August 8, 2024

Pemilu Akses: Menagih Janji Konstitusi

Demokrasi bukan soal retorika atau soal angka. Demokrasi adalah sebuah sistem yang dibangun agar semua rakyat, tanpa pengukuran harta kekayaan dan tanpa menimbang soal darah keturunan, dapat memiliki pemerintahan bersama. Pemerintahan bersama yang tujuannya untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan warga tertentu.

Dalam diskursus mengenai demokrasi, berapa banyak pegiat pemilu yang membahas peran disabilitas dalam demokrasi, khususnya pemilu? Apakah disabilitas disebut-sebut di media dalam berita atau wacana demokrasi untuk me-mainstreaming-kan pembacaan masyarakat mengenai hak disabilitas? Jawabannya, sedikit. Media mengikuti kepayahan negara dalam menjawab kebutuhan disabilitas pada keberpihakan negara untuk memenuhi janji konstitusi bagi setiap warga negara. Sebagai hasil, isu disabilitas hanya menjadi isu sektarian atau musiman, bukan isu mainstream.

Partisipasi Disabilitas dan Pemilu Akses di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017

Undang-Undang (UU) No.8/2016 menyatakan bahwa penyandang disabilitas mempunyai hak politik yang sama dengan warga negara lain, yakni hak untuk memilih dan dipilih, memperoleh pendidikan politik, berperan aktif dalam semua tahapan pemilu, serta memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilu.

Mengacu pada UU tersebut, pemilu akses adalah aksesibilitas bagi warga negara disabilitas untuk mendapatkan semua hak politik yang dijanjikan oleh negara. Jadi, pemilu akses tak boleh didefinisikan secara sempit dengan hanya bertolak pada TPS akses. Dalam konteks lebih luas, pemilu akses seharusnya berangkat menuju politik akses.

Pada Pilkada Serentak 2017 di tujuh provinsi, tingkat penggunaan hak pilih disabilitas atau disebut sebagai tingkat partisipasi, beragam. Dua daerah tingkat partisipasi lebih dari seratus persen, tiga daerah partisipasi tinggi, dan dua daerah partisipasi rendah.

Di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Aceh dan Bangka Belitung, tingkat partisipasi melonjak hingga 968,2 persen dan 107,6 persen. Di Pilgub DKI Jakarta, Papua Barat, dan Gorontalo, tingkat partisipasi masing-masing 99,7 persen, 97,9 persen, dan 81 persen. Di Pilgub Sulawesi Barat  dan Banten, tingkat partisipasi hanya 38,7 persen dan 22,7 persen.

Tingginya angka partisipasi disabilitas di Aceh dan Bangka Belitung mengartikan bahwa jumlah disabilitas sebenarnya melebihi jumlah yang tertera di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Di DPT Aceh misalnya, jumlah disabilitas hanya tercatat 2.517.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, mengatakan bahwa jumlah pemilih disabilitas yang lebih besar dari jumlah yang tercantum di DPT disebabkan oleh tercatatnya pemilih disabilitas sebagai pemilih umum. “Banyak yang masuk di DPT, tapi gak diberi keterangan sebagai disabilitas. Padahal, kami telah menyediakan kolom disabilitas di form pendataan. Ini semestinya diperhatikan oleh petugas,” kata Ferry, pada diskusi “Partisipasi Penyandang Disabilitas pada Pilkada 2017” di Menteng, Jakarta Pusat (24/2).

Masalah pendataan pemilih disabilitas di DPT terus berulang dari pemilu ke pemilu. Begitu pula dengan masalah pemilih disabilitas yang tak dapat menggunakan hak pilih karena tak aksesnya Tempat Pemungutan Suara (TPS). Ketua Umum Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Gufroni Sakaril, mengatakan bahwa KPU harus memprioritaskan dua hal, yakni pendataan DPT yang detil dan TPS yang akses.

“Kalau TPS akses, semuanya jadi akses. Kalau TPS sulit untuk diakses karena memang tempat yang tersedia hanya itu saja, KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang harus dateng ke rumah mereka. Pokoknya, kalau KPU pro aktif, jumlah partisipasi bisa meningkat,” tegas Gufron (24/2).

Penulis menyambut baik partisipasi pemilih disabilitas yang meningkat di Pilkada Serentak 2017. Namun, penulis berharap pada Pilkada Serentak 2018, isu disabilitas tak lagi soal hak pilih dan TPS akses, tetapi disabilitas sebagai penyelenggara pemilu, panitia pemilihan atau kandidat.

Disabilitas Menagih Hak Politik melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu

“Nothing about us without us,” kata Ketua Umum Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Gufroni Sakaril, pada rapat dengar pendapat di Senayan, Jakarta Selatan (16/2). PPDI meminta affirmative action kepada Panitia khusus (Pansus) RUU Pemilu seperti yang diminta oleh kelompok perempuan, namun dalam porsi lebih rendah.

“Jumlah disabilitas 10 hingga 15 persen dari total penduduk Indonesia. Boleh dong kami minta kuota 10 persen di daftar pilih dengan 2 persen di nomor urut kecil? Jadi, nomor urut satu sampai lima, salah satunya ada calon disabilitas,” kata Gufron.

Permintaan affirmative action dapat dipahami sebagai dua hal. Pertama, kelompok yang meminta menemui banyak hambatan untuk berperan sebagai penyelenggara negara. Kedua, negara atau yang berwenang belum cukup menciptakan iklim yang ramah kepada kelompok yang meminta affirmative action. Namun, ada satu hal yang perlu digarisbawahi, yakni tak ada affirmative action apabila tak ada hak yang perlu ditagih dan tak ada hambatan yang perlu dihilangkan.

Pada rapat dengar pendapat, Gufron menegaskan bahwa hak warga negara disabilitas tak hanya untuk memilih, tetapi untuk dipilih dan menjadi penyelenggara pemilu. Keterlibatan disabilitas dalam penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemilu akan menjadi pendidikan politik bagi masyarakat umum bahwa disabilitas mampu berkontribusi bagi kehidupan bernegara.

Terlibatnya disabilitas dalam institusi negara dan pemilu pun akan mendorong partisipasi pemilih disabilitas dalam pemilu. Partisipasi pemilih, menurut Gufron, cenderung rendah karena pemilu tak memberikan dampak kesejahteraan maupun perbaikan bagi nasib disabilitas.

“Berkali-kali milih, mereka tetap marginal, susah dapet pekerjaan, dan tetap miskin. Apa fungsi pemilu bagi disabilitas?” tukas Gufron.

Penulis mempercayai kehadiran disabilitas dalam penyelenggaraan negara akan berdampak baik bagi kesejahteraan disabilitas di Indonesia. Pansus RUU Pemilu tak boleh meneruskan stigma buruk dan meninggalkan disabilitas jauh di belakang. Berikan kesempatan pada mereka melalui pengaturan di dalam UU, biar media, lembaga masyarakat, dan tokoh disabilitas yang dicalonkan yang meyakinkan masyarakat bahwa ia pantas untuk dipilih sebagai wakil rakyat.

Jika Pansus memberikan sambutan baik dengan mengajukan blocking seat kepada perempuan, mengapa hanya sambutan abu-abu yang dapat diberikan kepada disabilitas? Di Universitas Indonesia, tempat penulis menyelesaikan pendidikan tinggi, penulis sering menjumpai disabiltas. Adalah tugas Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mendata jumlah pasti disabilitas di Indonesia dan mendata persentase disabilitas dengan tingkat pendidikan tinggi.

Bukan disabilitas yang tak mampu menjadi penyelenggara negara melalui mekanisme pemilu yang demokratis, tetapi ketidakseriusan negara dan partai politik untuk melibatkan mereka dalam politik pemerintahan dan stigma buruk masyarakat yang tak kunjung dihilangkan.

Pekerjaan Rumah dan Pola Pikir yang Mesti Diubah

Negara dan masyarakat umum perlu hadir dalam kesadaran pro kepentingan disabilitas. Pasalnya, stigma tak produktif dan serba terbatas telah mengasingkan disabilitas dari peran politik yang dapat diambilnya sebagai warga negara. Negara, terutama penyelenggara pemilu, harus memiliki pemahaman bahwa kehadiran disabilitas dalam demokrasi dan pemilu tak hanya bermanifestasi pada angka statistik yang berfluktuasi dalam tingkat partisipasi pemilih disabilitas, tetapi juga partisipasi aktif sebagai penyelenggara pemilu dan peserta pemilu. Prinsipnya, tak ada warga negara kelas dua atau tiga.

Pemilu akses memang keharusan yang dihadirkan oleh negara, tetapi negara tak boleh abai memfasilitasi hak politik mereka yang lain. Pemilu akses mesti dimaknai sebagai pemilu yang ramah bagi disabilitas untuk memilih, dipilih, dan sebagai penyelenggara atau panitia pemilihan.

Empat pekerjaan rumah bagi masing-masing pihak yang berwenang, yakni membuat DPT berkelanjutan, melibatkan disabilitas sebagai relawan demokrasi untuk melakukan sosialisasi dan edukasi, menghadirkan affirmative action dan menegaskan bahwa disabilitas tak sama dengan sakit di dalam RUU Pemilu, dan menjadikan isu politik disabilitas sebagai isu mainstream di media.

Nothing about them witohut them. Berikan kesempatan kepada disabilitas untuk membuktikan bahwa mereka tak gagap dalam berdemokrasi dan bernegara.