September 13, 2024

Tren Partisipasi Pemilih Pemilu pada Masa Pandemi Turun

Partisipasi pemilih dalam Pilkada Serentak 2020 ini diprediksi menurun karena dilaksanakan saat laju penularan Covid-19 masih meningkat. Di sejumlah negara yang sudah melakukan pemilihan umum, tren partisipasi politik juga menurun.

Peneliti International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Adhy Aman, dalam diskusi Konferensi Nasional Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang diadakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Rabu (14/10/2020), mengatakan, dari 40 negara yang sudah menyelenggarakan pemilu, terjadi tren penurunan partisipasi pemilih rata-rata 10 persen. Di negara Togo, misalnya, partisipasi pemilih menurun dari 90 persen ke angka 65 persen. Di Burundi, angka partisipasi pemilih turun dari 85 persen ke 75 persen. Adapun di Polandia, partisipasi pemilih turun dari 65 persen ke 55 persen.

”Dari 40 negara yang melakukan pemilu pada masa pandemi, memang tidak semua partisipasi pemilihnya menurun. Namun, jika di rata-rata, lebih banyak yang menurun partisipasi politiknya pada kisaran angka rata-rata turun 10 persen,” ujar Adhy.

Dari 40 negara yang sudah menyelenggarakan pemilu, terjadi tren penurunan partisipasi pemilih rata-rata 10 persen.

Adhy menjelaskan, ada berbagai faktor yang memengaruhi partisipasi publik tersebut. Salah satunya adalah bagaimana menyelenggarakan pemilu yang berintegritas pada masa pandemi. Pemilu berintegritas adalah pemilu yang berdasarkan atas prinsip-prinsip demokratis, hak pilih universal, dan kesetaraan politik yang sesuai dengan standar internasional. Pemilu berintegritas juga mensyaratkan penyelenggara bersifat profesional, tidak memihak, dan transparan dalam persiapan ataupun pelaksanaan.

Untuk mewujudkan pemilu berintegritas, hal itu merupakan tantangan tersendiri sebab ada banyak halangan akibat pandemi. Misalnya, pembatasan kegiatan bergerak dan berkumpul, risiko kesehatan, baik penyelenggara maupun pemilih, ataupun komplikasi operasional dan berbagai keterlambatan.

Secara teknis, pelaksanaan pilkada pada masa pandemi juga menghadapi tantangan sulit. Misalnya, batasan berkampanye, batasan akses pemilih, hambatan terhadap transparansi, risiko delegitimasi hasil pemilu, hingga tekanan dari sisi administrasi dan keuangan.

”Jika ingin partisipasi pemilih tetap tinggi, syaratnya penyelenggara pemilu harus bisa membuat pemilu tetap berintegritas sekalipun di tengah pandemi,” kata Adhy.

Jika ingin partisipasi pemilih tetap tinggi, syaratnya penyelenggara pemilu harus bisa membuat pemilu tetap berintegritas sekalipun di tengah pandemi.

Untuk menciptakan pemilu berintegritas itu, Adhy mengutip pendapat dari peneliti Internasional IDEA, yaitu Toby James dan Sead Alihodzic. Menurut pendapat mereka, pemilu berintegritas harus memberikan ruang bagi masyarakat untuk bermusyawarah. Rakyat harus diberi kesempatan untuk membulatkan preferensinya. Musyawarah yang luas harus diberikan tidak hanya saat menentukan pilkada dilanjutkan atau ditunda, tetapi juga saat merumuskan aturan, seperti sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan.

Selain itu, untuk mewujudkan pemilu berintegritas juga harus ada iklim kesetaraan dalam kontestasi politik. Situasi pandemi dinilai lebih menguntungkan petahana karena aksi nyata mereka dalam melawan pandemi. Petahana juga leluasa menggunakan uang negara dan sumber daya untuk berkampanye secara tidak langsung. Tak kalah penting, pemilu berintegritas juga memberikan kesetaraan dalam partisipasi. Pemilih harus mendapatkan jaminan keamanan dan kesehatan saat memberikan suaranya.

”Di situ peran penyelenggara pemilu sangat penting karena mereka tetap harus menciptakan pemilu yang berintegritas meski di tengah pandemi. Ini sangat bergantung pada aturan main yang jelas dan pasti,” ucap Adhy.

Situasi pandemi dinilai lebih menguntungkan petahana karena aksi nyata mereka dalam melawan pandemi. Petahana juga leluasa menggunakan uang negara dan sumber daya untuk berkampanye secara tidak langsung.

Untuk menciptakan aturan main yang jelas dan memiliki kepastian hukum, Adhy mengatakan, hal itu juga mensyaratkan partisipasi dari rakyat. Perubahan aturan pemilu pada masa pandemi idealnya tetap dilakukan dengan proses deliberatif dan transparan. Aturan main harus jelas, memberikan kepastian hukum, dengan prosedur hukum yang efektif.

Metode pemilihan alternatif

Sementara itu, pelajaran yang bisa diambil dari negara lain yang dianggap berhasil melakukan pemilu pada masa pandemi adalah pemilu yang diselenggarakan pada masa wabah sulit, mahal, dan berat. Selain itu, pemilu juga membutuhkan kerangka aturan yang pasti, sarana dan prasarana yang cukup dan tepat waktu, serta iklim politik yang mendukung. Hal itu, kata Adhy, sangat bergantung pada kemampuan dan kondisi daerah yang berbeda-beda.

”Di Korsel dan Australia, pemilu pada masa pandemi bisa berhasil, salah satunya karena ada aturan metode pemilihan alternatif. Ini sangat menentukan angka partisipasi pemilih,” kata Adhy.

Di Korsel, misalnya, ada metode pemungutan suara awal (early voting system), pemungutan suara lewat pos, ataupun kotak suara keliling. Di Indonesia, aturan kotak suara keliling baru diterapkan untuk mereka yang sakit sehingga berhalangan datang ke TPS. Adapun, jika diterapkan di Indonesia, metode kotak suara keliling masih sulit jika melihat kondisi geografis wilayah yang berbeda-beda. Di wilayah Papua yang berkontur pegunungan, misalnya, kotak suara keliling akan sulit didistribusikan.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum, Evi Novida Ginting, mengatakan, sejak diputuskan bahwa pilkada diselenggarakan pada Desember 2020, KPU telah merancang peraturan, terutama untuk protokol kesehatan. Petugas penyelenggara pemilu, misalnya, dites cepat sebelum bertugas melakukan verifikasi faktual lapangan. Selain itu, KPU juga membuat aturan tentang kampanye yang disesuaikan dengan protokol kesehatan. Kampanye lebih diarahkan ke kampanye daring. Kegiatan pertemuan tatap muka dibatasi maksimal 50 orang. Konser musik, bazar, dan kegiatan lain yang memicu kerumunan telah dilarang.

Adapun pada saat pemungutan suara, KPU juga sudah menyiapkan aturan yang menyesuaikan dengan protokol kesehatan. Pemilih akan diatur jam kedatangannya agar tidak terjadi penumpukan pemilih pada jam yang sama. Pemberitahuan waktu pemilihan itu akan dibagikan melalui formulir pemberitahuan (C6). Selain itu, KPU juga sudah mengurangi kapasitas maksimal tempat pemungutan suara (TPS) dari 800 orang menjadi 500 orang.

”Dengan pembagian waktu pemungutan suara ini, kami berharap tidak ada lagi penumpukan pemilih pada jam yang padat, seperti pukul 08.00-10.00,” kata Evi.

Untuk rekapitulasi suara, KPU juga sudah menyiapkan aplikasi Sirekap yang akan menghasilkan salinan digital hasil pemungutan suara di TPS. Dengan aplikasi Sirekap ini, rekapitulasi penghitungan suara berjenjang di tingkat kelurahan dan kecamatan dihapuskan. Sebagai gantinya, hasil pemungutan suara langsung direkap di tingkat kabupaten. Oleh karena itu, meskipun pilkada digelar pada masa pandemi, KPU optimistis partisipasi pemilih bisa mencapai angka 77,5 persen.

Anggota Bawaslu, M Afifuddin, mengatakan, tantangan melaksanakan pemilu berintegritas pada masa pandemi memang cukup berat. Sejumlah tantangan itu, di antaranya, adalah netralitas aparatur sipil negara (ASN), penyalahgunaan anggaran daerah, materi kampanye, politik uang, dan gangguan keamanan.

Tantangan melaksanakan pemilu berintegritas pada masa pandemi memang cukup berat.

Dari temuan Bawaslu hingga hari kesepuluh kampanye pun, aturan KPU tentang optimalisasi kampanye daring belum terlaksana. Hanya 37 daerah atau baru 14 persen dari total 270 daerah yang melaksanakan pilkada sudah melakukan kampanye daring. Sisanya, sebanyak 233 atau 86 persen daerah belum melaksanakan kampanye daring. Pertemuan tatap muka masih menjadi primadona di kalangan pasangan calon.

”Selama 10 hari kampanye, Bawaslu menemukan ada 9.189 kampanye tatap muka di 256 kabupaten/kota. Yang melanggar protokol kesehatan sebanyak 237 di 59 kabupaten/kota,” kata Afifuddin.

Afifuddin mengatakan, persoalan pelanggaran protokol kesehatan dalam kampanye ini menjadi perhatian serius dari Bawaslu. Itu karena pelanggaran protokol kesehatan dapat berdampak serius bagi upaya pencegahan penularan Covid-19. Di daerah yang ditemukan pelanggaran protokol kesehatan saat kampanye, catatan Bawaslu, ada 13 kabupaten atau kota yang menunjukkan tren pasien positif Covid-19 meningkat. Apabila tren pelanggaran itu terus naik, Bawaslu khawatir pilkada dapat menciptakan kluster baru penularan Covid-19. (DIAN DEWI PURNAMASARI)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/10/15/tren-partisipasi-pemilih-pemilu-di-masa-pandemi-turun/