Pasal 348 ayat (4) Undang-Undang (UU) Pemilu mengatur hak pilih berdasarkan daerah pemilihan (dapil). Contoh pertama, apabila Mawar terdaftar sebagai pemilih di Kecamatan A Kabupaten Lebak Provinsi Banten, kemudian akan pindah memilih ke Provinsi Sumatera Utara, maka Mawar hanya akan mendapatkan satu surat suara, yakni surat suara Pemilihan Presiden (Pilpres).
Contoh kedua, apabila Dilan yang terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Kecamatan B Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat, kemudian pindah memilih ke Kota Bogor, maka Dilan akan menerima dua surat suara, yaitu surat suara Pilpres dan Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dilan tak mendapatkan surat suara Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI karena Kota Bogor dan Kabupaten Bogor berada pada dapil yang berbeda.
Pengaturan di Pasal 348 ayat (4) diturunkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara, namun beberapa fraksi seperti Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) dan Fraksi Partai Demokrat menentang norma tersebut. Rambe Kamarul Zaman, anggota Fraksi Partai Golkar misalnya, mengatakan bahwa jika pindah memilih di provinsi berbeda, pemilih setidaknya mendapatkan tiga surat suara, yaitu surat suara Pilpres, Pemilihan DPR RI, dan Pemilihan DPD. Pemilihan untuk mengisi jabatan di tingkat nasional semestinya dapat diikuti oleh pemilih yang pindah memilih ke seluruh wilayah RI.
“DPR RI, RI! Kok ditahan-tahan? Kalau untuk memilih kabupaten/kota, ini masih ada logikanya. Jadi, kalau form A5 itu bisanya satu suara, ya setidaknya tiga atau dua. Yang penting ada RInya semua bisa memilih. Dapil ini hanya alat saja bahwa distrik elektoral kita gunakan untuk melahirkan keterwakilan yang kita pilih itu lebih konkrit,” tegas Rambe pada rapat konsultasi di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan (29/8).
Bersebrangan dengan ketiga fraksi, Sirmadji, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) justru membenarkan norma yang diatur di PKPU yang dinilai sebagai copy paste dari Pasal 348 ayat (4). Sirmadji yang sama halnya seperti Rambe dan Rufinus Hutauruk dari Fraksi Partai Hanura yang terlibat dalam perumusan UU Pemilu, mengatakan bahwa pembahasan Rancangan UU (RUU) Pemilu memang menghendaki pemberian hak pilih dengan logika dapil secara ketat.
“Jadi, kalau orang ini pindah keluar dapil, misal dapil kabupaten, hilang satu. Keluar dapil provinsi, maka hilang dua. Seperti di Jawa Timur, dapil provinsinya lebih kecil dari dapil RI. Lalu kalau keluar dari dapil provinsi dan RI, sisanya dua saja, yaitu DPD dan RI. Kalau keluar dapil DPR RI, dapat satu saja, Pilpres saja,” jelas Sirmadji.
Suhadjar, perwakilan Pemerintah memperkuat argumentasi Sirmadji. Menurutnya, hak pilih memang berbasis domisili. Ia menerangkan, “Kalau dia pindah penduduk, membawa surat keterangan pindah dari Dukcapil (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil), pindahlah semua haknya. Tapi, kalau tidak pindah domisili, pindah memilih dengan A5, bisa diakomodir.”
Anggota KPU RI, Wahyu Setiawan menjelaskan bahwa hak pilih berdasarkan logika dapil mengikuti logika penyusunan dapil. Salah satu prinsip pembentukannya adalah disesuaikan dengan integralitas suatu wilayah yang didiami oleh sekelompok penduduk.
“Dapil untuk Pilpres adalah seluruh wilayah RI. Maka, kemana pun warga negara ke suatu wilayah NKRI, dia dapat. Dapil untuk DPD adalah provinsi. Jadi, kemana pun dia pindah selama di satu provinsi, hak pilihnya tetap. Dapil DPR RI adalah kabupaten atau kumpulan kabupaten di satu provinsi. Begitu pindah kabupaten di dapilnya, meskipun satu provinsi, maka lepas sudah hak pilihnya. Karena, dia memang mewakili penduduk tertentu yang ada di suatu wilayah tertentu,” urai Wahyu.
Keputusan atas norma ini akan ditentukan pada rapat konsultasi yang akan dilangsungkan pada siang hari Kamis (30/8).