasi yang kian pesat.

“Partisipasi politik dan pembentukan opini publik itu sudah tergantikan, bahkan lebih efektif dilakukan melalui internet, melalui media sosial, tanpa perlu kehadiran partai,” terangnya.

Selain itu, ia menyebut partai juga tidak mengakar kuat di masyarakat, sehingga tidak mampu menawarkan pilihan program yang sesuai dengan ideologi partai dan kebutuhan masyarakat. Dominasi kekerabatan dalam politik juga mengakibatkan kebijakan publik menjadi kurang berpihak pada kepentingan masyarakat.

“Kita bisa melihat berbagai kebijakan publik dalam bentuk undang-undang, misalnya revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), UU Mineral dan Batubara (Minerba), UU Cipta Kerja, revisi UU Ibu Kota Nusantara (IKN), semuanya minim keterlibatan publik dalam proses pembentukannya,” ujar Valina.

Sementara itu Transparency International Indonesia (TII) sejak bulan Mei sampai Agustus lalu melakukan penilaian terhadap pengurus pusat partai politik pemilik kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sembilan partai dinilai berdasarkan dimensi regulasi internal, struktur dan sumber daya manusia, serta keterbukaan informasi. Hasilnya, setiap dimensi rerata diperoleh 26%-50% skor dengan kecenderungan tidak optimal.

Wawan Suyatmiko Deputi Program TII menerangkan, tidak ada satu partai pun masuk dalam kategori kondisi optimal, skor paling tinggi yang diperoleh partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) pada dimensi keuangan internal hanya memenuhi kategori cenderung maksimal. Sementara delapan partai sisanya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masuk kategori cenderung tidak optimal.

Sementara dalam dimensi struktur dan sumber daya manusia, partai Gerindra dan PKS terkategori cenderung optimal. Partai Golkar, Nasdem, PKB, Demokrat, PAN, PPP masuk kategori cenderung tidak optimal, PDIP terkategori partai paling tidak optimal. Selain itu pada dimensi keterbukaan informasi, Gerindra terkategori cenderung optimal. Lima partai politik lainnya PDIP, Nasdem, PKB, PKS, PAN terkategori cenderung tidak optimal, dan partai yang paling tidak maksimal yaitu; Golkar, Demokrat, dan PPP.

“Untuk itu partai politik harus dikelola dengan prinsip profesionalisme karena sudah diatur dalam regulasi. Keuangan partai juga harus dikelola secara profesional dan memaksimalkan keterbukaan informasi melalui website masing-masing partai,” ujarnya.

Selanjutnya menurut Wawan, pemerintah perlu menindaklanjuti Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) menjadi produk hukum. Melalui itu pemerintah bisa memaksimalkan peran pengawasan terhadap keterbukaan keuangan partai politik yang sudah diamanatkan undang-undang.

“Transparansi dan akuntabilitas keuangan partai politik harus menjadi agenda bersama dalam rangka meningkatkan mutu demokrasi dan pemerintahan yang bebas dari korupsi,” pungkasnya.

Menakar Komitmen Antikorupsi Partai Politik

Kurnia Ramadhana, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, sejak tahun 2004 sampai 2023 terpidana kasus korupsi didominasi dari sektor politik. Sebanyak 40,5% kasus korupsi berasal dari jabatan yang diusung partai politik.

“Berdasarkan pekerjaan, angka korupsi tertinggi adalah anggota legislatif dan kepala daerah. Di mana orang-orang ini adalah orang-orang yang bersinggungan dengan partai politik,” kata Kurnia.

Menurutnya selama ini partai politik selalu merasa menjadi badan privat yang bisa mengatur internal kelembagaan sesuka hati. Hal itu dibuktikan dengan pengangkatan pejabat partai tanpa mempertimbangkan etika publik. Padahal menurutnya, orang yang pernah terjerat praktik korupsi tidak layak mendapatkan tempat di partai politik.

Dalam catatan ICW setidaknya ada 56 mantan terpidana korupsi yang maju dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 2024. Sebanyak 27 calon legislatif (Caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 22 Caleg untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi hingga DPRD Kabupaten/Kota, dan 7 Caleg Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Jika dilihat sebaran partai politik pengusung mantan narapidana korupsi, Partai Golkar menempati urutan pertama dengan total 9 Caleg (DPRD dan DPR). Disusul Partai NasDem dengan 7 Caleg, lalu PKB dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) masing-masing 6 Caleg. Partai Demokrat dan PDIP masing-masing 5 Caleg, Partai Persatuan Indonesia (Perindo) dan PPP 4 Caleg. Sisanya, masing-masing 1 Caleg tersebar di Partai Buruh, Partai Bulan Bintang (PBB), dan PKS.

“Partai politik yang selalu berbicara soal komitmen antikorupsi, ternyata komitmen itu hanya lip service saja. Isu antikorupsi justru dijadikan komoditas politik untuk meraup suara masyarakat,” jelasnya.

Wawan juga menyoroti tidak adanya transparansi dan edukasi partai dari tingkat pusat ke tingkat daerah. Berdasarkan temuannya, di banyak daerah laman resmi partai tidak dimanfaatkan secara maksimal. Bahkan berdasarkan pemantauan TII, di Sulawesi Selatan hanya 5 dari 11 partai politik yang memiliki laman resmi, kemudian ketemuan di Jawa Timur hanya 4 dari 11 partai politik yang memiliki petugas Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).

“Padahal ini adalah instrumen penting yaitu keterbukaan informasi publik yang dimandatkan secara langsung oleh Undang-Undang 14 tahun 2008,” ujarnya.

Pasal 15 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik menyebutkan, bahwa program umum dan kegiatan partai politik dan informasi lain yang berkaitan dengan partai politik wajib disediakan oleh partai politik. Kemudian Pasal 39 Undang-Undang Partai Politik juga mengatakan pengelolaan partai politik dilakukan secara transparan dan akuntabel.

“Dua peraturan perundang-undangan ini seharusnya menjadi pengikat bagi partai politik untuk menyampaikan seluruh informasi yang terkait dengan informasi publik kepada masyarakat,” imbuhnya.

ICW juga menyebut, pada tingkat pengurus pusat hanya dua partai yang memberikan laporan keuangan yang diminta ICW. Selebihnya, tujuh partai yakni; Partai Demokrat, NasDem, PDIP, PKB, Golkar dan PPP tidak memberikan laporan keuangan partai.

“Dari sini dengan mudah kita melihat sejauh mana komitmen antikorupsi dari partai politik yang ada di DPR,” pungkas Wawan.

Transparansi Partai Politik Tentukan Pemilu Berintegritas

Pertengahan tahun 2023 lalu, Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei terkait tingkat kepercayaan masyarakat pada lembaga publik, hasilnya partai politik (Parpol) menjadi lembaga paling tidak dipercayai publik. Padahal menurut konstitusi partai politik adalah instrumen demokrasi paling mendasar.

Valina Singka Subekti, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) mengatakan, tujuan awal partai politik diberikan peran sentral dalam konstitusi adalah untuk membangun sistem politik yang lebih demokratis, sebagai penghubung aspirasi politik masyarakat. Namun sayangnya, dengan peran sentral dan wewenang yang besar tidak ada bab khusus dalam konstitusi yang mengatur mengenai partai politik.

“Partai-partai waktu itu mengatakan bahwa partai politik nggak perlu diatur dalam konstitusi, cukup nanti dalam undang-undang supaya lebih fleksibel. Rupanya mereka nggak mau diikat kakinya dalam konstitusi,” kata Valina dalam webinar “Mendorong Akuntabilitas dan Transparansi Partai Politik untuk Pemilu Berintegritas” (14/12).

Menurut Valina perbaikan melalui tata kelola partai politik yang lebih demokratis menjadi hal penting untuk terus didorong. Karena menurutnya, ada kendala politis yang membuat masukan-masukan mengenai reformasi partai politik tidak sepenuhnya diadopsi dalam undang-undang. Ia menilai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 (UU Partai Politik) masih terlalu normatif dan tidak implementatif.

“Perlu diperbaiki pasal-pasal di dalam undang-undang kepartaian itu, terutama untuk menunjang kinerja partai politik kita,” ujarnya.

Lebih lanjut, reformasi partai politik dianggap penting karena parpol juga berkontribusi terhadap penurunan kualitas demokrasi di Indonesia. Salah satu indikator penilaiannya adalah peran partai dalam parlemen. Namun menurut Valina, penurunan kepercayaan pada partai juga menjadi fenomena umum di negara-negara lain, hal itu berkaitan dengan perkembangan teknologi dan informasi yang kian pesat.

“Partisipasi politik dan pembentukan opini publik itu sudah tergantikan, bahkan lebih efektif dilakukan melalui internet, melalui media sosial, tanpa perlu kehadiran partai,” terangnya.

Selain itu, ia menyebut partai juga tidak mengakar kuat di masyarakat, sehingga tidak mampu menawarkan pilihan program yang sesuai dengan ideologi partai dan kebutuhan masyarakat. Dominasi kekerabatan dalam politik juga mengakibatkan kebijakan publik menjadi kurang berpihak pada kepentingan masyarakat.

“Kita bisa melihat berbagai kebijakan publik dalam bentuk undang-undang, misalnya revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), UU Mineral dan Batubara (Minerba), UU Cipta Kerja, revisi UU Ibu Kota Nusantara (IKN), semuanya minim keterlibatan publik dalam proses pembentukannya,” ujar Valina.

Sementara itu Transparency International Indonesia (TII) sejak bulan Mei sampai Agustus lalu melakukan penilaian terhadap pengurus pusat partai politik pemilik kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sembilan partai dinilai berdasarkan dimensi regulasi internal, struktur dan sumber daya manusia, serta keterbukaan informasi. Hasilnya, setiap dimensi rerata diperoleh 26%-50% skor dengan kecenderungan tidak optimal.

Wawan Suyatmiko Deputi Program TII menerangkan, tidak ada satu partai pun masuk dalam kategori kondisi optimal, skor paling tinggi yang diperoleh partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) pada dimensi keuangan internal hanya memenuhi kategori cenderung maksimal. Sementara delapan partai sisanya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masuk kategori cenderung tidak optimal.

Sementara dalam dimensi struktur dan sumber daya manusia, partai Gerindra dan PKS terkategori cenderung optimal. Partai Golkar, Nasdem, PKB, Demokrat, PAN, PPP masuk kategori cenderung tidak optimal, PDIP terkategori partai paling tidak optimal. Selain itu pada dimensi keterbukaan informasi, Gerindra terkategori cenderung optimal. Lima partai politik lainnya PDIP, Nasdem, PKB, PKS, PAN terkategori cenderung tidak optimal, dan partai yang paling tidak maksimal yaitu; Golkar, Demokrat, dan PPP.

“Untuk itu partai politik harus dikelola dengan prinsip profesionalisme karena sudah diatur dalam regulasi. Keuangan partai juga harus dikelola secara profesional dan memaksimalkan keterbukaan informasi melalui website masing-masing partai,” ujarnya.

Selanjutnya menurut Wawan, pemerintah perlu menindaklanjuti Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) menjadi produk hukum. Melalui itu pemerintah bisa memaksimalkan peran pengawasan terhadap keterbukaan keuangan partai politik yang sudah diamanatkan undang-undang.

“Transparansi dan akuntabilitas keuangan partai politik harus menjadi agenda bersama dalam rangka meningkatkan mutu demokrasi dan pemerintahan yang bebas dari korupsi,” pungkasnya.

Menakar Komitmen Antikorupsi Partai Politik

Kurnia Ramadhana, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, sejak tahun 2004 sampai 2023 terpidana kasus korupsi didominasi dari sektor politik. Sebanyak 40,5% kasus korupsi berasal dari jabatan yang diusung partai politik.

“Berdasarkan pekerjaan, angka korupsi tertinggi adalah anggota legislatif dan kepala daerah. Di mana orang-orang ini adalah orang-orang yang bersinggungan dengan partai politik,” kata Kurnia.

Menurutnya selama ini partai politik selalu merasa menjadi badan privat yang bisa mengatur internal kelembagaan sesuka hati. Hal itu dibuktikan dengan pengangkatan pejabat partai tanpa mempertimbangkan etika publik. Padahal menurutnya, orang yang pernah terjerat praktik korupsi tidak layak mendapatkan tempat di partai politik.

Dalam catatan ICW setidaknya ada 56 mantan terpidana korupsi yang maju dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 2024. Sebanyak 27 calon legislatif (Caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 22 Caleg untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi hingga DPRD Kabupaten/Kota, dan 7 Caleg Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Jika dilihat sebaran partai politik pengusung mantan narapidana korupsi, Partai Golkar menempati urutan pertama dengan total 9 Caleg (DPRD dan DPR). Disusul Partai NasDem dengan 7 Caleg, lalu PKB dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) masing-masing 6 Caleg. Partai Demokrat dan PDIP masing-masing 5 Caleg, Partai Persatuan Indonesia (Perindo) dan PPP 4 Caleg. Sisanya, masing-masing 1 Caleg tersebar di Partai Buruh, Partai Bulan Bintang (PBB), dan PKS.

“Partai politik yang selalu berbicara soal komitmen antikorupsi, ternyata komitmen itu hanya lip service saja. Isu antikorupsi justru dijadikan komoditas politik untuk meraup suara masyarakat,” jelasnya.

Wawan juga menyoroti tidak adanya transparansi dan edukasi partai dari tingkat pusat ke tingkat daerah. Berdasarkan temuannya, di banyak daerah laman resmi partai tidak dimanfaatkan secara maksimal. Bahkan berdasarkan pemantauan TII, di Sulawesi Selatan hanya 5 dari 11 partai politik yang memiliki laman resmi, kemudian ketemuan di Jawa Timur hanya 4 dari 11 partai politik yang memiliki petugas Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).

“Padahal ini adalah instrumen penting yaitu keterbukaan informasi publik yang dimandatkan secara langsung oleh Undang-Undang 14 tahun 2008,” ujarnya.

Pasal 15 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik menyebutkan, bahwa program umum dan kegiatan partai politik dan informasi lain yang berkaitan dengan partai politik wajib disediakan oleh partai politik. Kemudian Pasal 39 Undang-Undang Partai Politik juga mengatakan pengelolaan partai politik dilakukan secara transparan dan akuntabel.

“Dua peraturan perundang-undangan ini seharusnya menjadi pengikat bagi partai politik untuk menyampaikan seluruh informasi yang terkait dengan informasi publik kepada masyarakat,” imbuhnya.

ICW juga menyebut, pada tingkat pengurus pusat hanya dua partai yang memberikan laporan keuangan yang diminta ICW. Selebihnya, tujuh partai yakni; Partai Demokrat, NasDem, PDIP, PKB, Golkar dan PPP tidak memberikan laporan keuangan partai.

“Dari sini dengan mudah kita melihat sejauh mana komitmen antikorupsi dari partai politik yang ada di DPR,” pungkas Wawan.