August 8, 2024

Ubah Paradigma Penanganan Politik Uang

Mahkamah Konstitusi dan Badan Pengawas Pemilu memiliki perbedaan indikator dalam menangani pelanggaran politik uang. MK mengacu pada seberapa besar praktik tersebut mampu memengaruhi pilihan pemilih dan memengaruhi hasil rekapitulasi suara. Sementara Bawaslu menilai, pembuktian politik uang cukup melalui peristiwa pemberian uang atau menjanjikan uang.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kahfi Adlan, dalam diskusi virtual bertajuk ”Refleksi Perselisihan Hasil Pilkada 2020”, Selasa (6/4/2021), mengatakan, jika berpegang pada prinsip pemilu atau pilkada yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil), perbedaan pendekatan itu tidak akan terjadi.

Dari perkara-perkara yang telah diperiksa dan diputus oleh MK, ia melihat, tidak ada putusan yang berkaitan dengan persoalan pra-pemilihan, salah satunya politik uang. Padahal, persoalan ini sangat mencederai prinsip pemilu.

Menurut Kahfi, dalil pelanggaran politik uang di MK sulit dibuktikan karena indikator pembuktiannya sangat berat. Selain harus membuktikan adanya pelanggaran, pemohon juga harus membuktikan dampak pelanggaran itu terhadap perolehan suaranya.

”Kalau politik uang ini, yang sulit dibuktikan oleh pemohon adalah pengaruh pada perolehan suaranya. Mahkamah sering kali melihat di dalam satu tempat pemungutan suara yang ada pelanggaran tersebut, ternyata di sana malah pemohon yang menang. Jadi, itu sudah menegasikan dalil permohonan terutama pelanggaran di pra-pemilihan, khususnya soal politik uang,” ujar Kahfi.

Diskusi yang diselenggarakan Perludem ini juga dihadiri oleh anggota Bawaslu Divisi Penindakan, Ratna Dewi Pettalolo; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso; serta peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil.

Perkara terkait politik uang yang masuk ke MK di Pilkada 2020, misalnya, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Dalam putusannya, mahkamah menyatakan, ada batasan yang sangat rigid terhadap dalil di luar hasil penghitungan suara. Batasan itu adalah tidak hanya soal pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), tetapi juga memengaruhi perolehan suara masing-masing pasangan calon.

Fadli Ramadhanil menjelaskan, dalam putusan itu, pemohon yang mendalilkan politik uang mesti membuktikan bahwa dalil tersebut mampu memengaruhi pilihan pemilih di TPS dan/atau berpengaruh pada hasil rekapitulasi suara. Jika di tempat dalil politik uang tersebut yang menang adalah pemohon, maka mahkamah berpandangan dalil politik uang tidak beralasan menurut hukum.

”Ini tentu tidak mudah memastikan politik uang bisa memengaruhi pilihan politik pemilih dan perolehan suara di tingkat rekapitulasi suara. Sebab, di situasi dan titik tertentu, kita juga berhadapan pada asas kerahasiaan pemilih dalam menentukan pilihan. Untuk memeriksa beberapa pemilih terpengaruh pada pemberian uang, ini tentu jadi tantangan yang besar,” tutur Fadli.

Berbeda dengan sikap Bawaslu terhadap beberapa kasus politik uang. Menurut Fadli, di beberapa kasus, pembuktian politik uang tidak perlu sampai pada memastikan pilihan pemilih tetapi cukup pada uang yang diberikan kepada pemilih dengan tujuan tertentu.

Fadli berpandangan, sikap Bawaslu tersebut lebih masuk akal. Lagi pula, jika uang itu diberikan, misalnya, di pertengahan masa kampanye, sementara masih ada waktu sekian hari menuju hari pemungutan suara, maka tidak mungkin harus menunggu sampai si pemilih memberikan hak suaranya terlebih dahulu lalu diproses hukum.

”Jadi, paradigma penegakan hukum politik uang itu memang harus lebih berani untuk menindak terhadap pelaku-pelaku pelanggaran pemberian uang tunai kepada pemilih. Pendekatan MK ke depan perlu agak lebih progresif karena kalau ingin memastikan uang itu diberikan dan kemudian pemilih terpengaruh terhadap pemberian uang itu, kan, tidak mungkin karena ada asas kerahasiaan yang juga dipertimbangkan,” ucapnya.

Sulit pembuktian

Ratna Dewi Pettalolo mengakui, kendala besar yang dihadapi Bawaslu dalam menangani pelanggaran politik uang adalah soal pembuktian.

Dari beberapa temuan atau laporan yang diproses di Bawaslu sampai putusan inkrah, lanjut Dewi, itu tidak bisa dikaitkan dengan paslon. Sebab, di undang-undang tidak mengatur tentang penyertaan dalam perbuatan politik uang.

”Jadi, terlepas dari paslon sehingga yang banyak diproses dalam penanganan pelanggaran terkait politik uang justru tidak terkait langsung dengan paslon tetapi masyarakat biasa sampai pada putusan pengadilan inkrah. Ini memang yang jadi kelemahan,” kata Dewi.

Pendekatan di Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) pun bukan lagi perbuatan materiilnya, tetapi perbuatan formil. Artinya, jika sudah terjadi peristiwa pemberian uang atau menjanjikan uang, maka menurut penilaian di Sentra Gakkumdu itu sudah memenuhi unsur sebagaimana diatur dalam pasal pidana di undang-undang pemilihan.

Terkait penanganan pelanggaran politik uang yang TSM, kata Dewi, ini tidak mudah juga untuk dibuktikan, baik unsur terstruktur, sistematis, maupun masifnya. Secara khusus, ia menyebut, unsur paling sulit dibuktikan adalah unsur masif karena paling sedikit politik uang terjadi di 50 persen dari jumlah daerah yang menjadi lokasi pemilihan.

Karena itu, menurut dia, persoalan TSM perlu diatur kembali. Misal, masalah politik uang bisa dikenakan apabila cukup memenuhi salah satu unsur.

”Padahal, jikapun tidak memenuhi syarat 50 persen, kalau sudah terjadi politik uang, ya, itu adalah sebuah kejahatan. Ini yang menjadi masalah pada proses pemeriksaan sehingga ke depan memang perlu diatur bahwa unsur ini tidak bisa dinilai kumulatif, tetapi salah satu unsurnya saja terpenuhi, maka itu bisa diproses untuk kemudian diberi sanksi didiskualifikasi,” ucap Dewi.

Tiga aspek

Topo Santoso menambahkan, setidaknya ada tiga aspek dalam politik uang. Pertama, politik uang sebagai tindak pidana. Itu sanksinya adalah pidana. Kekuatan pembuktiannya pun harus terbukti secara sah dan meyakinkan (beyond a reasonable doubt), serta tidak harus terkait dengan hasil pemilihan pemilu.

Kedua, politik uang sebagai pelanggaran administratif yang TSM dan bisa berakibat pada diskualifikasi calon. Ini menjadi otoritas dari Bawaslu untuk memeriksa dan memberikan putusan yang harus dijalankan Komisi Pemilihan Umum.

”Nah, di sini agak unik karena dia sebagai suatu pelanggaran administratif berarti, kan, tingkat pembuktiannya sebetulnya lebih rendah daripada sebagai tindak pidana. Dan juga menurut hemat saya, tidak harus memengaruhi hasil pemilu, karena dia yang paling penting adalah si orang yang diajukan sebagai pelaku pelanggaran administratif itu telah melakukan pelanggaran administratif. Sehingga, kalau ukurannya seperti TSM dalam perselisihan hasil pemilihan di MK, itu agak berat,” kata Topo.

Ketiga, politik uang sebagai dasar gugatan hasil pemilihan di MK. Itu harus memengaruhi hasil. Namun, yang dimaksud dengan berpengaruh pada hasil bukan berarti harus dibuktikan bahwa si A memberikan uang dan kemudian orang yang diberikan itu memilih sesuai dengan yang dikehendaki.

”Bukan begitu pembuktiannya. Karena itu sulit untuk dibuktikan. Di negara mana pun juga tidak begitu cara membuktikannya. Tetapi, yang terpenting terbukti bahwa ada tindakan politik uang di beberapa tempat dan secara perhitungan pemilihan bisa memengaruhi hasil,” tutur Topo. (NIKOLAUS HARBOWO)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/04/06/ubah-paradigma-penanganan-politik-uang/