Pasangan calon (paslon) Mulyadi-Ali Mukhni di Pemilihan Gubernur Sumatera Barat 2020 mengajukan gugatan sengketa hasil Pilkada kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam permohonannya, Mulyadi-Ali Mukhni mendalilkan adanya penegakan hukum oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang menyebabkan kerugian pada dirinya sebagai paslon. Kepolisian menjadikan Mulyadi-Ali Mukhni sebagai tersangka atas pelanggaran kampanye di luar jadwal lima hari sebelum hari pemungutan suara atau pada 4 Desember 2020, dan menghentikan penyidikan kasus tersebut dua hari setelah pemungutan suara, yakni tanggal 11 Desember 2020 dengan alasan tak cukup alat bukti.
“Bahwa menjelang pemungutan suara, telah dilakukan penetapan tersangka yang menurut penalaran yang wajar bertujuan untuk membangun citra buruk terhadap Pemohon, yang meskipun pada akhirnya penyidikan terhadap Pemohon dihentikan dengan alasan tidak cukup alat bukti,” dikutip dari Permohonan yang diregistrasi dengan No.129/PHP.GUB-XIX/2021, halaman 11.
Mulyadi-Ali Mukhni merasa dirugikan oleh pihak Kepolisian lantaran berita bahwa Mulyadi yang ditetapkan sebagai tersangka disebarkan di media. Penetapan sebagai tersangka dinilai Mulyadi sebagai upaya penggembosan elektabilitas paslon Mulyadi-Ali Mukhni.
Menanggapi hal tersebut, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil menyampaikan bahwa proses hukum yang dialami oleh Mulyadi-Ali Mukhni patut dipertanyakan. Pasalnya, seseorang hanya boleh dinyatakan sebagai tersangka apabila telah ada dua bukti yang cukup untuk melanjutkan perkara ke proses penuntutan dan pelimpahan berkas ke Pengadilan.
“Kalau orang sudah ditetapkan sebagai tersangka, asumsinya kan sudah ada dua bukti yang cukup. Nah, kalau tiba-tiba selesai hari pemungutan suara, dihentikan kasusnya dengan alasan tidak cukup alat bukti, ini jadi pertanyaan,” tandas Fadli pada diskusi “Sengketa Pilkada: Dalil Hoaks dan Model Baru Penggembosan Suara di Pilkada 2020”, Senin (25/1).
Fadli berharap MK dapat memeriksa persoalan penegakan hukum tersebut tersebut secara lebih detil dan mengaitkan kasus tersebut dengan perolehan hasil suara. MK diberikan kewenangan oleh konstitusi untuk memeriksa apakah pemilihan telah berjalan secara jujur dan adil.
“Ketika ini dibawa ke MK, MK harus memeriksa proses penanganan hukum seperti ini. Apakah sudah dilakukan secara profesional dan akuntabel. Dan MK juga harus mengaitkannya dengan dampaknya terhadap hasil perolehan suara. Apakah penanganan hukum yang diduga tidak berjalan tidak profesional berdampak pada perolehan suara paslon. Itu harus dibuktikan di MK,” ujar Fadli.