Kamis (21/6), dua belas tokoh yang terdiri atas pakar hukum tata negara, ahli pemilu, aktivis demokrasi, dan akademisi menggugat Pasal 222 Undang-Undang No.7/2017 yang berisi ambang batas pencalonan presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dua belas orang tersebut yakni, Busyro Muqoddas, Chatib Basri, Faisal Basri, Hadar Nafis Gumay, Bambang Widjojanto, Rocky Gerung, Robertus Robet, Feri Amsari, Angga D. Sasongko, Hasan Yahya, Dahnil A. Simanjuntak, dan Titi Anggraini.
Dalam permohonan yang didaftarkan secara online, para tokoh menekankan empat alasan agar MK segera menyatakan Pasal 222 inkonstitusional. Satu, Pasal 222 mengatur syarat pencalonan presiden, sedangkan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 hanya mendelegasikan pengaturan tata cara pencalonan.
Dua, pengusulan calon presiden dalam konteks Pasal 222 dilakukan oleh partai peserta pemilihan anggota legislatif sebelumnya. Hal ini bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 karena penghitungan ambang batas pencalonan presiden berdasarkan hasil pemilu sebelumnya adalah irasional.
Tiga, ambang batas pencalonan presiden menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi menghadirkan calon presiden tunggal. Hal ini bertentangan dengan pasal 6A ayat (1), (3), dan (4) UUD 1956.
Empat, Pasal 222 bukanlah constitutional engineering atau rekayasa konstitusi, melainkan constitutional breaching atau pelanggaran konstitusi karena melanggar Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 22E ayat (1) dan (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Kalaupun pasal 222 UU 7/2017 dianggap tidak langsung bertentangan dengan konstitusi, quod non, tetapi potensi pelanggaran konstitusi sekecil apapun yang disebabkan pasal tersebut harus diantisipasi oleh MK, agar tidak muncul ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” sebagaimana tertulis dalam siaran pers yang diterima oleh rumahpemilu.org (21/6).
Para tokoh mendesak agar MK segera memutus permohonan perkara demi keadilan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Diharapkan, putusan dibacakan sebelum proses pendaftaran pencalonan presiden berlangsung pada 4 hingga10 Agustus 2018.
“MK pernah dengan bijak memutus perkara-perkara pemilu dengan cepat. Misalnya soal KTP (kartu tanda penduduk) sebagai alat verifikasi pemilu yang diproses hanya dalam beberapa hari dan diputus dua hari menjelang pemilu. Kami berharap sikap bijak MK untuk menjaga kelangsungan Pilpres agar sesuai dengan konstitusi,” tulis Tim kuas hukum para pemohon.
Selain itu, para tokoh juga memohon agar MK tidak memberlakukan mundur pembatalan Pasal 222 untuk pilpres selanjutnya. Rakyat Indonesia, kata mereka, berhak mendapatkan calon-calon presiden yang berkualitas tanpa terhalangi ambang batas pencalonan.
Tim kuasa hukum para pemohon yakni, Denny Indrayana, Haris Azhar, Abdul Qodir, Harimuddin, dan Zamrony.