August 8, 2024

Guncangan Demokrasi di Asia Tenggara Kala Pandemi Melanda

Kamis (1/4), Regional Support for Elections and Political Transitions atau RESPECT menyelenggarakan diskusi regional mengenai kondisi demokrasi di kala pandemi. Pegiat dari berbagai negara menyampaikan kondisi demokrasi di negara masing-masing: Indonesia, Malasia, Filipina, juga Thailand dan Myanmar. Demokrasi sedang tak baik-baik saja. Kegelisahan dan kondisi genting tergambar dari presentasi para pegiat.

Gerakan Sheraton semakin memperlambat reformasi pemilu Malaysia

Naiknya kembali Mahathir Mohamad sebagai perdana menteri Malaysia pada 2018 setelah 15 tahun Malaysia dipimpin oleh Abdullah Ahmad Badawi dan Najib Razak, menjanjikan suatu reformasi pemilu yang telah lama ditunggu. Namun berjalannya waktu, reformasi pemilu ternyata berjalan lambat.

“Kita kecewa reformasinya lambat, tetapi masih ada reformasi yang terjadi. Salah satu yang paling signifikan adalah penurunan usia memilih dari 21 tahun ke 18 tahun. Itu membutuhkan amandemen konstitusi,” kata Ketua Bersih 2.0, Thomas Fann.

Dari keterangan Thomas, baik partai penguasa maupun oposisi menyetujui amandemen konstitusi untuk mengubah usia pemilih. Perubahan ini memerlukan pendaftaran pemilih otomatis, sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) Malaysia mengatakan pihaknya memerlukan waktu satu hingga dua tahun untuk menyiapkan sistem tersebut. Kabar terakhir, KPU Malaysia akan menunda pemilu hingga 2022 sehubungan dengan pandemi.

“Mereka akan menunda 14 bulan ladi sampai tahun depan. Ini menekan hak pemilih anak muda di Malaysia. Merampas hak pilih mereka. Hampir 4 juta pemilih yang dirampas hak pilihnya. Kalau otomatis, proses pendaftarannya kan berdasarkan pada data, bukan mengunjungi dari rumah ke rumah,” jelas Thomas.

Ia menilai bahwa pandemi Coronavirus disease 2019 atau Covid-19 telah digunakan oleh penguasa untuk tetap berkuasa. Di penghujung Februari 2020, koalisi multiras yang terbentuk atas sentimen partai politik etnis Melayu menciptakan kudeta politik yang dapat dilihat sebagai tindakan mengubah hasil pemilu. Anggota Partai Keadilan Rakyat pimpinan Anwar Ibrahim dan Partai Islam se-Malaysia bergabung dengan oposisi, dan membentuk pemerintahan baru. Muhyiddin Yasin dari Partai Pribumi Bersatu Malaysia ditunjuk oleh Sultan menjadi perdana menteri Malaysia yang baru.

“Kita melihat itu sebagai cara untuk merubah pemilu. ini berdampak negatif terhadap demokrasi di Malaysia karena ketika pemilih dilakukan, tapi ada sekelompok kecil politisi kurang dari 50 orang memutuskan untuk mengkhianati pemerintah lama,” tandas Thomas.

Gerakan kudeta politik tersebut dikenal dengan istilah Gerakan Sheraton. Para pelaku gerakan mengkonsolidasikan gerakannya di Hotel Sheraton.

Menurut Thomas, selama pandemi parlemen tak dapat berjalan. Namun, pemerintah membujuk Sultan untuk menetapkan status darurat dan menunda pemilu. Sultan menolak usulan tersebut. Mengejutkannya, pemerintah baru-baru ini mengesahkan undang-undang yang dapat meloloskan rencana anggaran untuk pemerintah meski tanpa persetujuan bendahara negara.

“Baru kemarin pemerintah meluncurkan hukum baru di mana mereka bisa meningkatkan anggaran pemerintah tanpa harus melewati bendahara untuk minta lebih banyak uang akibat Covid. Jadi, Covid memperkuat otoritarianisme,” ujar Thomas.

Filipina dan otoritarianisme berbaju “perang” melawan narkoba dan komunis

Pandemi melengkapi penindasan terhadap kebebasan masyarakat di Filipina. Pada tahun 2020 sendiri, beberapa kasus fenomenal terjadi. Pertama, penyerangan terhadap media oleh pemerintah dan partai-partai pendukung Presiden Duterte, salah satunya media ABS-CBN yang dipaksa tak mengudara lantaran laporan kritisnya terhadap pemerintah. Kedua, Disahkannya undang-undang anti teror. Ketiga, ancaman, penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang disangkakan terlibat dalam penjualan dan penyebaran narkoba atau memiliki kaitan dengan gerakan komunis.

“Dalam kedok anti narkoba, orang-orang dibunuh, orang dituduh terlibat dengan narkoba. Juga, dilakukan pelacakan terhadap orang-orang di institusi tertentu, yang dituduh terlibat gerakan komunis sehingga orang-orang diancam, bahkan dibunuh,” ungkap Sekretaris Jenderal the National Movement for Free Elections (Namfrel), Eric Alvia.

Sebagai upaya berlawan terhadap undang-undang yang dinilai kontroversial dan merugikan masyarakat dan demokrasi, 37 petisi dilayangkan oleh berbagai pihak kepada Mahkamah Agung.

Filipina akan menyelenggarakan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 2022. Pemilihan tersebut akan menentukan pulih tidaknya demokrasi dan kebebasan sipil di Filipina.

“Pemilu akan menentukan kita akan pulih dari saat ini dan kemunduran yang kita hadapi atau bagaimana. Karena, apa yang dilakukan oleh pemerintah telah membekukan populisme liberal jangka panjang,” tukas Eric.

Per diskusi dilaksanakan, telah muncul ide pemilihan awal pada Pilpres Filipina 2022. Dari 7 juta pemilih baru, baru 2 juta pemilih yang telah masuk dalam daftar pemilih. Sementara, batas akhir pendaftaran pemilih ialah akhir September atau enam bulan lagi.

Semakin sempitnya ruang partisipasi dalam pembuatan kebijakan di Indonesia

Pandemi yang melanda Indonesia menyebabkan pemerintah memberlakukan pembatasan sosial, terutama di wilayah ibu kota. Pembatasan ini telah membuat ruang partisipasi publik dalam proses pembuatan undang-undang semakin sempit. Pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja dalam waktu singkat mendorong turunnya ribuan mahasiswa dan sipil ke jalan, menolak undang-undang yang banyak dipandang akan semakin menyengsarakan buruh di masa pandemi.

“Dengan alasan pandemi, pembuatan undang-undang berlangsung sangat cepat dan instan tanpa keterlibatan publik yang berarti,” pungkas anggota Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini.

Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di masa pandemi juga berlangsung dengan sejumlah catatan. Bertambahnya jumlah daerah dengan pasangan calon tunggal menjadi sorotan, sebab rekrutmen politik yang selama ini tidak transparan dan demokratis, semakin menjadi kala Pilkada dilangsungkan di masa pandemi. Covid-19 juga menginfeksi sedikitnya 70 kandidat dengan 7 kandidat meninggal dunia selama tahapan Pilkada berlangsung dan 4 calon terpilih meninggal sebelum dilantik, serta 140 penyelenggara pemilu di seluruh daerah.

“Pemilu di tengah pandemi Covid-19, pelaksanaannya di Indonesia, menunjukkan bahwa itu sangat berisiko dan tidak boleh dilakukan sembarangan karena taruhannya adalah keselamatan hidup manusia,” tegas Titi.

Selain itu, Titi juga menyinggung tentang kemunduran demokrasi yang berpotensi terjadi di Indonesia. Saat ini, mengemuka tawaran masa jabatan presiden maksimal tiga periode atau 15 tahun, dari aturan yang ada saat ini maksimal dua periode atau 10 tahun di dalam konstitusi. Pembatasan masa jabatan presiden dua periode merupakan oleh-oleh dari Reformasi 1998, sebagai evaluasi terhadap masa jabatan presiden tak terbatas selama rezim otoriter Presiden Soeharto.

Rendah partisipasi pemilih di Pemilu Lokal Thailand

Pemilihan lokal dilangsungkan di masa pandemi pada 20 Desember 2020 dan 28 Maret 2021. Dari pemantauan Asian Network for Free Election (ANFREL), tingkat partisipasi pemilih rendah. KPU Thaniland menargetkan partisipasi pemilih lebih dari 70 persen, namun yang terjadi hanyalah 57 hingga 58 persen.

Menurut Direktur Eksekutif ANFREL, Chandanie Watawala, rendahnya partisipasi di Pemilu Lokal Thailand disebabkan oleh beberapa hal, yaitu minimnya sosialisasi dan pendidikan pemilih, kurangnya ketertarikan terhadap politik, dan tak tersedianya metode pemilihan alternatif yang dapat dipilih pemilih.

“Selama pandemi, orang sulit untuk pulang kampung ke daerah asal mereka untuk memilih. Sementara, tidak tersedia metode alternatif untuk memilih. Itu juga menjadi faktor rendahnya partisipasi pemilih di masa pandemi,” kata Chandanie.

Chandanie juga melihat kurangnya ketertarikan media Thailand dalam meliput Pemilu Lokal. Usai pemilu dilakukan, tak ada satu pun media cetak yang memberitakan proses pemilu.

Tumbangnya hasil Pemilu Myanmar 2020

Membiayai pemilu tidaklah murah, apalagi pemilu dengan protokol kesehatan yang menyebabkan biaya pemilu membengkak untuk pengadaan alat pelindung diri (APD). Namun meskipun mengorbankan anggaran negara, Pemilu Myanmar 9 Desember 2020 ditolak oleh sejumlah partai politik oposisi dengan alasan masifnya kecurangan. Laporan pemantauan ANFREL, memang terjadi beberapa kecurangan di dalam Pemilu Myanmar 2020, namun hal tersebut tidaklah masif dan asas-asas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil tetap terpenuhi.

“Mereka mengeluarkan banyak uang untuk pemilu. ANFREL juga melakukan pemantauan Pemilu Myanmar. Namun, ketidakpercayaan terhadap proses dan hasil Pemilu dimanfaatkan untuk melakukan kudeta,” pungkas Chandanie.

Dalam penyelenggaraan Pemilu 2020, KPU Myanmar, kisah Chandanie, telah melakukan berbagai hal untuk menyukseskan Pemilu. KPU bekerja sama dengan otoritas kesehatan dalam pembuatan mitigasi risiko, juga bekerja sama dengan International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) dan The International Foundation for Electoral Systems (IFES) untuk pelatihan petugas tempat pemungutan suara (TPS).

Solidaritas kawasan diharapkan mampu memperkuat ketahanan sipil

Di tengah pandemi dan banyaknya tantangan nondemokratis dari aktor-aktor yang lahir dari pemilu nan demokratis, sekalipun masih prosedural, diharapkan masyarakat sipil antar negara kawasan Asia Tenggara dapat menjaga konsolidasi dan keterhubungan gerakan. Demokrasi bisa bertahan dengan hidupnya masyarakat sipil yang aktif dan dinamis. Solidaritas yang dapat mendistribusikan dukungan moral, gerakan, dan material dibutuhkan.

“Pertahankan masyarakat sipil yang beragam dan dinamis. Konsolidasi dan konektivitas gerakan masyarakat sipil lewat sinergi dan soliditas antara CSO (civil society organization), gerakan mahasiswa, akademisi, media, dan pihak lain lintas isu dan aktor, sangatlah penting. Dan juga, pastikan bahwa militer tidak terlibat dalam aktivitas politik,” saran Titi di penghujung diskusi.