August 8, 2024

20 Tahun Desentralisasi: Mengapa Rahim Pilkada Tak Lahirkan Kesejahteraan Lokal?

Kelahiran sistem desentraliasi dipicu oleh konflik yang marak terjadi di tahun-tahun terakhir pemerintahan Orde Baru Soeharto. Sebut saja gerakan separatis di Aceh, Timor Timur dan Riau yang menggetarkan rezim  sentralisasi dan memberikan tekanan kuat untuk diterapkannya pembagian kekuasaan antara pusat dengan daerah.

Eko Prasodjo, Guru Besar Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, mengatakan bahwa gerakan separatis berhasil diredam dengan memindahkan locus wewenang dari pusat ke daerah. Tokoh-tokoh separatisme akhirnya kehilangan dukungan di tingkat kabupaten/kota. Indonesia diselamatkan dari perpecahan dengan adanya desentralisasi.

Jelas! Desentralisasi merupakan anak historis perjalanan politik bangsa.

Apa itu desentralisasi

Peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menjelaskan secara ringkas bahwa desentralisasi adalah proses pemindahan tanggung jawab, kewenangan, dan akuntabilitas fungsi-fungsi manajemen secara khusus atau pun luas kepada aras yang lebih rendah dalam suatu organisasi, sistem, atau program. Dalam konteks tata kelola negara, desentralisasi merupakan perpindahan wewenang tata kelola pemerintahan di tingkat daerah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Desentralisasi tak hanya soal berpisahnya wewenang pusat dengan daerah, tetapi soal kesejahteraan dan pelayanan terhadap masyarakat lokal. Desentralisasi ditujukan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, meningkatkan daya saing lokal, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Sejak sistem desentralisasi diberlakukan pada 1999, telah ada tiga peraturan sebagai payung hukum praktik desentralisasi di daerah, yakni Undang-Undang (UU) No.22/1999, UU No.32/2004, dan UU No.23/2004. UU pertama menekankan pada konteks konflik dan tujuan, sedangkan UU kedua dan ketiga menekankan pada aspek administratif. Celakanya, UU tidak mengatur secara tegas batas wewenang di setiap jenjang pemerintahan, yakni kabupaten/kota, provinsi, dan pusat, serta terlalu banyak urusan yang diserahkan kepada daerah.

“Tidak ada kewenangan yang jelas di antara jenjang pemerintahan yang berkaitan dengan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Ada terlalu banyak urusan yang dilimpahkan oleh pusat ke daerah sehingga membuat daerah bingung,” tukas Zuhro pada seminar “Dua Dekade Reformasi, Quo Vadis Politik yang bermartabat?” di Gedung LIPI, Kuningan, Jakarta Selatan (15/5).

Sebagai akibat, desentralisasi kerap menimbulkan ketidakefektifan pemerintahan dan justru memperlebar gap antara pembangunan nasional dengan daerah.

Pilkada langsung vis a vis sistem desentralisasi

Dalam sistem desentralisasi dimana kepala daerah menguasai tata kelola pemerintahan daerah nyaris tanpa intervensi pusat, posisi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) menjadi amat penting. Indonesia menyelenggarakan pilkada langsung sejak 2004, lalu pertanyaannya, apakah pilkada langsung telah menjadi rahim yang sehat yang mampu melahirkan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bekerja untuk mencapai tujuan desentralisasi?

Jika merujuk pada pendapat Zuhro, pilkada langsung mengakibatkan kondisi daerah menjadi lebih semrawut. Pilkada langsung menjadi perayaan yang memungkinkan politik ijon, politik dinasti, dan kolusi antar dinasti politik.

“Ada pemekaran, ada sistem ijon, dan sebagainya. Apalagi di daerah-daerah yang kaya SDA (sumber daya alam). Belum lagi ada kolaborasi elit dan pegusaha dalam mengekspolitasi daerah guna mencari keuntungan sebenyak-banyaknya tanpa memperdulikan kemaslahatan umum maupun kesehatan lingkungan,” jelas Zuhro.

Pilkada langsung belum menghasilkan pemimpin yang berpihak pada kepentingan masyarakat, terutama masyarakat dengan ekonomi lemah. Asal punya usul, ketiadaan desentralisasi dalam partai politik menyebabkan pemilihan calon kepala daerah di internal partai tak berangkat dari kebutuhan lokal, melainkan berdasarkan lobi-lobi elit daerah kepada pimpinan partai tingkat pusat. Poinnya, buruknya hasil pilkada disebabkan oleh tak adanya reformasi terhadap UU partai politik.

“Pencalonan itu, kalau gak ada rekom dari DPP (Dewan Pimpinan Partai), gak akan bisa. Jadi, ada gap antara seustau yang terdesentralisasi dalam pemerintahan, tapi politiknya tetap sentralistik,” terang Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng pada forum yang sama.

Praktik pilkada juga disebut menambah jumlah dinasti politik. Berdasarkan data yang diolah oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) selama 2005-2014, terdapat kurang lebih 60 dinasti politik di 60 daerah di seluruh Indonesia. Dinasti politik ini, yang menguasai politik lokal, menginterupsi birokrasi lokal yang kualitasnya tak dapat dinilai baik. Mulai dari sekretaris daerah, kepala dinas, hingga kepala-kepala sub divisi tak jarang terkooptasi oleh kepentingan politik. Birokrasi menjadi rekan kepala daerah dalam melakukan tindak pidana korupsi berjamaah.

“Politik lokal kita masih meginterupsi birokrasi. Ketika politisi masuk ke birokrasi daerah, langsung tarik-menarik kepentingan,” ujar Zuhro.

Penelitian yang dilakukan oleh  Meiner & Gru pada 1998 terhadap negara-negara berkembang di Afrika Barat dan Amerika Selatan mengkonfirmasi pernyataan Zuhro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pilkada langsung memang menimbulkan praktek bad government atau tata kelola pemerintahan yang buruk akibat munculnya dinasi politik. Pola perpindahan kekuasaan dalam dinasti politik tak hanya dari ayah kepada anak, tetapi juga dari suami kepada isteri atau sebaliknya.

“Dinasti politik ini yang akan mengkooptasi kepentingan-kepentingan selama pilkada berlangsung. Bahkan, dalam proses pilkada berikutnya, mereka (para dinasti politik) berbagi resources untuk kemenangan berikutnya. Tidak ada imun untuk melindungi birokrasi dari politik,” urai Eko.

Dampak buruk dari pemerintahan hasil pilkada langsung diperparah dengan tak efektifnya kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam melakukan pengawasan terhadap lembaga eksekutif. Namun, kata Robert, bukanlah salah pilkada langsung menghasilkan pemerintahan yang buruk, tetapi pembajakan oleh para elit politik yang semata-mata menginginkan kekuasaan sehingga pilkada langsung tak memiliki manfaat akseleratif dalam sistem desentralisasi.

Rekomendasi

Apa resep obat yang tepat diberikan terhadap situasi kronis yang terjadi dalam pilkada dan tata pemerintahan daerah? Jika mengelaborasi Zuhro, Eko, dan Robert, ada tiga resep yang layak dipertimbangkan. Satu, efektifitasi penguatan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah untuk melakukan fungsi koordinasi, bimbingan, dan pengawasan. Dua, penguatan kapasitas masyarakat lokal agar sistem desentralisasi tak hanya menjadi alat penguatan pemerintah lokal. Tiga, reformasi partai politik.

Meminjam istilah Robert, maraknya kasus korupsi berjamaah disebabkan oleh partai politik yang semakin jauh dari fungsinya. Negara dapat memberikan bantuan keuangan kepada partai politik dengan syarat partai politik transparan dalam audit keuangannya, dan juga memberlakukan merit sistem secara ketat. Telah saatnya kita menengok UU partai politik yang selama ini tak tersentuh.

“Pada dasarnya, korupsi kita adalah korupsi politik. Jadi, kuncinya di sana. Reformasi politik ini sangat penting. Setelah ini selesai, baru kita bisa pindah ke yang lain,” tukas Robert.

Pilkada langsung dalam sistem desentralisasi mesti mampu menghasilkan kepala daerah yang melaksanakan tujuan-tujuan desentralisasi, yakni membangun tata kelola pemerintahan yang baik, meningkatkan daya saing lokal, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat tak boleh menjadi alasan apologetik para kepala daerah untuk tak berkoordinasi dengan pemerintah pusat. []

AMALIA SALABI