Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengeluarkan Putusan yang mengabulkan semua permohonan Oesman Sapta Odang (OSO) untuk menjadi peserta Pemilu 2019 sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Komisi Pemilihan Umum (KPU) punya tiga pilihan untuk menyikapi keadaan ini. Masing-masing dari tiga pilihan ini punya dasar hukum dan pertimbangan KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang taat pada peraturan perundang-undangan.
“Apa pun pilihan KPU nanti, bukan berarti KPU mengabaikan putusan tertentu. Semua oleh KPU dipertimbangkan,” kata Ketua KPU Arief Budiman dalam konferensi pers di Sekretariat KPU sore hari (14/11).
Menetapkan kepesertaan OSO
Pilihan pertama adalah, KPU langsung mengikuti Putusan PTUN untuk menetapkan OSO sebagai peserta Pemilu 2019, calon anggota DPD. Pasal 471 Ayat (7) UU No.7/2017 bertuliskan, putusan pengadilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.
“Tak dimungkinkan upaya banding karena ketentuan dalam undang-undang,” tambah Arief.
Sebelum Putusan PTUN, KPU punya pendapat mengenai Putusan Mahkamah Agung (MA). Dalam pertimbangan KPU, Putusan MA yang membuat syarat kepesertaan pemilu telah melampaui kewenangan pengadil persengketaan administrasi. Putusan MA berseberangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memaknai keanggotaan partai politik sebagai bagian profesi yang dilarang dalam persyaratan calon anggota DPD di Pemilu 2019 berdasar UU No.7/2017.
Putusan PTUN (14/11) telah menempatkan KPU di posisi ambivalen dalam menjalankan kewajiban sesuai Pasal 14 UU No.7/2017. Ketentuan huruf n pasal ini bertuliskan, KPU berkewajiban melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tapi, mengikuti Putusan PTUN, membuat KPU ada dalam masalah berdasar ketentuan huruf b yang bertuliskan, KPU berkewajiban memperlakukan Peserta Pemilu secara adil dan setara.
Tetap membatalkan kepesertaan OSO
Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari merekomendasikan KPU untuk tetap berpegang pada Putusan MK. Pada Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018, MK menyatakan, Pasal 182 huruf l UU No.7/2017 yang memuat syarat bagi calon anggota DPD tidak boleh memiliki “pekerjaan lain” menimbulkan ketidakpastian hukum dan inkonstitusional. Oleh karena itu, MK menilai frasa tersebut harus dimaknai pula dengan “mencakup pula pengurus parpol”.
Feri berpendapat, salah satu alasan KPU berpegang pada Putusan MK berdasar keputusan hakim terdahulu (yurisprudensi) pada Pemilu 2009. Saat itu, Putusan MK berbeda dengan putusan lembaga peradilan lainnya. Di pemilu ketiga pasca-Reformasi itu KPU memilih mengikuti putusan MK.
Feri pun berpendapat KPU lebih tepat jika berpegang pada kelembagaan MK yang lebih tinggi dibanding kelembagaan PTUN. Sebagai penafsiran undang-undang berdasar UUD 1945, Putusan MK lebih tinggi berdasar UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Dengan segala pertimbangan, lebih berpegang pada Putusan MK punya dasar yang lebih kuat,” kata Feri (14/11).
Menurut Feri, konsekuensi buruk KPU tetap membatalkan kepesertaan OSO, salah satunya adalah pengaduan komisioner KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Tapi, KPU punya dasar penjelasan kuat untuk disampaikan dalam sidang etik DKPP nanti.
Sebaliknya, jika KPU mengikuti Putusan PTUN, KPU tidak memprioritaskan hal yang lebih konstitusional. KPU akan menjadi lembaga yang berlaku tak adil terhadap calon legislator selain OSO yang telah dibatalkan oleh KPU karena keanggotaan partai politik.
OSO mundur dari parpol pascaketerpilihan
Direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini berpendapat, KPU bisa memasukan OSO dalam daftar calon anggota DPD Pemilu 2019 berdasar Putusan PTUN. Tapi KPU menyertakan syarat pengunduran diri OSO jika yang bersangkutan terpilih menjadi anggota DPD 2019-2024 berdasar hasil Pemilu 2019.
“Sikap KPU ini bisa menghindari kesan pengabaian semua putusan lembaga peradilan pemilu yang ada. KPU berpegang pada Putusan MK yang mensyaratkan bahwa anggota DPD bukan anggota parpol. Sebagai lembaga pelaksana peraturan perundang-undangan pun KPU berpegang pada Putusan PTUN yang meminta kepesertaan OSO,” kata Titi (14/11).
Titi menjelaskan, KPU bisa mengoptimalkan kewenangannya dalam membuat peraturan pelaksana pemilu yang dijamin dalam UU No.7/2017 dan UU No.12/2011. Melalui Peraturan KPU tentang Penetapan Hasil Pemilu dan Pelantikan Calon Terpilih, KPU bisa mensyaratkan calon anggota DPD yang terpilih harus bersih dari keanggotaan partai politik.
“Jadi, OSO bisa menjadi peserta Pemilu 2019 sebagai calon anggota DPD, berdasar Putusan PTUN. Tapi, nanti, jika OSO terpilih, OSO harus menyerahkan surat pemberhentian keanggotaan dari parpol,” jelas Titi.
KPU masih mempertimbangkan segala keadaan hukum ini. Ketua KPU, Arief Budiman menegaskan, bentuk sikap KPU akan ditetapkan setelah Putusan PTUN tertulis sampai ke KPU.
“Pokoknya secepatnya setelah salinan diterima, kami akan lakukan rapat lagi untuk membahas tindak lanjutnya,” kata Arief. []
USEP HASAN SADIKIN