November 27, 2024

Kata Pegiat Pemilu dan Ketua Pansus Soal UU Pemilu

Setelah dibahas selama sembilan bulan, Undang-Undang (UU) Pemilu akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapat paripurna 20 Juli 2017. Ketua DPR, Setya Novanto, menetapkan Paket A secara aklamasi setelah diadakan voting untuk memutuskan waktu pengambilan keputusan atas pilihan paket dan empat fraksi yang mayoritas memilih Paket B mengundurkan diri.

“Apakah peserta sidang setuju RUU tentang Penyelenggaran Pemilihan Umum disahkan menjadi UU?” tanya Novanto pada rapat paripurna di Senayan, Jakarta Selatan (20/7). Peserta sidang mengatakan, “Setuju!”

UU Pemilu disahkan setelah dibahas dalam 67 rapat.  4 rapat pimpinan, 4  rapat internal Panitia khusus (Pansus), 18 rapat kerja, 3 rapat dengar pendapat (RDP), 7 rdp umum, 18 rapat Panitia kerja (Panja), 9 rapat Tim perumus (Timus), dan 4 rapat Tim sinkronisasi (Timsin).

Kata Para Pengamat Pemilu

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menyayangkan disahkannya UU Pemilu dengan adanya aturan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen. Peraturan tersebut inkonstitusional dan berpotensi mengganggu tahapan Pemilu Serentak 2019.

“Sangat disayangkan akhirnya yang dipilih adalah Paket A. Menyertakan ambang batas pencalonan presiden amat rentan digugat,” kata Titi kepada Rumah Pemilu (21/7).

Senada dengan Titi, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Sunanto, mengatakan bahwa pengunduran diri empat fraksi dari rapat paripurna menandakan bahwa UU Pemilu masih menyisakan masalah. Beberapa peraturan di UU Pemilu masih ada yang bertentangan dengan UU Dasar 1945.

“Kemarin itu kan walk out karena ambang batas pencalonan presiden. Jadi, aturan ini amat mungkin digugat di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak hanya oleh masyarakat, tapi juga partai politik,” kata Nanto saat dimintai keterangan (21/7).

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI periode 2012-2017, Hadar Nafis Gumay, berpendapat bahwa ada kemunduran dan kemajuan di UU Pemilu. Ia berharap penyelenggara pemilu dapat menutupi kemunduran tersebut melalui Peraturan KPU (PKPU) dan Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di tengah waktu persiapan yang sempit.

“Perkiraan saya, PKPU dan Peraturan Bawaslu bisa membantu menutup kekurangannya. Kalau sangat serius masalahnya, putusan MK bisa menjadi jalan keluar,” tulis Hadar di laman facebooknya (21/7).

Kata Ketua Pansus UU Pemilu

Ketua Pansus UU Pemilu, Muhammad Lukman Edy, mengatakan sedih atas aksi walk out yang dilakukan empat fraksi dalam rapat paripurna pengambilan keputusan. Pasalnya, empat fraksi telah ikut memperkuat pengaturan secara signifikan di UU Pemilu selama sembilan bulan.

“Saya sedih juga ada teman-teman yang diujung pembahasan UU pemilu justru tidak terlibat dalam pengambilan keputusan. Memang kurang secara psikologi ketika keputusan ini diambil tanpa mereka, tapi keputusan tetap harus diambil. Kalau tidak, akan mengganggu tahapan-tahapan pemilu,” jelas Edy di Senayan, Jakarta Selatan (20/7).

Edy juga mengatakan bahwa DPR siap menghadapi  judicial review (JR) yang diajukan masyarakat terhadap pasal-pasal di UU Pemilu. JR ke MK, menurut Edy, merupakan mekanisme konstitusional untuk memutuskan apakah pasal-pasal sejalan atau bersebrangan dengan konstitusi.

“Memang banyak pihak yang sudah menyatakan akan melakukan JR, seperti Yusril Ihza Mahendra, Mahfud MD, Refly Harun, serta ketua-ketua umum partai baru yang belum memperoleh kursi di DPR. DPR siap menghadapi JR oleh masyarakat sipil,” jelas Edy.

Edy mengucapkan terima kasih kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerhati pemilu, media massa, tim ahli, dan penyelenggara pemilu yang telah membantu memperkuat UU Pemilu serta mendekatkan isu UU Pemilu ke masyarakat.

“Kami sudah bekerja siang malam. Mengedepankan musyawarah mufakat dan mengusahakan yang terbaik. Saya menghormati apapun keputusan masing-masing fraksi. Terima kasih kepada semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu,”  tutup Edy.