Didik Supriyanto merupakan gambaran tatanan pemilu Indonesia. Baginya, pemilu dan demokrasi merupakan persenyawaan final yang terus mengingatkan bahwa konversi suara menjadi kursi tak lepas dari substansi demokrasi. Hasratnya sebagai aktivis dan jurnalis membuat pemilu tak hanya ditata tapi juga didokumentasikan agar publik terdidik mengerti. Merekayasa pemilu berarti mengelola pemilu secara proses dan hasil untuk menghasilkan pemerintahan bekerja efektif melayani rakyat, pemilik kedaulatan demokrasi.
Didik terlibat di pemilu karena peran dan aktivismenya sebagai jurnalis. Lelaki kelahiran Tuban 6 Juli 1966 ini menjadi anggota Panitia Pengawas Pemilu 2004 mewakili unsur jurnalis. Sebagai salah satu pendiri dan aktivis Aliansi Jurnalis Independen, Didik diharapkan menguatkan semangat Reformasi dalam kelembagaan pemilu.
“Saat itu temen-temen AJI, terutama yang punya pengaruh, mendorong saya. Awalnya saya menolak. Saya kan gak ngerti pemilu. Lalu ada yang bilang, kamu mau wartawan Orde Baru yang masuk Panwaslu? Akhirnya saya daftar,†kata Didik mengenang.
Pengalaman keterlibatan di pemilu itu membuat Didik mencintai pemilu. Bersama teman-teman mantan Panwaslu 2004, Didik mendirikan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Bersama Perludem, ia berpemahaman, Indonesia sebagai negara demokrasi harus terus mengupayakan penyelenggaraan pemilu yang mampu menampung kebebasan rakyat dan menjaga kedaulatan rakyat. Membangun sistem pemilu, penyelenggara, kontestasi, dan (pemahaman) pemilih yang jujur dan adil menjadi keharusan dalam tujuan demokratis.
Didik, seperti makna kata dari namanya, mendidik kita untuk memandang penting pemilu sepenting demokrasi itu sendiri. Jika kita sebagai awam bertanya pada Didik, “bagaimana cara memahami pemilu?â€, alumnus ilmu pemerintahan FISIPOL Universitas Gadjah Mada ini akan mengajak kita memahami sistem politik demokrasi.
Menurutnya, sistem pemilu jangan pernah dilepaskan dari sistem pemerintahan dan sistem kepartaian. Memilih parlementer/presidensial, proporsional/mayoritarian, dwipartai/multipartai, bukan hanya dituntut memahami setiapnya tapi juga keterkaitannya. Dari berbagai dasar pertimbangan, pemilu yang baik menurut Didik adalah pemilu yang proses dan hasilnya efektif, efisiensi, dan terkelola. Manageable secara penyelenggaraan, kepesertaan, partisipasi, dan penegakan hukum.
Didik biasa membagi pembahasan pemilu ke dalam empat aspek: 1) sistem; 2) manajemen penyelenggaraan; 3) hukum dan penegakannya; dan 4) aktor. Menyadarkan kita yang selama ini hanya memahami pemilu sebatas kontestasi. Padahal kontestasi merupakan bagian kecil dari aspek aktor kepemiluan.
Pakar politik sistem presidensial, Djayadi Hanan berkomentar, buku-buku Perludem penting dibaca karena belum banyak referensi yang baik mengenai pemilu (berbahasa) Indonesia. Saat komentar ini disampaikan kepada Didik, ia balik komentar, “Hehehe… yang lain menulis karena kebutuhan penelitian. Kita ini menulis karena kebutuhan advokasi.â€
Kata advokasi bagi Didik menempatkan demokrasi lebih tepat bukan sebagai entitas yang terberi. Iya ada dari pengupayaan sungguh berdasar modal kebebasan diri setiap rakyat, yang berserikat, berpolitik. Demokrasi mungkin final tapi bentuknya terus dibentuk.
Didik mengingatkan, pemilu merupakan pembeda antara demokrasi dengan krasi lainnya. Menyadarkan kita sesatnya slogan “demokrasi yes, pemilu dan partai no!â€. Demokrasi tak akan baik jika publik hanya menghardik pemilu dan partai politik. Menerima/memilih demokrasi berkonsekuensi pada sikap positif terhadap partai, parlemen, dan tentu saja pemilu.
Tesis master ilmu politik Didik Supriyanto dari Universitas Indonesia berjudul “Gerakan Politik Perempuan Pasca-Orde Baru†menggambarkan itu. Konversi suara menjadi kursi sebagai pengertian teknis pemilu memang harus diiringi demokratisasi secara substansial. Parlemen adalah kumpulan kursi representasi warga yang tingkat keadilannya berkait dengan kesesuaian suara melalui pemilu yang bebas, setara, dan adil.
Didik meyakinkan, isu feminisme bisa bersetubuh dengan isu pemilu. Mengklarifikasi para pihak yang berkesimpulan pemilu sebagai entitas struktural demokrasi yang tak mungkin bisa beres jika demokrasi kultural masih patriarkal.
Semua itu menjadikan Didik Supriyanto sebagai sosok aktivis yang relatif lengkap dan langka. Didik ditempa menyertai perlawanan dalam rezim otoritarian. Didik mengalami pergantian Orde Baru ke Orde Reformasi. Didik mengamati, meneliti, menulis, berbicara, mengadvokasi, dan berdemonstrasi. Eksistensinya pun berpengaruh secara berkelanjutan, setidaknya dua dekade sejak tirani Soeharto runtuh. Tapi kesederhanaan Pak Didik membuat itu semua lebih sebagai inspirasi dibanding unjuk gigi.
Pemilu Orde Baru adalah yang terburuk. Pemilu hari ini memang masih buruk. Tapi demokrasi menjamin kita terus mengadvokasi pemilu untuk menjauh dari buruk menjadi lebih baik. Melalui pemilu kita memilih yang baik sekaligus menyingkirkan yang buruk.
Didik sering berceloteh, “pemilu Indonesia paling rumit sedunia akhiratâ€. Tapi yang terpenting dari pemilu (sekaligus keajaiban pemilu itu sendiri) adalah, pesta demokrasi ini bisa melakukan transisi kekuasaan secara damai—bisa menyertakan air mata tapi mencegah darah dan meniadakan senjata.
Mungkin, pemilu yang ideal tak bisa diwujudkan di Indonesia atau di dunia ini. Mungkin juga di akhirat Soeharto, Marcos, Seko, Sadat, dan Milosevic kembali bikin pemerintahan otoriter dan Marx kembali gagal menciptakan masyarakat tanpa kelas. Yesus hanya berpesan “kasih dan damaiâ€. Muhammad yang berujar “sabar†bersama istri-istrinya mungkin menyarankan perang. Sedangkan terlalu banyak dari kita yang mau mendapat posisi lalu berkuasa. Bisa jadi Allah sebagai Tuhan malah berfirman “kedaulatan ada di tangan rakyat (umat penghuni akhirat)â€. Di keadaan ini, teknokrat pemilu kembali dibutuhkan. Beruntung jika kita percaya dengan pemilu seperti Didik Supriyanto. []
USEP HASAN SADIKIN