August 8, 2024

Waspadai Politik Identitas

Sentimen primordial mulai muncul dalam Pilkada 2018 untuk menarik pemilih. Namun, penggunaan sentimen tersebut dapat mengancam integrasi bangsa dan  demokrasi di Indonesia.    

JAKARTA, KOMPAS–Pilkada 2018, hari ini, memasuki tahapan pengambilan nomor urut. Meski masa kampanye baru dimulai 15 Februari, tensi politik mulai meningkat di sejumlah daerah. Sentimen primordial, baik berbasis suku, agama, kedaerahan, maupun etnis, mulai muncul di sejumlah daerah untuk menyerang pasangan calon lain.

Adanya kandidat yang dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai pasangan calon juga memunculkan dinamika politik di sejumlah daerah.

Hingga Senin (12/2) sekitar pukul 22.00, ada enam pasangan bakal calon yang dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai pasangan calon. Salah satunya adalah pasangan Jopinus Ramli (JR) Saragih dan Ance Selian yang mendaftar di Pilkada Sumatera Utara. Legalisasi salinan ijazah SMA JR Saragih dinyatakan tidak sah.

Ketua KPU Sumut Mulia Banuarea menjelaskan, pada masa pendaftaran, 10 Januari, mereka telah menerima salinan ijazah SMA JR Saragih yang telah dilegalisasi Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. ”Kami cek tempat sekolah beliau, SMA Iklas Prasasti di Jakarta sudah tutup sejak tahun 1994. Kemudian kami minta klarifikasi dari Disdik Jakarta,” katanya.

Menurut Mulia, Disdik Jakarta lalu memberikan jawaban. ”Sampai dengan saat ini, Dinas Pendidikan DKI Jakarta tidak pernah melegalisasi atau mengesahkan ijazah/STTB SMA atas nama Jopinus Saragih G,” kata Mulia membacakan surat dari Disdik Jakarta.

Namun, JR Saragih pun menunjukkan ijazah, legalisasi salinan ijazah, keputusan Mahkamah Agung (MA) tentang keabsahan ijazah, dan surat keterangan dari Disdik Jakarta. ”Saya legalisir ijazah saya tanggal 19 Oktober 2017, ditandatangani Kepala Dinas Pendidikan Jakarta,” katanya.

Menurut JR Saragih, keabsahan ijazahnya sudah pernah dipersoalkan saat dia menjadi calon Bupati Simalungun tahun 2015. MA menyatakan, ijazahnya asli. ”Saya juga lolos dua kali sebagai calon Bupati Simalungun. Mengapa sekarang saya tidak lolos?” katanya. JR Saragih akan mengajukan sengketa atas putusan KPU Sumut itu ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sumut.

Laporan

Saat ini, Bawaslu sudah menerima laporan penyebaran spanduk-spanduk bermuatan agama terkait Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Barat. Di media sosial, seperti Facebook dan Twitter, juga mulai muncul unggahan terkait pilkada di beberapa daerah yang menggunakan sentimen kedaerahan ataupun agama.

”Di Kalbar sudah ada spanduk berbau agama. Oleh karena belum masuk masa kampanye, kami antisipasi dengan mengirim surat berisi imbauan. Bisa dikira-kira (dari isinya) spanduk datangnya dari mana,” kata anggota Bawaslu, M Afifuddin.

Calon Gubernur Sumut Edy Rahmayadi juga pernah menyinggung soal putra daerah dan nonputra daerah. Namun, Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Sumut Irham Buana Nasution, yang merupakan partai pengusung Edy, mengatakan, pernyataan Edy itu tidak dimaksudkan untuk memunculkan isu dikotomi putra daerah.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Yandri Susanto mengatakan, identitas suku, agama, ras, dan golongan dapat efektif untuk menjaring pemilih di pilkada. ”Politik identitas pasti akan tetap dipakai. Namun, kalau dipakai, sebaiknya tidak sampai mengubah kualitas hasil demokrasi,” katanya.

Afifuddin mengatakan, penggunaan politik identitas menjadi persoalan jika calon menonjolkan identitasnya lalu menjelekkan identitas calon lainnya.

Penggunaan isu primordial yang mengeluarkan komponen lain dalam masyarakat untuk memobilisasi suara pemilih, menurut Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra, tidak sehat bagi integrasi bangsa. Isu itu akan menimbulkan diskriminasi terhadap warga negara lain dan ini bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

”Ini juga bisa memperkuat potensi disintegrasi dalam masyarakat. Jika diskriminatif terjadi dalam skala tinggi, maka bisa menimbulkan perlawanan dari kelompok minoritas, misalnya migran. Ini harus dicermati karena berbahaya,” katanya.

Peneliti senior politik pemerintahan daerah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syarif Hidayat, menuturkan, di Indonesia, transisi demokrasi belum menghasilkan warga yang punya budaya kewargaan partisipatif. Karena itu, dalam pilkada masih kerap muncul politik transaksional serta mobilisasi massa untuk meraih suara dengan basis etnis ataupun agama. Program akhirnya tidak banyak muncul dalam kampanye.

”Ada juga kecenderungan isu suku, ras, agama, antargolongan ’dipelihara’ karena memberi peluang elite politik dalam berkontestasi. Ini berbahaya karena membuat kita sulit keluar dari perangkap demokrasi prosedural,” kata Syarif. Ia menambahkan, isu SARA biasanya dipelihara oleh elite yang hanya mementingkan kekuasaan.

(AGE/NSA/BRO/SEM/KRN/APA/GAL/MHD)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 13 Februari 2018 di halaman 1 dengan judul “Waspadai Politik Identitas”. https://kompas.id/baca/polhuk/politik/2018/02/13/waspadai-politik-identitas/