August 8, 2024

Wacana Tunda Pemilu dengan Amendemen UUD 1945 Hanya Akomodasi Kepentingan Pragmatis

Wacana penundaan pemilu melanggar prinsip konstitusionalisme, sekalipun upaya politik untuk mewujudkan hal itu dapat saja dilakukan dengan mengubah konstitusi. Namun, secara mendasar perubahan konstitusi itu semestinya tidak hanya dilakukan untuk memenuhi kepentingan politik sesaat yang sempit, tetapi memikirkan nasib demokratisasi, dan kebutuhan strategis nasional dalam jangka panjang.

Wacana penundaan pemilu kian kencang bergulir setelah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan adanya penundaan pemilu selama satu atau dua tahun. Alasannya, diperlukan waktu untuk pemulihan ekonomi pascapandemi (Kompas, 24/2/2022).

Lima dari sembilan partai politik di parlemen telah menolak wacana itu, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Namun, ada tiga partai mendukung, yaitu PKB, Golkar, dan Partai Amanat Nasional (PAN). Satu partai lainnya, Gerindra, belum membahas wacana itu secara formal di internal partai.

Kini, berkembang wacana untuk mengubah konstitusi guna menjadikan penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden itu konstitusional. Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Fraksi PPP Arsul Sani mengatakan, secara formal, pimpinan MPR yang terdiri atas berbagai fraksi belum pernah membicarakan soal wacana penundaan Pemilu 2024.

”Yang ada tentu kami pimpinan MPR mengikuti wacana yang ada di ruang publik dan media dan kemudian saling memberikan komentar di WAG (Whatsapp Group) internal. Kalau soal konten komentarnya yatentu sesuai dengan sikap partai masing-masing,” katanya, Senin (28/2/2022) di Jakarta.

Arsul mengatakan, sekalipun penundaan pemilu memang bisa dilakukan dengan amendemen konstitusi oleh MPR, secara moral tidak layak bilaman amendemen untuk memperpanjang jabatan atau menunda pemilu itu tidak dilakukan dengan konsultasi publik. Artinya, harus ada pertimbangan dari publik mengenai apakah rakyat secara keseluruhan setuju dengan penundaan pemilu sehingga harus dilakukan amendemen terhadap ketentuan pemilu tersebut.

Sekalipun penundaan pemilu memang bisa dilakukan dengan amendemen konstitusi oleh MPR, secara moral tidak layak bilamana amendemen untuk memperpanjang jabatan atau menunda pemilu itu tidak dilakukan dengan konsultasi publik.

”Jika hanya mengandalkan kekuasaan formal MPR untuk mengubah UUD NRI 1945, maka meski syarat Pasal 37 UUD bisa dipenuhi, menurut hemat saya ini kesan abuse of power oleh MPR tidak akan bisa dihindari,” katanya, Senin (28/2/2022) di Jakarta.

UUD 1945 juga tegas mengatakan, pemegang kedaulatan di Indonesia adalah rakyat. Menunda pemilu itu berarti menunda hak konstitusional pemegang kedaulatan, yakni rakyat, untuk memilih pengemban mandat untuk masa lima tahun yang akan datang.

”Jadi, bagi saya, maka tidak cukup hanya mengandalkan landasan formal Pasal 37 UUD NRI 1945, tanpa diikuti dengan bertanya kepada rakyat apakah mereka setuju hak konstitusionalnya untuk memilih pemegang mandat lima tahunan, baik di rumpun eksekutif maupun legislatif, ditunda,” katanya.

Konstitusionalisme dilanggar

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti mengatakan, sekalipun selalu ada potensi untuk melakukan amendemen konstitusi, sebaiknya hal itu tidak dilakukan hanya untuk mengakomodasi kepentingan elite politik tertentu, atau kepentingan kekuasaan semata. Amendemen konstitusi harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan mempertimbangkan kepentingan rakyat banyak, generasi mendatang, dan prinsip-prinsip konstitusionalisme, salah satunya dengan membatasi masa jabatan pemerintahan eksekutif ataupun legislatif.

”Pertama, UUD 1945 menghendaki adanya pembatasan masa jabatan. Wacana penundaan pemilu melanggar prinsip yang diusung oleh konstitusi. Prinsip lainnya ialah kedaulatan rakyat atau demokrasi. Selain itu, ada prinsip negara hukum yang dianut oleh konstitusi,” kata Susi.

Dengan memperpanjang masa jabatan presiden, ada prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip konstitusionalisme, yakni pembatasan masa jabatan, yang dilanggar. Perpanjangan masa jabatan juga menimbulkan kompleksitas lanjutan bagi sistem ketatanegaraan. Sebab, masa jabatan lainnya, seperti MPR, DPR, dan DPD, juga akan ikut diperpanjang.

Jika pemilu ditunda, sarana satu-satunya dalam pengisian jabatan eksekutif dan legislatif tidak bisa dilakukan oleh rakyat. Padahal, itulah satu-satunya yang dimiliki oleh rakyat, kedaulatan itu di tangan mereka. Ketika itu dirampas, maka patut dipertanyakan apakah kita masih merupakan negara demokratis.

”Jika pemilu ditunda, sarana satu-satunya dalam pengisian jabatan eksekutif dan legislatif tidak bisa dilakukan oleh rakyat. Padahal, itulah satu-satunya yang dimiliki oleh rakyat, kedaulatan itu di tangan mereka. Ketika itu dirampas, maka patut dipertanyakan apakah kita masih merupakan negara demokratis,” katanya.

Sekalipun upaya mencari celah untuk membenarkan tindakan perpanjangan masa jabatan itu bisa saja dilakukan dengan mengamendemen konstitusi, lanjut Susi, konstitusi yang dilahirkannya hanya akan menjadi konstitusi tanpa konstitusionalisme. Sebab, konstitusi dijadikan sarana semata untuk melegalkan perpanjangan kekuasaan.

Amendemen konstitusi pun seharusnya dilakukan dengan landasan dan pertimbangan kuat, tidak semata-mata untuk memperpanjang kekuasaan. “Harus dipertimbangkan apakah rakyat membutuhkan ini semua, dan bagaimana generasi mendatang menyikapi langkah ini, dan apakah ini sungguh diperlukan demi kebaikan bangsa dan negara, atau sekadar untuk memenuhi kepentingan kekuasaan,” ucapnya.

Pemilu lima tahunan pun telah menjadi agenda rutin Indonesia selama ini. Tidak ada alasan apa pun untuk menunda agenda ketatanegaraan yang rutin dilakukan. Sebab, pemilu merupakan puncak agenda kenegaraan yang menjadi refleksi bagi kedaulatan tertinggi di tangan rakyat.

”Alasan ekonomi tidak bisa jadi pembenar penundaan pemilu. Sebab, di negara-negara demokratis mana pun, agenda rutin itu selalu dilakukan dalam situasi apa pun. Wacana penundaan pemilu merupakan gerakan politik yang membahayakan konstitusionalisme,” kata Susi.

Pemilu periodik

Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Airlangga Ramlan Surbakti mengatakan, perpanjangan masa jabatan eksekutif dan legislatif akan membuat dua pilar demokrasi itu kehilangan legitimasi atau keabsahannya. Sebab, Konstitusi dan UU Pemilu telah mengatur adanya pemilu lima tahun sekali. Artinya, ada prinsip periodisasi dalam penyelenggaraan pemilu yang dilanggar jika perpanjangan masa jabatan ini direalisasikan.

”Prinsip periodik itu artinya pejabat negara hanya menjabat selama lima tahun. Jika selama lima tahun itu dia dipercaya oleh rakyat, maka dalam lima tahun mendatang ia bisa dipilih kembali. Kalau tidak dipercaya oleh rakyat, maka dipilih orang lain sesuai dengan kehendak rakyat,” katanya.

Kalau masa jabatan itu lebih dari lima tahun sebagaimana diatur UU dan konstitusi, pejabat negara itu tidak memiliki legitimasi. Pejabat negara itu menjalankan kekuasaan tidak secara sah (legitimate) sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian politik dan hukum.

Ramlan mengatakan, ini menjadi ujian bagi demokratisasi di Indonesia. Jika Indonesia bisa melalui wacana penundaan pemilu ini dengan kembali sepenuhnya kepada ketentuan konstitusi, demokrasi di Indonesia akan bertahan. Namun, jika wacana ini terus bergulir dan berkembang menjauh dari konstitusi, keberlanjutan demokrasi di Indonesia dipertanyakan.

Prinsip periodik itu artinya pejabat negara hanya menjabat selama lima tahun. Jika selama lima tahun itu dia dipercaya oleh rakyat, maka dalam lima tahun mendatang ia bisa dipilih kembali. Kalau tidak dipercaya oleh rakyat, maka dipilih orang lain sesuai dengan kehendak rakyat.

Ramlan menilai Presiden Joko Widodo perlu sekali lagi menegaskan sikapnya untuk mengakhiri wacana perpanjangan masa jabatan atau penundaan pemilu ini.

Revolusi sosial

Secara terpisah, Ketua DPD La Nyalla Mattalitti mengatakan, wacana penundaan pemilu berpotensi memicu revolusi sosial dari kalangan rakyat bawah. Sebab, pemilu menjadi satu-satunya sarana bagi rakyat mengevaluasi perjalanan dan kepemimpinan nasional selama ini.

”Sekarang mungkin rakyat masih diam, masih punya batas kesabaran melihat tingkah pola elite politik. Tapi kalau sudah kelewatan, bisa pecah revolusi sosial. Pemilik negara ini bisa marah dan para elite politik bisa ditawur oleh rakyat,” kata La Nyalla, Senin, dalam keterangan tertulisnya.

Lagi pula, Presiden Joko Widodo telah beberapa kali menyatakan penolakannya untuk menjadi presiden tiga periode atau memperpanjang masa jabatannya. ”Kita tidak boleh menjalankan negara ini dengan suka-suka, apalagi ugal-ugalan dengan melanggar konstitusi atau mencari celah untuk mengakali konstitusi,” katanya. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/02/28/wacana-menunda-pemilu-dengan-amandemen-uud-1945-hanya-akomodir-kepentingan-politik-sesaat