August 8, 2024

Digitalisasi Pemilu Untuk Hindari Kerumitan dan Kematian Petugas

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI tengah menggencarkan digitalisasi tahapan pemilu. Digitalisasi berbagai tahapan pemilu diharapkan mengurangi kerumitan Pemilu Serentak 2024 dengan lima jenis pemilihan dalam satu hari, dan dengan demikian meringankan kerja penyelenggara pemilu.  Digitalisasi juga ditujukan untuk meningkatkan pelayanan pemilihan, transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan tahapan pemilu, serta mendorong partisipasi publik lebih luas.

“Kami berupaya seluas mungkin agar semua tahapan pemilu terdigitalisasi, kecuali pemungutan suara. Kami menggunakan pendekatan smart election. Prinsipnya, memenuhi kebutuhan masyarakat, keinginan publik, agar pemilu ke depan semakin mudah, murah, dan terpercaya. Ringkasnya, pemilu dalam genggaman,” kata anggota KPU RI, Viryan, pada diskusi kelompok terarah virtual terbuka untuk publik, Kamis (25/3).

Pada diskusi kelompok terarah tersebut, beberapa pakar teknologi informasi (TI) diundang untuk memberikan pendalaman TI dan rekomendasi terhadap sistem TI dan pengamanan siber KPU. Salah satunya  Elisabeth Damayanti, Operational Senior Manager pada Cybersecurity Operation Center Telkom. Elisabeth atau Ibeth menyarankan agar KPU fokus mengamankan data pemilihan, utamanya data pribadi pemilih, mengidentifikasi aset berdasarkan klasifikasi kritis, serta menerapkan pertahanan siber berlapis.

Core pengamanan ada di data. Bagaimana data disimpan, data dikirim, dan data dilindungi. Pemilih itu kan customer-nya KPU. Penting bagaimana kita menjaga keamanan data pemilih. Apalagi di Indonesia ada regulasi yang mewajibkan untuk menjaga data pribadi warga negara,” tandas Ibeth.

Selain Ibeth, inisiator Kawal Pemilu, Ainun Najib juga memberikan beberapa masukan. Pertama, penerapan e-reporting atau pelaporan elektronik. E-reporting membutuhkan foto digital, tanda tangan digital atau digital signature, dan timestamping atau stempel waktu yang ditujukan untuk memverifikasi laporan elektronik.

“Dokumen-dokumen yang merupakan output KPPS, kalau mau dipindah ke sistem online, perlu digital signature agar tidak sekadar arsip atau catatan, tapi punya validitas. Jadi, tidak perlu lagi mengisi dokumen yang banyak. Tapi cukup masukkan tanda tangan digital, log in dengan akun sendiri,” jelas Ainun.

Ia menambahkan bahwa siapa pun yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik atau Nomor Induk Kependudukan (NIK), dapat membuat tanda tangan digital. KPU dapat melakukan Momerandum of Understanding (MoU) dengan Kementerian Dalam Negeri untuk mempersiapkan dan mendukung tanda tangan digital untuk pemilu.

“KPU bisa MoU dengan Kemendagri. Atau mungkin solusi digital, idenya bisa dari Kemendagri sendiri,” tukasnya.

Kedua, Ainun merekomendasikan agar KPU melengkapi setiap formulir dan dokumen di TPS dengan QR code. Tujuannya, menjaga validitas formulir dan dokumen, dan memudahkan identifikasi dokumen. QR code dapat dicetak langsung pada formulir dan dokumen, atau mencetaknya sebagai stiker.

“Kalau ada QR code, nanti bisa diidentifikasi langsung, oh form ini adalah form di TPS 01 desa ini, kecamatan ini, provinsi ini. Kalau bisa dicetak langsung di form-nya, luar biasa. Tapi mungkin secara logistik sulit sekali. Jadi, bisa dicetak sebagai stiker. Nanti petugas yang menempelkan. Untuk dipastikan itu tidak diganti, dibikin begitu ditempelkan, tidak bisa ditukar lagi. Intinya, perlu QR code untuk mempermudah, ketika dokumen di-scan atau difoto (untuk kebutuhan rekapitulasi elektronik), jelas itu dari TPS mana, dokumen formnya apa. Jadi, terangkum dalam QR code itu, tidak dimanipulasi,” urai Ainun.

Hal ketiga yang direkomendasikan ialah penggunaan Optical Character Recognition (OCR) dan handwriting recognition. Telah ada machine learning yang dapat digunakan untuk membaca ragam tulisan tangan khas masyarakat Indonesia.

Keempat, pemanfaatan sistem back-end yang bersifat auto-scale. Menurut Ainun, masalah akses ke server yang tinggi di waktu tertentu dapat diselesaikan dengan memanfaatkan sistem auto-scale. Auto-scale juga merupakan solusi yang lebih murah dibandingkan dengan membeli server besar.

Auto-scale itu, ketika workload-nya naik, misal malam ketika semua orang mau upload, itu kan  workload akan langsung naik. Yang akses tiba-tiba jutaan orang. Nah, itu masif problem-nya dan ini karakteristik problem KPU. Jadi, gunakan Platform as a Service (PaaS). Itu aman-aman saja. Diserang DDoS (Dostributed Denial of Service), segala macam, gak masalah. Ini solusi untuk ketika ada kebutuhan yang mendadak besar. Dia otomatis (kapasitasnya) tambah, tinggal bayar saja untuk penggunaan satu malam itu. Jadi, gak perlu bayar cadangan server untuk lima tahun. Itu overkill,” terang Ainun.

Ainun juga meminta agar KPU mengupayakan open data atau data terbuka yang dapat dialih-ubah secara mudah karena berformat terbuka. Open data akan menjaga integritas penyelenggara pemilu.

Menurut Ainun, digitalisasi pemilu penting untuk empat hal, yaitu mencegah lembur dan kelelahan petugas pemilihan, mengurangi beban kerja penyelenggara pemilu, meminimalkan tahapan dan proses pemilu, serta mempermudah dan mempercepat tahapan.

“Kita perlu mendigitalisasi pemilu untuk yang paling utama adalah menyelamatkan nyawa manusia. Karena Pemilu 2019 mengakibatkan 894 petugas meninggal. Jadi, ini tugas yang mulia, menyelamatkan nyawa manusia,” ujar Ainun.

Sementara itu, Peneliti senior Network for Democracy and Electoral Integrity atau Netgrit, Hadar Nafis Gumay menyampaikan bahwa proses dan tahapan pemilu akan lebih mudah jika keserentakan pemilu diubah. Dengan demikian, kemudahan menyelenggarakan pemilu didapatkan karena desain pemilu serentak sendiri yang memudahkan.